Konstruk sosial dan Kepemimpinan Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib

BAB I
                                                           PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Sejarah selalu menarik untuk dikaji dan dipelajari.  Sejarah sebagai sesuatu yang rill, meski kenyataan sesungguhnya telah berlalu, tapi tidak berarti bahwa nilai-nilai yang dikandungnya ikut terkubur. Nilai tersebut berkemungkinan besar mempengaruhi pola hidup/sikap kehidupan umat manusia hari ini (bukan dalam artian determinis akan tetapi reflektif). Pada posisi ini sejarah dianggap sebagai bagian terpenting dalam diskursus keilmuan untuk memproyeksikan masa depan, dan karenanya ia pun menjadi niscaya untuk dikaji, ditelaah dan dimengerti.
Membangun sikap antipati terhadap sejarah sama halnya mengeberi nilai kemanusiaan yang pernah terjadi. Bahkan bisa dibilang  bahwa setiap kita (generasi hari ini) adalah produk sejarah. Persoalannya kemudian ialah bagaimana membangun dan mengambil sikap terhadapnya.
Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya untuk mengkaji dan mendalami sejarah yang berkaitan dengan Islam. Berbicara tentang Islam, tidak terlepas dari Nabi Muhammad Saw, sebagai pembawa risalah Islam serta kepemimpinan setelah beliau wafat yang kita kenal Khulafaur Rasyidin.
Ketika Nabi mula-mula bangkit menyerukan Islam, Semenajung Arab terbagi –bagi diantara kabilah-kabilah yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri, dengan tingkat kota dan pedalaman yang berbeda-beda, dengan penduduk yang selalu dalam konflik dan pertentangan terus-menerus. Sebagian besar daerah itu dibawah kekuasaan Persia atau pengaruh Romawi.l Setelah Rasulullah pulang ke rahmatullah atau setelah dua puluh tiga tahun kerasulannya, pengaruh Persia dan Romawi sudah mulai menyusut. Kabilah-kabilah Arab berbondong-bondong masuk kedalam agama Allah. Kemudian ABU Bakar terpilih sebagai penggantidan ia memerangi orang-orang yang murtad dari Islam sampai mereka kembali lagi kepada Islam. Setelah itu  kesatuan agama dan politik di Semenanjung kembali lagi tertib. Ketika itulah Abu Bakar mulai merintis berdirinya Kedaulatan Islam dengan menyerbu Irak dan Syam. Tetapi ajal tak dapat ditunda untuk menyelesaikan rencana yang sudah dimulainya itu.
Setelah itu Abu Bakar digantikan oleh Umar dan Ia meneruskan kebijakan Abu Bakar. Pasukan Muslimin di Semenanjung itu menerobos ke kawasan kedua imperium Persia dan Romawi. Persia dapat ditumpas dan daerah terpenting kekuasaan Romawi telah pula berhasil ditaklukan.
Kedaulatan Islam dimasa Umar membentang luas ke Tiongkokdi timur sampai ke seberang Barqah di barat, dari Laut Kaspia di utara sampai ke Nibia di Selatan, yang mencakup juga Persia, Irak, Syam dan Mesir. Dengan demikian, kedaulatan Arab itu telah merangkul bangsa-bangsa dengan segala unsur budaya yang sangat beragam, karena setiap golongan dari segi bahasa, ras, keyakinan dan bahasa, peradaban lingkungan sosial dan ekonominya satu sama laintidak sama. Tetapi begitu Islam tersebar di tengah-tengah mereka, agama baru itu telah menjadi perekat yang mempersatukan mereka. Juga kabilah-kabilah Arab itu telah berhasil dalam mewarnai negeri-negeri yang dibabaskan itu dengan warna Arab.
Berdirinya kedaulatan Islam di masa Umar itu selesai dengan terbunuhnya Umar. Di masa hidupnya ada dua orang persia berkomplot dan seorang lagi dari Nasrani Hirah. Kedua orang Persia itu adalah Hormuzan, dan seorang lagi Abu Lu’lu ‘ah budak Mugirah, sedang yang dari Hirah orang Nasrani bernama Jufainah. Hormuzan adalah salah seorang dari angkatan bersenjata Persia yang ikut dalam perang besar Kadisiah yang mengalami kekalahan. Kemudian ia lari ke Ahwaz dan dari sana ia menyerang angkatan bersenjata Muslimin di Irak-Arab yang masih berdekatan.
Setelah Umar terbunuh, di negeri Arab sendiri timbul suatu gejala, yang agaknya tak akan terjadi kalau tidak karena berdirinya kedaulatan Islam. Sejak Umar ditikam oleh Abu Lu’lu’ah kaum muslimin dicekam oleh rasa ketakutan, khawatir akan nasib mereka sendiri kelak. Terpikir oleh mereka siapa yang akan menggantikannya jika dengan takdir Allah dia meninggal. Beberapa orang ada yang membicarakan masalah ini pada Umar. Mereka Umar meminta Umar mencalonkan pengganti.
Karenanya, ia membentuk majelis Syura yang terdiri dari enam orang dengan tugas memilih di antara mereka seorang khalifah sesudahnya. Keenam orang itu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Abi Waqqas. Akhirnya terpilihnya Ustman bin Affan sebagai Khalifah ketiga setelah bersaing ketat dengan Ali bin Abi Thalib.
Tidak seperti terhadap para Khulafa Rasyidin yang lain, penilaian kalangan sejarawan terhadap Usman bin Affan sangat berbeda. Sama halnya dalam menempatkan pengaruh mereka dalam sejarah umar Islam. Dari sinilah penulisan sejarah masa Usman dan biografi Usman terasa ganjil. Dan ini tak kurang pula pentingnya. Kedua masalah ini memerlukan penelitian yang lebih saksama dan berhati-hati dalam menilai peristiwa demi peristiwa dan pribadi-pribadi itu.
Sudah demikian rupa keadaan beberapa kelompok itu, sampai sampai ada di antara mereka yang berusaha hendak menanamkan keraguan mengenai keabsahan kekhalifan Abu Bakr dan Umar. Mereka beranggapan bahwa sepeninggal Rasulullah hak kekhalifahan ada pada Ali, yang diwasiatkan Rasulullah kepadanya. Sikap ekstrem yang dianut kelompok-kelompok tersebut sudah tentu merupakan cacat, karena ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam, bahwa orang-orang mukmin itu sama seperti gerigi sisir. Oleh karenanya hak dan kewajiban mereka sama, dan pimpinan negara harus diberikan kepada yang ahli.
Sungguhpun begitu, menurut hemat saya sudah dapat dipastikan bahwa sebagian mereka yang berpendapat bahwa Rasulullah sallallahu’alaihi wasalam mewasiatkan kekhalifahan sesudahnya kepada Ali, dan bahwa keturunan Ali lebih berhak untuk itu, tidaklah akan mengubah keyakinan Dr. Haekal bahwa hak untuk memilih kepala negara adalah bebas dan tak terikat oleh apa pun. Artinya kedaulatan ada di tangan kaum Muslimin atau karena keyakinannya, bahwa pertentangan itu sendiri bagi Muslimin jauh lebih banyak ruginya daripada untungnya, kalaupun yang disebut keuntungan demikian itu ada.
Perkembangan yang dialami oleh Kedaulatan Islam sejak masa Rasulullah dan masa Abu Bakr seharusnya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Karenanya Umar segera menempuh sistem syura sebagai titik tolak sistem legislasi yang lentur untuk pemilihan khalifah, yang akan berkembang sejalan dengan perkembangan keadaan negara dan pola politik yang berlaku. Kelenturan yang menjadi ciri khas sistem ini dapat menjangkau permusyawarahan yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada enam orang yang sudah ditentukan oleh Umar itu.
Ketika sudah ada kesepakatan mengenai pelantikan Usman, Dr. Haekal membahas sosok dan watak Khalifah yang baru ini, dan sampai berapa jauh watak itu akan mempengaruhi politik negara pada masanya.pada setiap zaman kepribadian seorang pengusaha memang besar sekali pengaruhnya dalam politik dan administrasi negara. Keadilan dan kebijakan Umar yang begitu baik, yang telah disaksikan sendiri kaum Muslimin, sering terpantul dari wataknya itu. Mungkinkah pengaruh Usman dalam mengemudikan negara juga sama dengan Umar? Inilah kelak yang akan terungkap dari sela-sela kebijakannya dan dari bab-bab berikutnya dalam buku ini.
Pada permulaan pemerintahannya Usman telah berusaha sedapat mungkin mengikuti kebijakan Rasulullah dan kedua penggantinya, sesuai dengan janji yang sudah diikrarkannya tatkala dilantik bahwa ia akan meneruskan kebijakan itu. Hal ini tampak jelas dalam politik perluasan yang terjadi pada masanya. Politik ini merupakan lanjutan dari politik Umar, walaupun pembangkangan dan pemberontakan yang berkecamuk di beberapa daerah telah mengharuskan Usman mengerahkan sejumlah pasukan untuk memadamkan dan menumpasnya. Begitu juga ia harus cepat-cepat mempersiapkan armada Muslimin di Syam dan di Mesir untuk memukul mundur pihak penyerang, kendati Umar telah melarang yang demikian, sebab orang Arab tak biasa di laut. Apa yang dilakukan Usman itu, dan yang serupa itu, tidak bertentangan dengan janjinya, tetapi ia dipaksa oleh keadaan. Sekiranya Umar mengalami hal yang sama, niscaya ia pun akan sependapat dengan Usman.
Sebenarnya tindakan Usman yang berlawanan dengan Umar itu tidak akan menimbulkan gejolak kalau saja ia mau membatasi pada hal-hal yang sangat darurat saja. Tetapi dia juga pejabat-pejabatnya untuk memperluas daerah kedaulatan dan memperbanyak rampasan dan hasil pajak telah menempuh cara yang tidak disenangi oleh mayoritas umat. Dalam hal ini akan lebih baik jika Usman mempertahankan pejabat-pejabat Umar di tempat mereka bertugas pada tahun pertama itu, sesuai dengan pesan pendahulunya. Selanjutnya ia mengganti mereka dengan pejabat-pejabat lain, yang kebanyakan masih para kerabatnya, untuk menjamin kesetiaan mereka, kendati cara ini sama sekali tak pernah dilakukan oleh Umar. Malah Umar menghindari pengangkatan para kerabatnya itu untuk menjaga ia tetap bersih.
Sungguhpun begitu, sikap solidaritas sahabat-sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tetapi teguh, dan solidaritas ini kemudian menjadi kenyataan tatkala mereka menolak kaum pemberontak itu hendak membaiat salah seorang dari mereka menjadi khalifah sesuai dengan pesan Rasulullah: “Barang siapa mengaku dirinya atau salah seorang  pemimpin atas orang lain ia akan dikutuk Allah. Bunuhlah dia.”
Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Ustman memang berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena usia nya yang telah lanjut serta sikapnya yang terlalu lemah lembut. Akhirnya,pada tahun 35 H, dia dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan rakyat banyak kecewa terhadap kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaanya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan Ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka dihadapan kerabatnya itu. dia tidak dpat berbuat banyak dan terlalu lemah dihadapan keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kelas bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jemabatan, mesjid-mesjid, dan memperluas mesjid nabi di Madinah.
Setelah Ustman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Berbeda dengan penulisan biografi ketiga tokoh Khulafaur Rasyidin, ali bin Abi Thalib punya kedudukan tersendiri dalam sejarah umat Islam. Selain masih saudara sepupu Nabi Muhammad, ia juga menjadi menantunya karena pernikahannya dengan Fatimah putri nabi. Dari perkawinan ini lahir Hasan dan Husen. Permusuhan antar Bani Umayyah dengan Bani Hasyim, yang pada tahun permulaan Islam terkikis habbis, setelah terbunuhnya Khalifah Ustman bin Affan, penyakit lama Jahiliyah kambuh lagi, dan mencapai puncaknnya setelah dibunuhnya Husein, putra kedua Ali bin Abi Thalib dan seibagian besar anggotanya di Karbala oleh pasukan Yazid. Bani Hasyim hendak berusaha menuntut bela dan mengklaim hak-hak waris politik mereka dalam kekhalifahan. Hal ini menimbulkan pertentangan yang lebih parah.
Tetapi bagaimanapun juga, disamping para Khulafaur Rasyidin, Ali adalah tokoh yang menarik untuk ditelaah. Kedudukannya secara kekeluargaan yang sangat dekat kepada Rasulullah SAW, sebagai sepupunyaa yang sudah diasuhnya sejak kecil, dibesarkan dalam didikannya bersama Khadijah sehingga ia memandang keluarganya adalah orang tuanya sendiri.
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai salah seorang sahabat besar, berakhlak mulia, zahid yang dijadikan teladan, bersikap lemah lembut terhadap siapa pun, dan dari keluarga Nabi, dengan kecendrungan pada keadilan dan kebenaran yang sangat kuat. Dia memang intelek, cerdas dan pemberani. Watak dan sifat-sifatnya yang terpuji memang dibuktikan oleh sejarah. Sudah diketahui secara umum, seperti yang dikatakan oleh para sejarawan. Ia disegani dan menjadi tempat bertanya para sahabat dan siapa saja, dan sekaligus dicintai. Oleh karena itu tidak heran jika kemudian orang ingin melukiskan sebagai sosok yang lluar biasa. Ketika itulah timbul cerita-cerita tentang tokoh ini sebagai sosok yang luar biasa.
Ali memegang pemerintahan selama kurang lebih enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai penolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan Khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Ustman. Pemecatan ini berdasarkan anggapannya yang menilai para gubernur itu kurang cakap dan teledor untuk memegang jabatan sebagai Gubernur. Dia juga menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Ustman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Talhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Ustman dan mereka menuntut bela atas kematian Ustman yang dibunuh secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghundari perang. Dia mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun tidak dapat dielakkan. Perang ini dikenal dengan sebutan perang Jamal karena Aisyah dalam pertempuran ini itu menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya, Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, seddangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksaan Ali juga menyebabkan timbulnya perlawanan dari Gubernur di Damaskus, Mu’awiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Talhah CS . ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan Pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran ini dikenal dengan sebutan perang Shiffin. Pertempuran ini diakhiri dengan tahkim, tapi ternyata tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan golongan ketiga,al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan al-Khawarij. Munculnya kelompok al- Khawarij menyebakan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H/660 M, Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan Ali sebagai Khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat , maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, dibawah Mu’awiyah bin Abu Sufyan . disisi lain perjanjian itu juga, menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H,tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagaian tahun jama’ah. Dengan demikian berakhirlah, apa yang disebut dengan masa Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Pada zaman Khulafaur Rasyidin terdapat sejumlah peninggalam berharga yang sangat penting bagi umat Islam. Pertama, pada waktu itu telah lahir sejumlah cara pengangkatan pemimpin, musyaawarah terbatas, penunjukan langsung dan team formatur. Kedua, pada waktu itu terdapat sejumlah meshaf al-qur’an pada zaman Abu Bakar dan Ustman bin Affan sehingga melahirkan Mushaf Ustmani yang digandakan dan dikirim ke beberapa wilayah. Ketiga, umat Islam telah dihinggapi sikap saling curiga dan saling tidak percaya sehingga melahirkan sejumlah pertempuran internal umat Islam. Disamping itu perluasan wilayah dilakukan sejak zaman Abu Bakar dan terhenti pada zaman Ali bin Abi Thalib. Keempat, Khawarij yang telah melakukan pembelotan terhadap Ali pada dasarnya didasari atas keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah serta semua pihak yang terlibat dalam tahkim dianggap telah melakukan dosa besar, seorang muslim yang melakukan dosa besar, berarti telah murtad, dan orang murtad harus dibunuh. Oleh karena itu, pada waktu itu telah ada konsep iman, dosa besar, dan murtad yang digagas oleh khawarij. Dan kelima, pada waktu wilayah sudah dibagi-bagi dan setiap wilayah memiliki gubernur dan bahkan diantara wilayah telah memiliki pasukan militer tersendiri, termasuk Umar r.a telah meletakkan prinsip-prinsip peradilan yang hingga kini masih relevan.
Sebagaiman yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tak satu pun peristiwa yang pernah dan akan terjadi bisa lepas dari hukum kausalitas, atau bisa dikatakan sebagai variabel terkait yang menjadi pemicunya. Olehkarenanya, memahamipemicutersebutmerupakanprasyaratutamabagiterpahaminyasecaralogiskenapakemudiansuatuperistiwadapatmewujud.
Ungkapaninidipertegasoleh Hegel (salahseorangpemikirjerman) bahwanalaradalahhukumdunia, olehkarenaitudalamsejarahduniasegalasesuatu yang terjadisecararasional.LebihjauhIamengatakanbahwanalaradalah substansi (hakikat), karenadengannalarsegalarealitasmempunyaiwujud. Dari pernyataaninimenangkapsuatumaknabahwadenganmemahamisejarahsecaraobjektif, akandimengerticorakpemikiran yang menguasaiperadabanpadasaatitu.
Demikianhalnyadenganperistiwa-peristiwa yang pernahterjadipadazaman Khulafaur Rasyidin khususnya Ustman bin Affan dan  Ali bin AbiThalibsaat memegang jabatan Khalifah. Strategi-strategi mereka dalam menghadapi konflik-konflik internal maupun eksternal yang tengah merongrong Kedaulatan Islam adalah sebagai sebuah kenyataan historis, patut untuk ditealaah dan dikaji lebih jauh, tapi tentunya tetap berdasar pada kaidah keilmuan (objektif).
Memang, sejarah memberikan banyak petikan-petikan hikmah yang dapat diambil untuk kehidupan kini, maupun masa yang akan datang. Kehidupan sejarah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin khusunya Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan pelajaran berharga yang berbeda dari Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Oleh karena, sebagai Muslim sudah sepatutnya mengkaji dan menelaah kembali sejarah kehidupan kepemimpinan kedua Khalifah tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah konstruk sosial dan kepemimpinan Ustman bin Affan ?
2.      Bagaimanakah konstruk sosial dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib?

C.    Tujuan penulisan
1.      Menjelaskan tentang kostruk sosial dan kepemimpinan Ustman bin Affan
2.      Menjelaskan tentang konstruk sosial dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib

D.    Kegunaan Penulisan
Diharapkan penulisan makalah ini dapat membuka mata para Mahasiswa terhadap sirah para Khulafaur Rasyidin untuk dapat memetik hikmah atas segala kejadian sehingga terbentuk pribadi muslim yang unggul dalam segala bidang. 

E.      Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
D.    Kegunaan Penulisan
E.     Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Konsepsi Riil kepemimpinan Ustman bin Affan
1.      Asal usul dan nasab Ustman bin Affan
2.      Perluasan luas wilayah Islam
3.      Pembangunan angkatan laut
4.      Pembukuan Mushaf Ustmani
5.      Penerapan sistem pemerintahan masa Ustman
6.      Konflik dan kemelut konsep kepemimpinan Ustman
7.      Kelemahan dan kelebihan konsep kepemimpinan Ustman
8.      Kritik terhadap kepemimpinan Ustman
B.     Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
1.      Asal usul dan nasab Ali bin Abi Thalib
2.      Prosesi pengangkatan Ali sebagai Khalifah
3.      Bentuk-bentuk permasalahan Masa Ali
4.      Perang-perang masa Ali
5.      Yurisprudensi dan Khazanah aliran keagamaan masa Ali
6.      Kritik kontribusi khalifah 4 dalam tradisi dan peradaban
Muslim
 BAB III PENUTUP
A.    Simpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB II

Kontruk Sosial Dan Kepemimpinan Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib


A.    Konsepsi Riil kepemimpinan Ustman bin Affan
1.      Asal usul dan nasab Ustman bin Affan
Nama lengkap Usman bin Affan adalah Usman bin Affan bin Abi al-‘Ash bin Umayyah bin Abdus Syams bin Abd Manaf bin Qushayyi bin Kilab nasabnya dari keturunan Umayyah salah satu pembesar Quraish. Bapaknya bernama Affan dan ibunya bernama Urwah binti Kuraiz dari Bani Syams juga. Usman dilahirkan pada tahun keenam tahun gajah. Usia beliau lima tahun lebih muda dari Nabi. Beliau mendapatkan pendidikan yang baik, beliau telah belajar membaca dan menulis pada usia dini. Di masa muda nya, beliau telah menjadi seorang pedagang yang kaya raya.[1]
Beliau berasal dari strata sosial dan ekonomi yang tinggi yang pertama-tama memeluk Islam. Kepribadian Ustman benar-benar merupakan gambaran dari akhlak yang baik menurut Islam (akhlakul karimah). Beliau jujur, dermawan, rendah hati, lemah lembut, dan sangat pemalu. Rasulullah Saw mencintai Ustman karena akhlaknya. Mungkin itulah alasan mengapa Rasulullah Saw mengijinkan dua anaknya untuk menjadi istri Ustman, Ruqayyah dan Ummu Kulstum, sehingga dijuluki ‘Dzun Nurain’ atau Sang Pemilik dua cahaya.
Di masa nabi, ia dipercaya untuk menjadi sekretaris Nabi dan menjadi dewan penasehat ketika Abu Bakar menjadi Khalifah. Ia termasuk sahabat yang dekat dengan Nabi dan merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga. Di waktu Rasulullah mengerahkan “Jaisyul’Usrah” (Balatentara yang dikerahkan dalam waktu kesukaran, yakni pada peperangan Tabuk) Usman mendermakan 950 ekor unta, 59 ekor kuda dan seribu dinar untuk keperluan laskar Islam.  Padaperistiwa-peristiwasebelumnya pun Usmanbanyak kali mendermakanhartanyadengantidakditahan-tahannya, untukkemenangan Islam.
Menjelang kematian Umar, dia tidak menunjuk secara langsung untuk menggantikan posisinya sebagai Khalifah. Umar membentuk team formatur yang terdiri dari enam orang sahabat terkemuka untuk menentukan penggantinya sebagai khalifah diantara anggota team. Enam sahabat yang menjadi anggota formatur adalah Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, Talhah bin Ubaidillah. Untuk menghindari deadlock dalam pemilihan, Umar mengangkat anaknya, Abdullah Ibn Umar, sebagai anggota formatur dengan disertai hak pilih tanpa berhak untuk dipilih. Talhah tidak ada di Madinah dan baru kembali ke Madinah setelah pemilihan Khalifah selesai dilakukan. Dalam penjajagan pendapat yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf terhadap anggota formatur yang ada diperoleh dua calon khalifah yaitu Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib memilih Ustman untuk menjadi Khalifah. Sebaliknya, Ustman memilih Ali untuk menjadi Khalifah. Sa’ad Ibn Waqash memilih Ustman. Sementara suara Abdurrahman bin Auf dan Zubair tidak diketahui kepada siapa hak pilihnya direalisasikan.[2]
Dewan musyawarah akhirnya berhasil mengangkat Ustman bin Affan sebagai Khalifah ketiga sebagai pengganti Umar bin Khattab. Ustman dibaiat pertama kali oleh Abdurrahman bin Auf di dalam Mesjid bakda Subuh dan diikuti oleh kaum muslim yang lainnya.[3]


2.      Perluasan luas wilayah Islam
Perluasan Islam di masa Usman dapat disimpulkan pada dua bidang, yaitu sebagai berikut:
a.       Menumpas pendurhakaan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk ke bawah kekuasaan Islam di zaman Umar. Setelah Umar berpulang ke kerahmatullah ada daerah-daerah yang mendurhaka kepada pemerintah Islam. Pendurhakaan itu ditimbulkan oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama atau dengan kata lain ada sementara pamompraja dari pemerintahan lama (pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke bawah kekuasaan Islam) ingin mengembalikan kekuasaannya. Daerah-daerah yang mendurhaka itu terutama ialah Khurasan dan Iskandariyah.
b.       Melanjutkan perluasan Islam ke daerah-daerah yang sampai di sana telah terhenti pada perluasan Islam di Umar. Perluasan Islam boleh dikatakan meliputi semua daerah yang telah dicapai balatentara Islam di masa Umar. Perluasan ini di masa Usman telah bertambah dengan perluasan ke laut. Kaum muslimin pada masa itu pun telah mempunyai angkatan laut.
Di masa Usman, negeri-negeri seperti, Barqah, Tripoli Barat dan bagian selatan negeri nubah, telah masuk dalam wilayah Negara Islam. Kemudian negeri-negeri Armenia dn beberapa bagian Thabaristan, bahkan kemajuan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun di Amu Daria. Jadi daerah “Mawaraan Nahri” (negeri-negeri seberang sungai Jihun) telah temasuk wilayah Negara Islam dan negeri-negeri Baktaria, Harah, Kabul dan Ghaznah di Turkastan pun telah diduduki kaum Muslimin. Dengan mempergunakan angkatan laut yang dipimpin oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sofyan, pada tahun 28 H pulau Cyprus juga dapat di taklukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Islam.[4]


3.      Pembangunan angkatan laut
Dengan dibebaskanmya Afrika yang mencakup semua negeri di pantai Laut Tengah, dari Antakiah di utara Syam, dan diujung timur Laut itu sampai ke ujung barat di Afrika bagian utara, Kedaulatan Islam sudah makin luas. Mu’awiyah di Syam yakin sudah bahwa pantai-pantai yang terbentang ribuan mil itu tak mungkin aman dari serbuan mendadak pihak musuh dari arah laut, kecuali jika Arab mempunyai armada laut yang dapat menghadapi armada laut Rumawi, kalau mereka berusaha hendak kembali ke bagian mana pun didaerah itu. itulah pokok pendapatnya sejak ia memerintah Syam dan mengetahui Rumawi akan menyerang Antakiah dari arah laut.
Itu sebabnya dulu ia menulis surat kepada Umar menerangkan tentang pulau Siprus yang begitu dekat ke Hims. Katanya, bahwa anjjing yang menggonggong dan ayam yang berkokok di sana, akan terdengar dari desa di Hims. Tetapi Umar tidak mengizinkan, seperti yang sudah kita sebutkan di atas. Sesudah di atas. Sesudah Usman naik dan Rumawi menyerang Mesir dari laut, disamping itu pantai-pantai imperium itu sudah membentang sampai keseluruh Afrika bagian Utara, Mu’awiyah mengulangi lagi permintaannya kepada Usman untuk menyerang Siprus dari laut.
Tetapi Usman juga masih khawatir. Kalau dia mengizinkan berarti ia sudah menyalahi kebijakan Umar dan merusak janjinya waktu dibaiat, dan dengan pelanggaran itu ia akan dikecam orang.
Tetapi ia melihat permintaan Mu’awiyah itu suatu pikiran yang baik dan mempunyai pandangan jauh, yang bila ditolak, dari segi politik tentu salah. Karenanya ia menulis kepada Mu’awiyah: “Saya sudah melihat penolakan Umar ketika Anda meminta pendapatnya untuk menyerang dari laut.”
Tetapi Mu’awiyah masih juga mengulangi pendapatnya itu. sekali ini permintaannya dipenuhi, tetapi ia berkata: “Biar orang memilih sendiri dan janganlah memaksa mereka yang terbaik di antara meraka. Barang siapa memilih akan menyerang dengan sukarela pakailah danbantulah.” Rela buat yang berminat. Jadi dia tetap menjaga kebijakan Umar, yang dalam pada itu ia tidak pula menolak masalah yang dilihatnya sebagai pikiran yang baik dan jauh memandang ke depan.
Tak lama sesudah surat Usman Mu’awiyah segera menyiapkan kapal-
kapalnya untuk menghadapi perang itu. setelah Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh mengetahui adanya persetujuan Usman sengan Mu’awiyah itu ia pun segera menyiapkan beberapa kapal di pelabuhan Iskandariah, dan membawa merak yang secara sukarela mau berperang di laut. Dengan demikian pihak Muslimin sudah mempunyai armada yang tak kalah perkasa dari armada Rumawi. Di samping angkatan daratnya Kedaulatan Islam kini mempunyai juga angkatan laut di pantai-pantai cukup Laut Tengahdan Laut Merah. Dari sini persiapan sudah cukup untuk menghadapi pertempuran, yang buat orang Arab sebelum itu memang tak pernah dikenal.[5]

4.      Pembukuan Mushaf Ustmani
Ijtihad Khalifah Ustman bin Affan yang paling menonjol adalah usahanya dalam kodifikasi dan penyeragaman lafal bacan Qur’an. Ijtihadnya ini digerakkan bermula dari laporan Huzaifah bin al-Yaman, salah seorang sahabat Nabi yang sedang mengikuti ekspedisi bersama dengan mereka yang dari Irak, Syam dan Hijaz  ke Armenia dan diAzerbaijan, pada tahun kedua atau ketiga kekhalifahan nya. Ia melihat banyak qiraat yang berbeda-beda dalam melafalkan bacaan. Segala perbedaan ini tidak lepas dari perbedaan cara penulisan Qur’an dalam huruf Arab waktu itu. Ada yang membaca menurut Miqdaad bin Aswad dan Abu ad-Darda, ada yang membacanya menurut Abdullah bin Mas’ud atau Abu Musa al-Asy’ari, dan mereka yang baru masuk Islam lain lagi lafal bacaannya. Antara sesama mereka sering timbul perselisihan sengit. Melihat yang demikian Hudzaifah cepat-cepat kembali ke Madinah, dan sebelum pulang ke rumahnya Ia langsung menemui Khalifah Ustman. Setelah mempelajari laporan Hudzaifah dan melihat bahwa bila ini dibiarkan akan berbahaya, Ia mengumpulkan beberapa orang sahabat terkemuka dan segera membahasnya. [6]
Pada saat penyalinan al-Qur’an yang kedua kalinya, Panitia penyusunan mushaf yang dibentuk oleh Ustman melakukan pengecekan ulang dengan meneliti kembali mushaf yang sudah disimpan di rumah Hafsah dan membandingkannya dengan mushaf-mushaf lain. Selain itu, tugas utama panitia adalah  menyalin mushaf al-Qur’an yang disimpan di rumah Hafsah dan menyeragamkan qira’at atau lafal bacaan nya, yaitu dialek Quraisy.[7] Setelah berhasil membuat salinannya, Zaid Ibn Tsabit mengembalikan naskah yang disalinnya kepada Hafsah. Khalifah Ustman memerintahkan kepada Zaid Ibn Tsabit agar membuat salinan Mushaf dan dikirimkan ke Mekah, Madinah, Basrah, Kufah, dan Syiria dan salah satunya disimpan oleh Ustman bin Affan yang kemudian disebut Mushaf al-iman. Sedangkan mushaf yang lain selain yang telah disusun oleh panitia yang dipimpin oleh Zaid Ibn Tsabit, diperintahkan untuk dibakar.Dengandemikian, pembukuan Al-Quran di masakhalifahUtsmanitumemberikanbeberapakebaikkanseperti :
a. MenyatukankaumMusliminpadasatubentuk mush-haf yang seragamejaantulisannya.
b. Menyatukanbacaan, walaupunmasihadakelainanbacaan, tetapibacaanitutidakberlawanandenganejaanmushhaf-mushhafUtsman.Sedangkanbacaan-bacaan yang tidakbersesuaiandenganmushhaf-mushhafUtsmantidakdibenarkanlagi.Karena Mush-hafUtsmanidisusunberdasarkanriwayat-riwayat yang mutawatir.Artinya, ayat-ayat Al-Qur`andanqiroat yang terkandungdalam Mush-hafUtsmanimemangayat-ayat Al-Qur`an seperti yang dihafalolehmayoritasshahabat yang menerimanyalangsungdariRasulullah.
c. Menyatukantertibsusunan surah-surah, sesuai yang diajarkanolehRasulullah.Susunan surat sepertisekaranginiadalahsusunan surat yang digunakanolehRasulullahketikabeliaumengulangibacaan Al-Qur`an di hadapanJibrilsetiapbulanRamadhan.Penyusunan Mushaf Ustmani ini telah berhasil mengeluarkan umat Islam dari kemelut perbedaan qira’at.

5.      Penerapan sistem pemerintahan masa Ustman
Sitem pemerintahan pada masa Utsman bin Affan dilakukan dengan memberikan otonomi penuh kepada daerah. Hal ini berbeda dengan pada masa khalifah Abu Bakar dan Urmar, wilayah hanya dibedakan menjadi dua, yakni wilayah yang pemimpinya memiliki otonomi penuh, dan pemimpinnya disebutamir, dan wilayah yang tidak memiliki otonomi penuh dan pemimpinnya disebutwali. Pada zaman khalifah Utsman bin Affan terjadi perubahan system pemerintahan, sehingga semua wilayah memiliki otonomi penuh.[8] Oleh karena itu semua pemimpin wilayah —jabatan setingkat gubernur— yang berjumlah sepuluh wilayah bergelar amir. An-Najjar sebagaimana dikutif oleh Jaih Mubarok, pembagian wilayah otonomi dan amirnya sebagai berikut:

No
Nama Wilayah
Nama Amir
1.
Makah
Nafi Ibn Abdul Harits al-Khuza
2.
Tha’if
Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi
3.
Shan’a
Ya’la bin Munbih
4.
Jand
Abdullah ibn Abi Rabi’ah
5.
Bahrain
Utsman ibn Abi al-Ash al-Tsaqafi
6.
Kuffah
Al-Mughirah Ibn Syu’bah al-Tsaqafi
7.
Bashrah
Abu Musa Abdullah Ibn Qais al-Asy’ari
8.
Damaskus
Muawiyah ibn Abi Sufyan
9.
Hims
Amir ibn Sa’d
10.
Mesir
Amr Ibn Al-Ash

Pemerintahan khalifah Utsman bin Affan berlangsung selama 12 tahun, dibagi menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan pemerintahan yang bersih dari pengangkatan kerabat sebagai pejabat Negara. Sedangkan priode kedua enam tahun terakhir merupakan priode pemerintahan yang tidak bersih dar i pengangkatan kerabat sebagai pejabat Negara. Rupaya khalifah Utsman ini melupakan pesan pendahulunya khalifah Umar bin Khatab, agar khalifah setelahnya tidak mengangkat kerabat sebagai pejabat Negara.

6.      Konflik dan kemelut konsep kepemimpinan Ustman
Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Ustman memang berbeda dengan kepemimpinan Khalifah sebelumnya. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya, pada tahun 35 H/ 655 M Ustman dibunuh oleh orang-orang yang kecewa itu.[9]
Salah satu faktor yang menyebabkan rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaannya mengangkat kaum kerabat dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan Ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Ustman  hanya menyandang Khalifah. Setelah banyak angota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Ustman laksana boneka dihadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan tidak dapat bertindak tegas terhadap keluarganya juga terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Ustman sendiri.
Keadaan demikian dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba’, orang Yahudi masuk Islam. Ia menebar fitnah-fitnah yang mempengaruhi masyarakat dan sedikit demi sedikit menanamkan kebencian orang terhadap Khalifah Ustman. Ia mengatakan, bahwa Ustman telah merampas hak orang yang lebih berhak, orang yang telah menerima wasiat Rasulullah Saw, yakni Ali bin Abi Thalib-dengan membawa hadist-hadist dan memutar balikkan arti beberapa ayat dalam al-qur’an. Ia mengatakan bahwa, hak Ali sebagai penerima wasiat, sebagai mandataris Nabi telah dirampas secara tidak sah. Dalam propaganda itu Ia mengatakan bahwa setiap nabi punya seorang penerima wasiat, dan Ali adalah penerima wasiat Muhammad dan penutup para penerima wasiat seperti Muhammad yang juga penutup para Nabi. Dengan isu kekhalifahannya itu tampaknya lebih mudah orang percaya, terlebih orang awam[10].
Sebenarnya timbulnya fitnah demikian tidak hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam lingkungan Ustman sendiri, dari orang-orang dekat  yang selama itu ada di sekitarnya, seperti Marwan Ibn Hakam, Walid Ibn Uqbah dan Abdullah bin Abi Sarh. Dimulai dari sebuah rombongan dari Mesir berangkat ke Madinah mengadukan tindakan gubernur Abdulah bin Abi Sarh yang sering bertindak sendiri diluar ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Mereka menuntut pemecatan Abdullah Ibn Sarh sebagai wali Mesir. Setelah dinasehati Talhah dan Aisyah dan desakan Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan bersedia memecat Abdullah bin Abi Sarh sebagai wali Mesir dan mengangkat Muhammad bin Abu Bakar sabagai gantinya.[11]
 Penduduk mesir yang melakukan protes yang berjumlah kurang lebih 700 oarang serta disertai Muhammad Bin Abu Bakar kembali ke Mesir setelah protesnya mendapat respon yang baik. Akan tetapi di tengah perjalanan, mereka mendapati seorang budak yang mencurigakan yang ternyata membawa surat rahasia dengan stempel Khalifah. Surat tersebut ditunjukkan untuk Abdullah bin Abi Sarh yang berisi perintah agar memenggal kepala Muhammad bin Abu Bakar sesampainya di Mesir.[12]
Muhammad bin Abu Bakar beserta rombongan kembali ke Madinah untuk melakukan konfirmasi kepada Khalifah tentang surat yang dibawa oleh budak. Berdasarkan penelitian terhadap tulisan tangan surat yang dibawa budak, diduga kuat bahwa surat tersebut berasal dari Marwan. Muhammad bin Abu Bakar meminta kepada Khalifah untuk menyerahkan Marwan. Tetapi Ustman menolak permintaan tersebut karena khawatir Marwan akan dibunuh.  Situasi menjadi tegang dan tidak terkendali dan pengawalan terhadap Khalifah Usman bin Affan menjadi tak berdaya karena banyaknya penduduk Mesir yang melakukan protes dan memberontak. Akhinya, Ustman bin Affan wafat terbunuh pada tanggal 18 Dzulhijah 35 H/ 17 Juni 656 M dalam pengepungan  kaum pemberontak selama 40 hari.[13]

7.      Kelemahan dan kelebihan konsep kepemimpinan Ustman
Selama kepemimpinannya yang berlangsung selama 12 tahun, Ustman  mengukir banyak prestasi. Yang paling menonjol  diantaranya adalah:
a.       Perluasan wilayah Islam dengan mengguasai Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, sebagian Persia, Transoxania, dan Tabaristan.
b.      Pembentukan armada Laut pertama Islam
c.       Kodifikasi al-qur’an, yang telah berhasil mengeluarkan umat Islam dari kemelut perselisihan karena perbedaan qira’at
d.      Perluasan dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid al-Haram di Mekah
Selain diatas, Ustman juga berjasa dalam membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, dan mesjid-mesjid. Selama beberapa tahun pertama pemerintahannya itu ia telah mewarisi dari  Umar administrasi negara  yang masih bersahaja ke tingkat institusi yang lebih sempurna dengan membentuk sistem keuangan negara yang lebih sistematik. Menjelang tahun ketujuh masa pemerintahannya, Timbul gejolak politik, huru-hara silih berganti, petisi dan intrik merajalela yang kemudian membuahkan pembunuhan dirinya pada hari Jum’at, tanggal 8 Dzulhijjah tahun 35 H. Kerusuhan yang berlanjut dengan pembunuhan Usman, nampaknya berawal dari sistem kepemimpinan Khalifah Usman sendiri yang dinilai tidak adil dan tidak bijaksana. Diketahui bahwa selama Usman berkuasa, ia banyak mengangkat kerabatnya, seperti Marwan bin Hakam yang selanjutnya mengangkat pula orang-orang Bani Umaiyyah lainnya sebagai pejabat tinggi dan penguasa negara.
Sebab-sebab lain yang menimbulkankerusuhandanmembawakematianUsman, disebutkanoleh Abu Zahrahsebagaiberikut :
a.        Usmantertalubaikhatikepadapembesar-pembesarMuhajirindanparapejuangangkatanpertamadarikalangankerabatnya.
b.        Usmanterlalumempercayaikerabatnya – meskipunhaldemikiantidakberdosadantercelasampai-sampaiUsmanmenyerahkanurusanpemerintahankepadamereka, termasukmemintaperndapattentangpermasalahanpemerintah yang tengahdihadapi.Sedangkanmerekabukantermasuk orang yang dapatdipercaya.
c.        SebagaiakibatUsmanbegitubanyakmenyerahkanurusanpemerintahankepadakaumkerabatnyaitu, makaakhirnya yang menanganimasalah-masalahpentingpemerintahannyadalah orang-orang yang samasekalibelumkuatkeislamannya.
d.        Usmanterlalulemahkepadaparabawahannya, sedangkanbawahannyaitusebagiantidakberlakuadil, yang menyebabkanrakyatmerasatidakpuas.
e.        Sebagaisebab yang paling fatal adalahadanya orang-orang yang dendamatas Islam – merekamasuk Islam luarnyasaja, sedangkandalamhatinyakafir.
Sebagaiakibatdarisistempolitik yang dijalankanUsmanserupaitu (nepotisme), makatimbulreaksi yang kurangmenguntungkanbagiKhalifahUsmankhususnyadanpelajaran bagiumat Islam padaumumnya.Sahabat-sahabatNabi yang padamulanyamenyokongUsman, akhirnyaberpalingmenjadilawannya.[14]

8.      Kritik terhadap kepemimpinan Ustman
H.A. R Gibb dan J.H Kramers membagi fase pemerintahan Ustman bin Affan menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan pemerintahan yang bersih dari pengangkatan kerabat sebagai pejabat negara, sedangkan periode kedua adalah enam tahun terakhir yang merupakan periode pemerintahan yang yang tidak bersih dari pengangkatan kerabat sebagai pejabat negara. Ustman melupakan pesan Umar agar Khalifah setelahnya tidak mengangkat kerabat dalam jabatan pemerintahan.
Kebijakan Khalifah Ustman yang menurut sebagian peneliti sejarah tergolong nepotisme adalah, pertama ; perluasan wilayah kekuasaan. Mu’awiyah pada zaman Khalifah Umar diangkat menjadi wali Damaskus. Wilayah kekuasaan Mu’awiayah oleh Ustman diperluas sehingga mncakup lima wilayah; Damaskus, Himsh, Palestina, Yordania, dan Libanon. Kedua promosi jabatan kepada keluarga. Marwan Ibn Hakam (saudara sepupu Ustman) diangkat menjadi Sekretaris Jendral negara yang menyebabkan negara dikendalikan oeh satu keluarga. Ketiga, pemecatan wali atau amir yang berprestasi diganti dengan anak dan kerabat dekatnya. [15]

Penggantian pejabat pada zaman Ustman
No
Pejabat yang Diganti
Pejabat Pengganti
Jabatan
Hubungan Kekerabatan
1.       
Sa’ad Ibn Abi Waqash
Uqbah Ibn Abi Mu’aith
Wali Kufah
Saudara Seibu
2.       
Abu Musa al-Asy’ary
Abdulah Ibn Amir
Wali Bashrah
Putra Paman
3.       
Amr Ibn Ash
Abdullah Ibn Abi Syarh
Wali Mesir
Saudara Sepersusuan

Tindakan Khalifah Ustman yang menyebabkan terkumpulnya seluruh kekuasaan di tangan keluarganya menimbulkan reaksi dari masyarakat,terlebih dari mereka yang dipecat dari jabatannya tanpa alasan yang jelas. Disamping itu, tindakan bawahan khalifah Ustman dinilai oleh masyarakat telah banyak menyimpang dari ajaran Islam. Walid Ibn Uqbah  pernah shalat shubuh empat rakaat dalam keadaan mabuk. Ustman tidak dapat mengatasi ambisi keluarga sehingga pelanggaran tidak dapat diatasi. Tanah Fadak yang pernah disengketakan oleh Fatimah dengan Khaifah Abu Bakar, dimasukkan menjadi milik pribadi oleh Marwan Ibn Al-Hakam.

C.    Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
1.      Asal usul dan nasab Ali bin Abi Thalib
Ali  dilahirkan di Mekah, tepatnya di Ka’bah, Masjidil Haram pada hari Jum’at, 13 Rajab ( sekitar tahun 600 M ). [16]Ayahnya adalah Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin  Hasyim bin Abdu Manaf  bin Qusai bin Kilab, dan ibunya bernama Fatimah binti Assad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ali baru menginjak 10 tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama.  Sehingga ia termasuk kedalam golongan assabiqul awwalun. Sejak kecil ia mempunyai nama Haydar, namun begitu diasuh Rasulullah ia dipanggil Ali yang berarti kedudukan tinggi. Untuk meringankan beban Abu Thalib yang mempunyai anak banyak, Rasulullah Saw mengasuh Ali. selanjutnya, Ali tinggal bersama Rasulullah di rumahnya sehingga mendapatkan pengajaran langsung dari beliau. Sejak kecil Ali telah menunjukan pemikirannnya yang kritis dan briliant. Kesederhanaan, kerendah-hati an, ketenangan, keberaniannya menghadapi musuh-musuh Islam, dan kecerdasan dari kehidupan Ali yang bersumber dari al-Quran serta wawasan beliau yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa diantara para sahabat Rasulullah. Ia seringkali dimintai pendapatnya oleh sahabat-sahabat Rasulullah dalam menghadapi  permasalahan ummat. Kedekatannya dengan keluarga Rasulullah  bertambah dekat, ketika beliau menikahi Fatimah, anak kesayangan Rasulullah Saw. Dari segi agama, Ali bin Abi Thalib adalah seorang ahli agama disamping ahli sastra yang terkenal. Ali dikenal cerdas dan menguasai masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi s.a.w., "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali  pintu gerbangnya".  ia juga dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Ia adalah sosok pemuda yang keberaniaanya luar biasa dalam perjuangan membela Islam.
Setelah Nabi s.a.w. wafat, Ali banyak mendukung pemerintahan Abu Bakar.  Ketika muncul Nabi-nabi palsu, ia turut ambil bagian dalam mengamankan stabilitas Madinah. Setelah Abu Bakar wafat ia segera membai'at Umar sebagai khalifah ke dua. Untuk mempererat  hubungan persaudaraan, Ali memperkenankan menikahi salah seorang  putrinya, yakni ummi Kalsum. Ia selalu membantu Umar dalam mengatur pemerintahan Islam, ketika terjadi pencalonan khalifah ketiga Ali menyampaikan dukungan suaranya terhadap Usman. Dan ketika Usman terkepung oleh gerombolan pemberontak dan memerintahkan putranya yang bernama Hasan untuk menjaga keamanan pintu rumah Usman.[17]

2.      Prosesi pengangkatan Ali sebagai Khalifah
Muslimin dalam kesedihan yang mendalam,  dan dalam kebingungan setelah kematian Ustman . selama lima hari berikutnya mereka tanpa pemimpin. sejarah sedang kosong buat Madinah, selain pemberontak yang selama itu pula membuat kekacauan dan menanamkan ketakutan di hati orang.
Kaum pemberontak mengadakan pendekatan kepada Ali bin Abi Thaib dengan   maksud mendukungnya sebagai Khalifah dipelopori oleh al-Gafiqi dari pemberontak Mesir  kelompok terbesar. Tetapi Ali menolak. Setelah Khalifah Ustman tak ada orang lain yang pantas menjadi Khalifah daripada Ali bin Abi Thalib. Dalam kenyataannya, Ali memang merupakan tokoh paling populer saat itu. Disamping itu, memang tak ada seorang pun ada yang mengklaim atau mau tampil mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menggantikan Khalifah Ustman selain nama Ali bin Abi Thalib. Disamping itu, mayoritas umat Muslim di Madinah dan kota-kota besar lainnya sudah memberikan pilihanya pada Ali,  kendati ada juga dari beberapa kalangan ,kebanyakan dari Baani Umayyah, yang tidak mau membaiat Ali, dan sebagian dari mereka ada yang pergi ke Suria.[18]
Sebenarnya  bukan ini yang diinginkan Ali. Kedudukannya sekarang memang serba sulit. Tetapi kalau dia mundur dia juga salah . mayoritas mereka tetap mendesak agar Ali bersedia dibaiat. Umat tak boleh terlau lama tanpa imam, tanpa pemimpin. dalam keadaan yang masih kacau setelah terjadi pemberontakan sampai Khalifah Ustman terbunuh, keadaan memang sangat eksplosif. Akibatnya perpecahan akan bertambah parah, umat akan saling curiga. Bukan tidak mungkin akan beralibat pecah perang saudara justru di Madinah. Jalan tengah baginya harus menerima kenyataan. Atas pertimbangan itu, akhirnya Ali pun setuju memikul tanggung jawab sebagai Khalifah keempat.

3.      Bentuk-bentuk permasalahan Masa Ali
Sebagai Khalifah,  memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerinatahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahanya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para Gubernur yang diangkat oleh Ustman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Ustman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.[19]
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Talhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka Ali tidak mau menghukum para pembunuh Ustman dan mereka menuntut bela terhadap darah Ustman yang telah ditumpahkan secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia segera mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyekesaikan hal itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran yang dahsyat pun terjadi.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksaan Ali juga menyebabkan timbulnya perlawanan dari Gubernur di Damaskus, Mu’awiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Talhah CS . ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan Pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran ini dikenal dengan sebutan perang Shiffin. Pertempuran ini diakhiri dengan tahkim, tapi ternyata tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan golongan ketiga,al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan al-Khawarij. Munculnya kelompok al- Khawarij menyebakan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H/660 M, Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.[20]

4.      Perang-perang masa Ali
a.       Perang Jamal
Perang ini dilatarbelakangi atas tuntutan Talhah, Zubair dan Aisyah yang menutu bela atas kematian Ustman yang dibunuh secara dzalim. Talhah, Zubair, dan Aisyah bersikeras menuntut agar Khalifah Ali segera mencari pembunuh Usman dengan membawa baju yang berlumuran darah ke hadapan Ali. Tuntutan mereka itu tidak mungkin dikabulkan oleh Ali hanya dalam waktu singkat.  Tugas utama yang akan dialkukan Ali dalam situasi kritis ini adalah memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan kekhalifahan. Selain itu, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah karena khalifah Usman tidak hanya dibunuh oleh satu orang. Alasan itulah yang semakin membuat Talhah dan kawan-kawan kecewa dan semakin marah kepada Ali.
 Penyelesaian secara damai tidak didapat hingga akhirnya meletuslah perang  Jamal (unta).  Dikatakan perang jamal karena Aisyah ikut dalam peperangan ini dengan mengendarai unta. Aiysah telah terhasut oleh Abdullah, putra Zubair, yang ingin menjadi khalifah menggantikan Ali. Abdullah memanfaatkan seseorang yang tepat yaitu Aisyah yang juga tidak suka dengan khalifah Ali. Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian ini, tetapi hal ini sulit dicapai. Maka kontak senjatapun tidak dapat dihindari. Banyak pasukan Talhah yang terbunuh. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.

b.      Perang Shiffin
Perang Shiffin ini terjadi karena pembangkangan Mu’awiyah Ibn Abu Sufyan. Demi menjaga persatuan umat, Ali mengirimkan surat kepada Mu’awiyah untuk segera membaitnya. Namun, Mu’awiyah menolak surat ini dan tidak mau membaiatnya dengan tiga alasan;
1)      Pelaku pembunuh Ustman harus ditemukan terlebih dahulu
2)      Tidak ada suara bulat dari kalangan terkemuka untuk Ali
3)      Mu’awiyah menganggap bahwa dia merupakan hak waris Ustman sebagai bagian dari keturunan Bani Umayyah. Maka dari itu, dia  yang paling berhak untuk meneruskan kekhalifahan.
Akibat dari penolakan baiat ini, pada tahun 37 H/657 M  meletuslah perang shiffin  yang terletak tak jauh dari sebelah barat pantai Sungai Furat, selatan Riqqah, timur laut Suria di dekat perbatasan Suria-Irak, dua bekas jajahan Romawi dan Persia.
Pasukan Ali bin Abi Thalib hampir berhasil mematahkan pertahanan pasukan Mu’awiyah. Dalam situasi yang demikian, pasukan Mu’awiyah yang berasal dari Syam mengangkat mushaf al-qu’an sebagai tanda damai. Perdamaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah ini sebagai penyelesaian penyelesaian perang Shiffin , dilakukan melalui tahkim, masing-masing pihak mengutus juru damai. Abu Musa al-Asy’ari adalah juru damai dari pihak Ali bin Abi Thalib sedangkan juru damai dari pihak Mu’awiyah adalah Amr bin Ash yang terkenal sebagai politikus ulung.
Dalam proses tahkim ini, terjadi manipulasi politik Amr bin Ash yang memang terkenal sebagai politikus ulung itu. hasil kesepakatan dua juru damai itu kemudian disampaikan kepada khalayak ramai di Adzrah. Pertemuan itu disaksikan oleh sejumlah sahabat, diantaranya Sa’as bin Waqash dan Ibnu Umar. Karena lebih tua, Abu Musa al-Asy’ari dipersilahkan untuk menyampaikan hasil perdamaian terlebih dahulu kepada masyarakat, maka Abu Musa al-Asy’ari menyampaikan pidatonya dengan menurunkan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Kemudian pembicara kedua, Amr bin Ash menyampaikan pidato dengan menurunkan Ali sebagai Khalifah dan menetapkan Mu’awiyah sebagai pengganti Khalifah. Keputusan ini tentu banyak mengejutkan banyak orang, hingga sebagian golongan yang tadinya pengikut setia Ali membelot dan menyatakan ketidaksetujuan annya dengan tahkim ini. Golongan ini kemudian dikenal dengan Khawarij.

c.       Perang Nahrawan
Merupakan perang antara pihak Ali dengan kaum Khawarij. Kaum Khawarij inilah  yang meyakini bahwa Ali dan pengikut-pengiktnya adalah kafir. Setiap orang yang dianggap melakukan perbuatan dosa dianggap kafir. Mereka yang selalu meneriakkan “ La hukmu illa billah” menolak tahkim yang terjadi saat perang Shiffin. Di Nahrawan, Saat  perjalanan menuju Syam, pasukan Ali dikejutkan oleh berita tentang pemberontakan kaum Khawarij yang  melakukan tindakan kekerasan diluar kemanusiaan terhadap masyarakat sekitar. Dalam kondisi demikian, Ali mengadakan prundingan dengan kaum Khawarij untuk mencari jalan damai dan mengajak kembali kepada mereka unruk berada di pihaknya.Namun kaum Khawarij tetap tidak mau berdamai, kecuali Ali sendiri mengakui kekafirannya dan bertobat. Akhirnya, karena tidak ada kata sepakat, perang di Nahrawan pun tak dapat dielakkan. Pasukan kaum Khaawarij yang berjumlah tak lebih daari 3000 orang itu dengan mudah dapat dikalahkan oleh pihak Ali.

5.      Yurisprudensi dan Khazanah aliran keagamaan masa Ali
Sejak Islam lahir sampai masa Ustman merupakan satu kesatuan  dan kesatuan wilayah yang jelas dibawah kepala seorang negara atau Khalifah yang sekaligus sebagai Imam. Tetapi dengan peristiwa tahkim yang demikian itu berarti dunia Islam telah terpecah menjadi dua wilayah : Imam Ali di Timur-Semenanjung Arab, Irak dan Mu’awiyah di bagian barat-meliputi Syam (Siria) dan Mesir. Sudah tentu ini membawa terpecahnya umat Islam yang berakibatkan jauh dalam sejarah. Karena akidah Islam yang begitu kuat, perpecahan politik ini tidak sampai berpengaruh pada kesatuan akidah.
Mereka yang sejak semula sudah setia kepada Imam Ali seperti dikawasan Hijaz, Irak, Persia dan sekitarnya-tetap yakin bahwa Imam Ali di pihak yang benar, dan Mu’awiyah merebut kekuasaan dengan jalan tidak sah karena dilakukan dengan cara rekayasa politik. Hanya saja menghadapi kebijakan politik yang ditempuh Imam Ali menghadapi Mu’awiyah, pengikut-pengikutnya sendiri terpecah menjadi dua golongan besar :
a.       Syiah, adalah satu golongan yang sudah merasa jemu berperang. Segala bencana dan pembunuhan yang selama ini menimpa mereka telah menimbukan kebencian kepada Mu’awiyah dan orang Syam. Mereka terus berdebat mengenai hak mereka dari segi agama dan syariah. Kebanyakan mereka adalah penduduk kota.
b.      Khawarij, adalah golongan yang masih memikul dendam dan tak dapat menerima manipulasi Amr kepada Abu Musa sebagai alasan membenarkan Imam Ali atas segala yang sudah terjadi. Mereka berbicara dengan Imam Ali dengan begitu berani, kasar dan keras kepala. Ada pilihan dua baginya : mengakui Mu’awiyah lebih berhak dari anda dan pecatlah diri Anda dan biar semua kekuasaan yang ditangan nya, atau Anda sendiri yang memang berhak dan dia yang telah merebut kekuasaan dengan sewenang-wenang, maka marilah bersama-sama kita memerangi dia untuk mengembalikan hak itu ke tempatnya. Kebanyakan mereka adalah penduduk pedalaman. Mereka mengancan Imam dengan pembunuhan jika tidam mau melaksanakan kehendak mereka.
Mereka yang meneriakkah “la hukma illa lillah” menentang Ali dan Mu’awiyah bersama-sama. Mereka manuduh kafir semua pihak yang menerima tahkim dengan menempuh cara-cara kekerasan. , teror dan pembunuhan terhadap siapa saja yang berpaham tidak sejalan dengan mereka. Tidak sedikit orang awam, badwi di pedalaman dan mereka yang sama sekali tidak mendapat pendidikan, ikut bergabung kedalam Khawarij, disamping itu juga kaum terdidiknya.
      Dalam menjalankan hukum syariatnya mereka sangat ketat dan keras. Seorang Khalifah terpilih dapat dipecat apabila melakukan dosa besar, dan orang yang melakukan dosa besar termasuk murtad. Khawarij ini merupakan aliran pertama dalam ilmu kalam.[21]

6.      Kritik kontribusi khalifah 4 dalam tradisi dan peradabanMuslim
Terlepas dari berbagai kekurangan yang dimiliki oleh para Khalifah, mereka meninggalkan sistem hidup bermasyarakat yang berharga dan maju dari sudut pandang zamannya. Umar r.a telah berhasil menyusun organisasi negara menjadi lima suborganisasi yaitu organisasi politik, organisasi tata usaha atau admministrasi negara, organisasi keuangan negara, organisasi ketentaraan dan organisasi kehakiman.
Pada zaman Khulafaur Rasyidin, ilmu agama dikembangkan sedemikian rupa: ilmu qira’at, yaitu ilm tentang cara membaca dan memahami al-Qur’an. Untuk mengajarkan al-qur’an, Umar mengirim Muadz Ibn Jabal ke Palestina, Abu Dzar ke Damaskus,Ubai Ibn Ka’ab ke Madinah. Saat itu terdapat bacaan yang beragam. Disamping al-Qur’an, hadist juga disebarluaskan atas Umar dengan  Abdullah Ibn Mas’ud ke Kufah, Ma’qal Ibn Yasar ke Basrah, dan Ubadah Ibn Shamit ke Syiria. Pada zaman al-Khulafaur al-Rasyidun berkembang dua tulisan : tulisan Kufi dan tulisan Naskhi.
Ilmu yang tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap al-qur’an dan hadist adalah ilmu fikih. Pada zaman ini, buku-buku sejarah memperlihatkan bahwa para pemimpin, baik pusat maupun di daerah, banyak berperan sebagai faqih. Oleh karena itu, sejumlah peneliti menyebutkan bahwa fikih Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali adalah fikih penguasa. Disamping itu, pada waktu itu sudah muncul Khawarij,sebagai gerakan politik, yang argumentasinya gerakan politiknya yang bersifat teologis. Oleh karena itu, ilmu kalam pun pada waktu itu sudah mulai dirintis, terutama pada akhir zaman Ali bin Abi Thalib.[22]
Pada zaman Khulafaur Rasyidin terdapat sejumlah peninggalam berharga yang sangat penting bagi umat Islam. Pertama, pada waktu itu telah lahir sejumlah cara pengangkatan pemimpin, musyaawarah terbatas, penunjukan langsung dan team formatur. Kedua, pada waktu itu terdapat sejumlah meshaf al-qur’an pada zaman Abu Bakar dan Ustman bin Affan sehingga melahirkan Mushaf Ustmani yang digandakan dan dikirim ke beberapa wilayah. Ketiga, umat Islam telah dihinggapi sikap saling curiga dan saling tidak percaya sehingga melahirkan sejumlah pertempuran internal umat Islam. Disamping itu perluasan wilayah dilakukan sejak zaman Abu Bakar dan terhenti pada zaman Ali bin Abi Thalib. Keempat, Khawarij yang telah melakukan pembelotan terhadap Ali pada dasarnya didasari atas keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah serta semua pihak yang terlibat dalam tahkim dianggap telah melakukan dosa besar, seorang muslim yang melakukan dosa besar, berarti telah murtad, dan orang murtad harus dibunuh. Oleh karena itu, pada waktu itu telah ada konsep iman, dosa besar, dan murtad yang digagas oleh khawarij. Dan kelima, pada waktu wilayah sudah dibagi-bagi dan setiap wilayah memiliki gubernur dan bahkan diantara wilayah telah memiliki pasukan militer tersendiri, termasuk Umar r.a telah meletakkan prinsip-prinsip peradilan yang hingga kini masih relevan.







































BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ustman merupakan Khalifah ketiga menggantikan Khalifah Umar bin Khatab yang terpilih melaui pembentukan dewan syura. Selama masa pemerintahanya, Utsman telah berhasil juga menaklukkan beberapa negeri, beliau juga berhasil menyatukan orang dalam bacaan dan tulisan Al-Qur`an yang terpercaya setelah berkembangnya bacaan yang dikhawatirkan dapat membingungkan orang. Beliau juga telah memperluas Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Betapapun kritik yang dilontarkan kepada Utsman atas kebijakannya dalam memilih para gubernur dan pembantunya, kita harus menyadari bahwa kebijakan itu merupakan ijtihad pribadinya. Jadi bukan berdasarkan nafsunya, melainkan berdasarkan ijtihad. Dan para shahabat yang mengkritiknya pun dalam rangka menasihati dengan berdasar pada ijtihad pula, yang mana hal ini adalah positif dan bermanfaat.
Benih-benih fitnah pada akhir-akhir pemerintahan Utsman telah dimanfaatkan Abdullah bin Saba`. Abdullah bin Saba` adalah seorang agen Yahudi yang menyebarkan khurafat mengenai Ali ra. Dari sini kita mengetahui bahwa perpecahan ummat Islam menjadi dua kubu, yaitu Sunni dan Syi’ah adalah merupakan buah tangan Abdullah bin Saba`.
Ali termasuk orang yang pertama kali membai’at Utsman. Ali juga yang telah menggagalkan rencana pemberontak dari Mesir. Ali juga yang telah memberi nasihat kepada Utsman dengan penuh keikhlashan dan kecintaan. Ali juga yang telah mengirim air ke rumah Utsman. Ali juga yang telah menyuruh Hasan dan Husain untuk menjaga rumah Utsman dari para pemberontak. Ali juga yang telah begitu marah atas pembunuhan Utsman. Dengan demikian Ali adalah pendukung Utsman yang terbaik selama khilafahnya. Maka tidaklah salah, ketika muslimin waktu itu memilih Ali sebagai Khalifah pengganti Ustman.
Ali bin abi thalib salah satu orang terdekat Nabi Muhammad SAW, yang tumbuh di bawah asuhan Nabi SAW, beliau juga termasuk orang-orang yang dahulu masuk islam. Pada saat Usman wafatpun beliau dibaiat oleh kaum muslimin menjadi kholifah yang ke-4.
Semasa kepemimpinanya beliau berusaha mengembalikan masa-masa seperti para khalifah pendahulunya yang penuh dengan kedamaian, tidak banyak perselisihan dan pergolakan politik antar umat islam. Akan tetapi, masalah yang dihadapi terlalu rumit, hasil dari penumpukan masalah dari masa khalifah sebelumnya. Mulai dari kasus pembunuhan usman yang tak kunjung mendapat solusi, dampak kebijakan-kebijakan usman yang kontroversial, belum lagi sifat ingin memiliki kekuasaan dari berbagai pihak.
Kebijakan-kebijakan Ali yang notabene berniat memperbaiki keadaan justru mendapat  perlawanan terutama dari muawiyah dan pejabat-pejabat lainnya yang dipecat Ali. Kemudian muncul golongan khawarij yang menyatakan Ali dan Muawiyah adalah penyebab utama perang saudara dan mereka harus diperangi.
Hingga akhirnya, muawiyah dengan kekuatan politik dan militernya mampu mengambil alih kekuasaan dalam sistem monarkinya sedangkan ali terbunuh di tangan orang khawarij yang fanatik dengan motif balas dendam sebagai dampak dari perang saudara.
Beberapa peninggalan para Khulafaur Rasyidin yang sangat penting untuk umat Islam adalah : metode pengangkatan seorang pemimpin, kodifikasi al-qur’an, perluasan wilayah Islam, pengaturan administrasi negara, keamanan dan pertahanan negara, pengembangan ilmu pengetahuan, dll.

B.     Saran

Diharapkan setelah mengkaji makalah ini, mahasiswa mampu mengambil hikmah-hikmah yang terjadi selama kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin sehingga tercetak pribadi-pribadi Muslimin yang unggul dalam berbagai bidang. Beberapa hikmah yang dapat dipetik dari para Khulafaur Rasyidin, adalah :
1. Ketinggian, keluhuran dan kemuliaan akhlak para pemimpin perlu diteladani bagi para pewaris dan umat Islam saat ini.
2. Para Kholifah hanya melaksanakan amanah Allah, dalam menegakkan agama Islam di muka bumi dengan ikhlas dan semanagt jihat fisabilillah yang tinggi.

3. Para Kholifah rela miskin dan suka berkorban demi Islam.

4. Tidak ada yang menyatukan kaum muslimin, kecuali contoh dari para pemimpin yang ikhlas bukan karena hawa nafsu dalam memegangi Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.

5.  Wilayah Islam berkembang luas dari masyriki sampai maghribi, bertujuan hanya satu yaitu agar manusia berkhitmat untuk menyembah kepada Allah SWT.








[1] Hepi Andi Bastoni, 101 Sahabat Nabi, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar,2006), h. 550
[2] Dr. Badri Yatim, M. A, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta :  PT Raja Grafindo Persada,2008), h. 38
[3]Haekal, Ustman bin Affan, (Jakarta : Pustaka Litera Antarnusa,2004), h.26
[4] Prof. Dr. Jaih Mubarok, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung : CV Pustaka Islamika,2008 ), h. 103
[5]Haekal, op. cit., h. 82
[6]Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, ( Jakarta : PT Litera Pustaka Antarnusa, cet. ketiga, 2007 ), h. 183
[7] Prof. Dr. Jaih Mubarok, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung : CV Pustaka Islamika,2008 )
[8]Ibid.,
[9] Dr. Badri Yatim, M. A, op. cit., h. 38
[10]Haekal, op. cit., h. 131
[11]Ali Audah, op.cit., h. 175
[12]Haekal, op. cit., h. 132
[13]Ibid.,
[14]Prof. Dr. Jaih Mubarok, M. Ag, op. cit., h. 106
[15]Ibid.,
[16]Hepi Andi Bastoni, op. cit., h. 179
[17]Hepi Andi Basroni, op. cit,. h 178
[18]Ali Audah, op. cit., h. 187
[19] Badri Yatim, M. A, op. cit., h. 38
[20]Ali Audah, op. cit., h. 336
[21]Ali Audah, op. cit., h. 267
[22]Prof. Dr. Jaih Mubarok, M. Ag, op. cit., h. 115

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar Pertimbangan Pemilihan Media Pembelajaran

EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

Psikoanalisa Alfred Adler