Konstruk sosial dan Kepemimpinan Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah selalu menarik untuk dikaji dan
dipelajari. Sejarah sebagai sesuatu yang
rill, meski kenyataan sesungguhnya telah berlalu, tapi tidak berarti bahwa
nilai-nilai yang dikandungnya ikut terkubur. Nilai tersebut berkemungkinan
besar mempengaruhi pola hidup/sikap kehidupan umat manusia hari ini (bukan
dalam artian determinis akan tetapi reflektif). Pada posisi ini sejarah
dianggap sebagai bagian terpenting dalam diskursus keilmuan untuk
memproyeksikan masa depan, dan karenanya ia pun menjadi niscaya untuk dikaji,
ditelaah dan dimengerti.
Membangun sikap antipati terhadap sejarah sama
halnya mengeberi nilai kemanusiaan yang pernah terjadi. Bahkan bisa
dibilang bahwa setiap kita (generasi
hari ini) adalah produk sejarah. Persoalannya kemudian ialah bagaimana
membangun dan mengambil sikap terhadapnya.
Sebagai seorang muslim, sudah
sepatutnya untuk mengkaji dan mendalami sejarah yang berkaitan dengan Islam.
Berbicara tentang Islam, tidak terlepas dari Nabi Muhammad Saw, sebagai pembawa
risalah Islam serta kepemimpinan setelah beliau wafat yang kita kenal Khulafaur
Rasyidin.
Ketika Nabi mula-mula bangkit
menyerukan Islam, Semenajung Arab terbagi –bagi diantara kabilah-kabilah yang
masing-masing berdiri sendiri-sendiri, dengan tingkat kota dan pedalaman yang
berbeda-beda, dengan penduduk yang selalu dalam konflik dan pertentangan
terus-menerus. Sebagian besar daerah itu dibawah kekuasaan Persia atau pengaruh
Romawi.l Setelah Rasulullah pulang ke rahmatullah atau setelah dua puluh tiga
tahun kerasulannya, pengaruh Persia dan Romawi sudah mulai menyusut.
Kabilah-kabilah Arab berbondong-bondong masuk kedalam agama Allah. Kemudian ABU
Bakar terpilih sebagai penggantidan ia memerangi orang-orang yang murtad dari
Islam sampai mereka kembali lagi kepada Islam. Setelah itu kesatuan agama dan politik di Semenanjung
kembali lagi tertib. Ketika itulah Abu Bakar mulai merintis berdirinya
Kedaulatan Islam dengan menyerbu Irak dan Syam. Tetapi ajal tak dapat ditunda
untuk menyelesaikan rencana yang sudah dimulainya itu.
Setelah itu Abu Bakar digantikan
oleh Umar dan Ia meneruskan kebijakan Abu Bakar. Pasukan Muslimin di
Semenanjung itu menerobos ke kawasan kedua imperium Persia dan Romawi. Persia
dapat ditumpas dan daerah terpenting kekuasaan Romawi telah pula berhasil
ditaklukan.
Kedaulatan Islam dimasa Umar
membentang luas ke Tiongkokdi timur sampai ke seberang Barqah di barat, dari
Laut Kaspia di utara sampai ke Nibia di Selatan, yang mencakup juga Persia,
Irak, Syam dan Mesir. Dengan demikian, kedaulatan Arab itu telah merangkul
bangsa-bangsa dengan segala unsur budaya yang sangat beragam, karena setiap
golongan dari segi bahasa, ras, keyakinan dan bahasa, peradaban lingkungan
sosial dan ekonominya satu sama laintidak sama. Tetapi begitu Islam tersebar di
tengah-tengah mereka, agama baru itu telah menjadi perekat yang mempersatukan
mereka. Juga kabilah-kabilah Arab itu telah berhasil dalam mewarnai
negeri-negeri yang dibabaskan itu dengan warna Arab.
Berdirinya kedaulatan Islam di masa
Umar itu selesai dengan terbunuhnya Umar. Di masa hidupnya ada dua orang persia
berkomplot dan seorang lagi dari Nasrani Hirah. Kedua orang Persia itu adalah
Hormuzan, dan seorang lagi Abu Lu’lu ‘ah budak Mugirah, sedang yang dari Hirah
orang Nasrani bernama Jufainah. Hormuzan adalah salah seorang dari angkatan
bersenjata Persia yang ikut dalam perang besar Kadisiah yang mengalami
kekalahan. Kemudian ia lari ke Ahwaz dan dari sana ia menyerang angkatan
bersenjata Muslimin di Irak-Arab yang masih berdekatan.
Setelah Umar terbunuh, di negeri
Arab sendiri timbul suatu gejala, yang agaknya tak akan terjadi kalau tidak
karena berdirinya kedaulatan Islam. Sejak Umar ditikam oleh Abu Lu’lu’ah kaum
muslimin dicekam oleh rasa ketakutan, khawatir akan nasib mereka sendiri kelak.
Terpikir oleh mereka siapa yang akan menggantikannya jika dengan takdir Allah
dia meninggal. Beberapa orang ada yang membicarakan masalah ini pada Umar.
Mereka Umar meminta Umar mencalonkan pengganti.
Karenanya, ia membentuk majelis
Syura yang terdiri dari enam orang dengan tugas memilih di antara mereka
seorang khalifah sesudahnya. Keenam orang itu Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Zubair bin Abi Waqqas. Akhirnya terpilihnya Ustman bin Affan sebagai
Khalifah ketiga setelah bersaing ketat dengan Ali bin Abi Thalib.
Tidak seperti terhadap para Khulafa
Rasyidin yang lain, penilaian kalangan sejarawan terhadap Usman bin Affan
sangat berbeda. Sama halnya dalam menempatkan pengaruh mereka dalam sejarah
umar Islam. Dari sinilah penulisan sejarah masa Usman dan biografi Usman terasa
ganjil. Dan ini tak kurang pula pentingnya. Kedua masalah ini memerlukan
penelitian yang lebih saksama dan berhati-hati dalam menilai peristiwa demi
peristiwa dan pribadi-pribadi itu.
Sudah demikian rupa keadaan beberapa
kelompok itu, sampai sampai ada di antara mereka yang berusaha hendak
menanamkan keraguan mengenai keabsahan kekhalifan Abu Bakr dan Umar. Mereka
beranggapan bahwa sepeninggal Rasulullah hak kekhalifahan ada pada Ali, yang
diwasiatkan Rasulullah kepadanya. Sikap ekstrem yang dianut kelompok-kelompok
tersebut sudah tentu merupakan cacat, karena ini sangat bertentangan dengan
ajaran Islam, bahwa orang-orang mukmin itu sama seperti gerigi sisir. Oleh
karenanya hak dan kewajiban mereka sama, dan pimpinan negara harus diberikan
kepada yang ahli.
Sungguhpun begitu, menurut hemat
saya sudah dapat dipastikan bahwa sebagian mereka yang berpendapat bahwa
Rasulullah sallallahu’alaihi wasalam mewasiatkan kekhalifahan sesudahnya kepada
Ali, dan bahwa keturunan Ali lebih berhak untuk itu, tidaklah akan mengubah
keyakinan Dr. Haekal bahwa hak untuk memilih kepala negara adalah bebas dan tak
terikat oleh apa pun. Artinya kedaulatan ada di tangan kaum Muslimin atau
karena keyakinannya, bahwa pertentangan itu sendiri bagi Muslimin jauh lebih
banyak ruginya daripada untungnya, kalaupun yang disebut keuntungan demikian
itu ada.
Perkembangan yang dialami oleh
Kedaulatan Islam sejak masa Rasulullah dan masa Abu Bakr seharusnya tidak boleh
dibiarkan begitu saja. Karenanya Umar segera menempuh sistem syura sebagai
titik tolak sistem legislasi yang lentur untuk pemilihan khalifah, yang akan
berkembang sejalan dengan perkembangan keadaan negara dan pola politik yang
berlaku. Kelenturan yang menjadi ciri khas sistem ini dapat menjangkau
permusyawarahan yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada enam orang yang
sudah ditentukan oleh Umar itu.
Ketika sudah ada kesepakatan
mengenai pelantikan Usman, Dr. Haekal membahas sosok dan watak Khalifah yang
baru ini, dan sampai berapa jauh watak itu akan mempengaruhi politik negara
pada masanya.pada setiap zaman kepribadian seorang pengusaha memang besar
sekali pengaruhnya dalam politik dan administrasi negara. Keadilan dan
kebijakan Umar yang begitu baik, yang telah disaksikan sendiri kaum Muslimin,
sering terpantul dari wataknya itu. Mungkinkah pengaruh Usman dalam
mengemudikan negara juga sama dengan Umar? Inilah kelak yang akan terungkap
dari sela-sela kebijakannya dan dari bab-bab berikutnya dalam buku ini.
Pada permulaan pemerintahannya Usman
telah berusaha sedapat mungkin mengikuti kebijakan Rasulullah dan kedua
penggantinya, sesuai dengan janji yang sudah diikrarkannya tatkala dilantik
bahwa ia akan meneruskan kebijakan itu. Hal ini tampak jelas dalam politik
perluasan yang terjadi pada masanya. Politik ini merupakan lanjutan dari
politik Umar, walaupun pembangkangan dan pemberontakan yang berkecamuk di
beberapa daerah telah mengharuskan Usman mengerahkan sejumlah pasukan untuk
memadamkan dan menumpasnya. Begitu juga ia harus cepat-cepat mempersiapkan
armada Muslimin di Syam dan di Mesir untuk memukul mundur pihak penyerang,
kendati Umar telah melarang yang demikian, sebab orang Arab tak biasa di laut.
Apa yang dilakukan Usman itu, dan yang serupa itu, tidak bertentangan dengan
janjinya, tetapi ia dipaksa oleh keadaan. Sekiranya Umar mengalami hal yang
sama, niscaya ia pun akan sependapat dengan Usman.
Sebenarnya tindakan Usman yang
berlawanan dengan Umar itu tidak akan menimbulkan gejolak kalau saja ia mau
membatasi pada hal-hal yang sangat darurat saja. Tetapi dia juga
pejabat-pejabatnya untuk memperluas daerah kedaulatan dan memperbanyak rampasan
dan hasil pajak telah menempuh cara yang tidak disenangi oleh mayoritas umat.
Dalam hal ini akan lebih baik jika Usman mempertahankan pejabat-pejabat Umar di
tempat mereka bertugas pada tahun pertama itu, sesuai dengan pesan
pendahulunya. Selanjutnya ia mengganti mereka dengan pejabat-pejabat lain, yang
kebanyakan masih para kerabatnya, untuk menjamin kesetiaan mereka, kendati cara
ini sama sekali tak pernah dilakukan oleh Umar. Malah Umar menghindari
pengangkatan para kerabatnya itu untuk menjaga ia tetap bersih.
Sungguhpun begitu, sikap solidaritas
sahabat-sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tetapi teguh, dan
solidaritas ini kemudian menjadi kenyataan tatkala mereka menolak kaum
pemberontak itu hendak membaiat salah seorang dari mereka menjadi khalifah
sesuai dengan pesan Rasulullah: “Barang siapa mengaku dirinya atau salah
seorang pemimpin atas orang lain ia akan
dikutuk Allah. Bunuhlah dia.”
Pemerintahan Ustman berlangsung
selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan
tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Ustman
memang berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena usia nya yang telah
lanjut serta sikapnya yang terlalu lemah lembut. Akhirnya,pada tahun 35 H, dia
dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan
rakyat banyak kecewa terhadap kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaanya
mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah
Marwan Ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan
Ustman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang
duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka dihadapan kerabatnya
itu. dia tidak dpat berbuat banyak dan terlalu lemah dihadapan keluarganya. Dia
juga tidak tegas terhadap kelas bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya
dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Meskipun demikian, tidak berarti
bahwa pada masanya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Usman berjasa
membangun bendungan untuk menjaga arus banjir dan mengatur pembagian air ke
kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jemabatan, mesjid-mesjid,
dan memperluas mesjid nabi di Madinah.
Setelah Ustman wafat, masyarakat
beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Berbeda dengan
penulisan biografi ketiga tokoh Khulafaur Rasyidin, ali bin Abi Thalib punya
kedudukan tersendiri dalam sejarah umat Islam. Selain masih saudara sepupu Nabi
Muhammad, ia juga menjadi menantunya karena pernikahannya dengan Fatimah putri
nabi. Dari perkawinan ini lahir Hasan dan Husen. Permusuhan antar Bani Umayyah
dengan Bani Hasyim, yang pada tahun permulaan Islam terkikis habbis, setelah
terbunuhnya Khalifah Ustman bin Affan, penyakit lama Jahiliyah kambuh lagi, dan
mencapai puncaknnya setelah dibunuhnya Husein, putra kedua Ali bin Abi Thalib
dan seibagian besar anggotanya di Karbala oleh pasukan Yazid. Bani Hasyim
hendak berusaha menuntut bela dan mengklaim hak-hak waris politik mereka dalam
kekhalifahan. Hal ini menimbulkan pertentangan yang lebih parah.
Tetapi bagaimanapun juga, disamping
para Khulafaur Rasyidin, Ali adalah tokoh yang menarik untuk ditelaah.
Kedudukannya secara kekeluargaan yang sangat dekat kepada Rasulullah SAW,
sebagai sepupunyaa yang sudah diasuhnya sejak kecil, dibesarkan dalam
didikannya bersama Khadijah sehingga ia memandang keluarganya adalah orang
tuanya sendiri.
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai
salah seorang sahabat besar, berakhlak mulia, zahid yang dijadikan teladan,
bersikap lemah lembut terhadap siapa pun, dan dari keluarga Nabi, dengan
kecendrungan pada keadilan dan kebenaran yang sangat kuat. Dia memang intelek,
cerdas dan pemberani. Watak dan sifat-sifatnya yang terpuji memang dibuktikan
oleh sejarah. Sudah diketahui secara umum, seperti yang dikatakan oleh para
sejarawan. Ia disegani dan menjadi tempat bertanya para sahabat dan siapa saja,
dan sekaligus dicintai. Oleh karena itu tidak heran jika kemudian orang ingin
melukiskan sebagai sosok yang lluar biasa. Ketika itulah timbul cerita-cerita
tentang tokoh ini sebagai sosok yang luar biasa.
Ali memegang pemerintahan selama
kurang lebih enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai
penolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan
stabil. Setelah menduduki jabatan Khalifah, Ali memecat para gubernur yang
diangkat oleh Ustman. Pemecatan ini berdasarkan anggapannya yang menilai para
gubernur itu kurang cakap dan teledor untuk memegang jabatan sebagai Gubernur.
Dia juga menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Ustman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali
sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi
Thalib menghadapi pemberontakan Talhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali
tidak mau menghukum para pembunuh Ustman dan mereka menuntut bela atas kematian
Ustman yang dibunuh secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghundari
perang. Dia mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar keduanya mau berunding
untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak.
Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun tidak dapat dielakkan. Perang ini
dikenal dengan sebutan perang Jamal karena Aisyah dalam pertempuran ini itu menunggang
unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya, Zubair dan Talhah terbunuh ketika
hendak melarikan diri, seddangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke
Madinah.
Bersamaan dengan itu,
kebijaksanaan-kebijaksaan Ali juga menyebabkan timbulnya perlawanan dari
Gubernur di Damaskus, Mu’awiyah yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat
tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil
memadamkan pemberontakan Talhah CS . ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus
dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan Pasukan Mu’awiyah di
Shiffin. Pertempuran ini dikenal dengan sebutan perang Shiffin. Pertempuran ini
diakhiri dengan tahkim, tapi ternyata tahkim tidak menyelesaikan masalah,
bahkan menyebabkan golongan ketiga,al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari
barisan Ali. Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah
menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan al-Khawarij.
Munculnya kelompok al- Khawarij menyebakan tentaranya semakin lemah, sementara
posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H/660 M, Ali
terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan Ali sebagai Khalifah
kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat , maka
Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam
kembali dalam satu kepemimpinan politik, dibawah Mu’awiyah bin Abu Sufyan .
disisi lain perjanjian itu juga, menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut
dalam Islam. Tahun 41 H,tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagaian
tahun jama’ah. Dengan demikian berakhirlah, apa yang disebut dengan masa
Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik
Islam.
Pada zaman Khulafaur Rasyidin
terdapat sejumlah peninggalam berharga yang sangat penting bagi umat Islam.
Pertama, pada waktu itu telah lahir sejumlah cara pengangkatan pemimpin,
musyaawarah terbatas, penunjukan langsung dan team formatur. Kedua, pada waktu
itu terdapat sejumlah meshaf al-qur’an pada zaman Abu Bakar dan Ustman bin
Affan sehingga melahirkan Mushaf Ustmani yang digandakan dan dikirim ke
beberapa wilayah. Ketiga, umat Islam telah dihinggapi sikap saling curiga dan
saling tidak percaya sehingga melahirkan sejumlah pertempuran internal umat
Islam. Disamping itu perluasan wilayah dilakukan sejak zaman Abu Bakar dan
terhenti pada zaman Ali bin Abi Thalib. Keempat, Khawarij yang telah melakukan
pembelotan terhadap Ali pada dasarnya didasari atas keyakinan bahwa Ali bin Abi
Thalib dan Mu’awiyah serta semua pihak yang terlibat dalam tahkim dianggap
telah melakukan dosa besar, seorang muslim yang melakukan dosa besar, berarti
telah murtad, dan orang murtad harus dibunuh. Oleh karena itu, pada waktu itu
telah ada konsep iman, dosa besar, dan murtad yang digagas oleh khawarij. Dan
kelima, pada waktu wilayah sudah dibagi-bagi dan setiap wilayah memiliki
gubernur dan bahkan diantara wilayah telah memiliki pasukan militer tersendiri,
termasuk Umar r.a telah meletakkan prinsip-prinsip peradilan yang hingga kini
masih relevan.
Sebagaiman yang telah dikemukakan
sebelumnya bahwa tak satu pun peristiwa yang pernah dan akan terjadi bisa lepas
dari hukum kausalitas, atau bisa dikatakan sebagai variabel terkait yang
menjadi pemicunya. Olehkarenanya,
memahamipemicutersebutmerupakanprasyaratutamabagiterpahaminyasecaralogiskenapakemudiansuatuperistiwadapatmewujud.
Ungkapaninidipertegasoleh Hegel
(salahseorangpemikirjerman) bahwanalaradalahhukumdunia,
olehkarenaitudalamsejarahduniasegalasesuatu yang
terjadisecararasional.LebihjauhIamengatakanbahwanalaradalah substansi (hakikat),
karenadengannalarsegalarealitasmempunyaiwujud. Dari
pernyataaninimenangkapsuatumaknabahwadenganmemahamisejarahsecaraobjektif,
akandimengerticorakpemikiran yang menguasaiperadabanpadasaatitu.
Demikianhalnyadenganperistiwa-peristiwa
yang pernahterjadipadazaman
Khulafaur Rasyidin khususnya Ustman bin Affan dan Ali
bin AbiThalibsaat memegang
jabatan Khalifah.
Strategi-strategi mereka dalam menghadapi konflik-konflik internal maupun
eksternal yang tengah merongrong Kedaulatan Islam adalah sebagai sebuah
kenyataan historis, patut untuk ditealaah dan dikaji lebih jauh, tapi tentunya
tetap berdasar pada kaidah keilmuan (objektif).
Memang, sejarah memberikan banyak
petikan-petikan hikmah yang dapat diambil untuk kehidupan kini, maupun masa
yang akan datang. Kehidupan sejarah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin khusunya
Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memberikan pelajaran berharga yang
berbeda dari Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Oleh karena, sebagai
Muslim sudah sepatutnya mengkaji dan menelaah kembali sejarah kehidupan
kepemimpinan kedua Khalifah tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
konstruk sosial dan kepemimpinan Ustman bin Affan ?
2.
Bagaimanakah
konstruk sosial dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib?
C.
Tujuan
penulisan
1.
Menjelaskan
tentang kostruk sosial dan kepemimpinan Ustman bin Affan
2.
Menjelaskan
tentang konstruk sosial dan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
D.
Kegunaan
Penulisan
Diharapkan penulisan makalah ini dapat membuka mata para Mahasiswa
terhadap sirah para Khulafaur Rasyidin untuk dapat memetik hikmah atas segala
kejadian sehingga terbentuk pribadi muslim yang unggul dalam segala
bidang.
E.
Sistematika Penulisan
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Kegunaan Penulisan
E. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Konsepsi
Riil kepemimpinan Ustman bin Affan
1.
Asal
usul dan nasab Ustman bin Affan
2.
Perluasan
luas wilayah Islam
3.
Pembangunan
angkatan laut
4.
Pembukuan
Mushaf Ustmani
5.
Penerapan
sistem pemerintahan masa Ustman
6.
Konflik
dan kemelut konsep kepemimpinan Ustman
7.
Kelemahan
dan kelebihan konsep kepemimpinan Ustman
8.
Kritik
terhadap kepemimpinan Ustman
B.
Kepemimpinan
Ali bin Abi Thalib
1.
Asal
usul dan nasab Ali bin Abi Thalib
2.
Prosesi
pengangkatan Ali sebagai Khalifah
3.
Bentuk-bentuk
permasalahan Masa Ali
4.
Perang-perang
masa Ali
5.
Yurisprudensi
dan Khazanah aliran keagamaan masa Ali
6.
Kritik
kontribusi khalifah 4 dalam tradisi dan peradaban
Muslim
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
Kontruk Sosial Dan Kepemimpinan Ustman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib
A.
Konsepsi
Riil kepemimpinan Ustman bin Affan
1.
Asal
usul dan nasab Ustman bin Affan
Nama lengkap Usman bin Affan adalah Usman bin
Affan bin Abi al-‘Ash bin Umayyah bin Abdus Syams bin Abd Manaf bin Qushayyi
bin Kilab nasabnya dari keturunan Umayyah salah satu pembesar Quraish. Bapaknya
bernama Affan dan ibunya bernama Urwah binti Kuraiz dari Bani Syams juga. Usman
dilahirkan pada tahun keenam tahun gajah. Usia beliau lima tahun lebih muda
dari Nabi. Beliau mendapatkan pendidikan yang baik, beliau telah belajar
membaca dan menulis pada usia dini. Di masa muda nya, beliau telah menjadi
seorang pedagang yang kaya raya.[1]
Beliau berasal dari strata sosial dan ekonomi
yang tinggi yang pertama-tama memeluk Islam. Kepribadian Ustman benar-benar
merupakan gambaran dari akhlak yang baik menurut Islam (akhlakul karimah).
Beliau jujur, dermawan, rendah hati, lemah lembut, dan sangat pemalu.
Rasulullah Saw mencintai Ustman karena akhlaknya. Mungkin itulah alasan mengapa
Rasulullah Saw mengijinkan dua anaknya untuk menjadi istri Ustman, Ruqayyah dan
Ummu Kulstum, sehingga dijuluki ‘Dzun Nurain’ atau Sang Pemilik dua cahaya.
Di masa nabi, ia dipercaya untuk menjadi
sekretaris Nabi dan menjadi dewan penasehat ketika Abu Bakar menjadi Khalifah.
Ia termasuk sahabat yang dekat dengan Nabi dan merupakan salah satu dari
sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga. Di waktu Rasulullah mengerahkan
“Jaisyul’Usrah” (Balatentara yang dikerahkan dalam waktu kesukaran, yakni pada
peperangan Tabuk) Usman mendermakan 950 ekor unta, 59 ekor kuda dan seribu
dinar untuk keperluan laskar Islam. Padaperistiwa-peristiwasebelumnya
pun Usmanbanyak kali mendermakanhartanyadengantidakditahan-tahannya,
untukkemenangan Islam.
Menjelang kematian Umar, dia tidak menunjuk
secara langsung untuk menggantikan posisinya sebagai Khalifah. Umar membentuk
team formatur yang terdiri dari enam orang sahabat terkemuka untuk menentukan
penggantinya sebagai khalifah diantara anggota team. Enam sahabat yang menjadi
anggota formatur adalah Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin
Auf, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, Talhah bin Ubaidillah. Untuk
menghindari deadlock dalam pemilihan, Umar mengangkat anaknya, Abdullah Ibn Umar,
sebagai anggota formatur dengan disertai hak pilih tanpa berhak untuk dipilih.
Talhah tidak ada di Madinah dan baru kembali ke Madinah setelah pemilihan
Khalifah selesai dilakukan. Dalam penjajagan pendapat yang dilakukan oleh
Abdurrahman bin Auf terhadap anggota formatur yang ada diperoleh dua calon
khalifah yaitu Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib
memilih Ustman untuk menjadi Khalifah. Sebaliknya, Ustman memilih Ali untuk
menjadi Khalifah. Sa’ad Ibn Waqash memilih Ustman. Sementara suara Abdurrahman
bin Auf dan Zubair tidak diketahui kepada siapa hak pilihnya direalisasikan.[2]
Dewan musyawarah akhirnya berhasil mengangkat
Ustman bin Affan sebagai Khalifah ketiga sebagai pengganti Umar bin Khattab.
Ustman dibaiat pertama kali oleh Abdurrahman bin Auf di dalam Mesjid bakda
Subuh dan diikuti oleh kaum muslim yang lainnya.[3]
2.
Perluasan
luas wilayah Islam
Perluasan Islam di masa Usman dapat disimpulkan pada dua bidang,
yaitu sebagai berikut:
a.
Menumpas
pendurhakaan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk
ke bawah kekuasaan Islam di zaman Umar. Setelah Umar berpulang ke kerahmatullah
ada daerah-daerah yang mendurhaka kepada pemerintah Islam. Pendurhakaan itu
ditimbulkan oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama atau dengan kata
lain ada sementara pamompraja dari pemerintahan lama (pemerintahan sebelum
daerah itu masuk ke bawah kekuasaan Islam) ingin mengembalikan kekuasaannya.
Daerah-daerah yang mendurhaka itu terutama ialah Khurasan dan Iskandariyah.
b.
Melanjutkan
perluasan Islam ke daerah-daerah yang sampai di sana telah terhenti pada
perluasan Islam di Umar. Perluasan Islam boleh dikatakan meliputi semua daerah
yang telah dicapai balatentara Islam di masa Umar. Perluasan ini di masa Usman
telah bertambah dengan perluasan ke laut. Kaum muslimin pada masa itu pun telah
mempunyai angkatan laut.
Di masa Usman, negeri-negeri seperti, Barqah, Tripoli Barat dan
bagian selatan negeri nubah, telah masuk dalam wilayah Negara Islam. Kemudian
negeri-negeri Armenia dn beberapa bagian Thabaristan, bahkan kemajuan tentara
Islam telah melampaui sungai Jihun di Amu Daria. Jadi daerah “Mawaraan Nahri”
(negeri-negeri seberang sungai Jihun) telah temasuk wilayah Negara Islam dan
negeri-negeri Baktaria, Harah, Kabul dan Ghaznah di Turkastan pun telah
diduduki kaum Muslimin. Dengan mempergunakan angkatan laut yang dipimpin oleh
Mu’awiyah ibnu Abi Sofyan, pada tahun 28 H pulau Cyprus juga dapat di taklukkan
dan dimasukkan ke dalam wilayah Islam.[4]
3.
Pembangunan
angkatan laut
Dengan dibebaskanmya
Afrika yang mencakup semua negeri di pantai Laut Tengah, dari Antakiah di utara
Syam, dan diujung timur Laut itu sampai ke ujung barat di Afrika bagian utara,
Kedaulatan Islam sudah makin luas. Mu’awiyah di Syam yakin sudah bahwa pantai-pantai
yang terbentang ribuan mil itu tak mungkin aman dari serbuan mendadak pihak
musuh dari arah laut, kecuali jika Arab mempunyai armada laut yang dapat
menghadapi armada laut Rumawi, kalau mereka berusaha hendak kembali ke bagian
mana pun didaerah itu. itulah pokok pendapatnya sejak ia memerintah Syam dan
mengetahui Rumawi akan menyerang Antakiah dari arah laut.
Itu sebabnya dulu ia menulis surat kepada Umar menerangkan tentang
pulau Siprus yang begitu dekat ke Hims. Katanya, bahwa anjjing yang menggonggong
dan ayam yang berkokok di sana, akan terdengar dari desa di Hims. Tetapi Umar
tidak mengizinkan, seperti yang sudah kita sebutkan di atas. Sesudah di atas.
Sesudah Usman naik dan Rumawi menyerang Mesir dari laut, disamping itu
pantai-pantai imperium itu sudah membentang sampai keseluruh Afrika bagian
Utara, Mu’awiyah mengulangi lagi permintaannya kepada Usman untuk menyerang
Siprus dari laut.
Tetapi Usman juga masih khawatir. Kalau dia mengizinkan berarti ia
sudah menyalahi kebijakan Umar dan merusak janjinya waktu dibaiat, dan dengan
pelanggaran itu ia akan dikecam orang.
Tetapi ia melihat
permintaan Mu’awiyah itu suatu pikiran yang baik dan mempunyai pandangan jauh,
yang bila ditolak, dari segi politik tentu salah. Karenanya ia menulis kepada
Mu’awiyah: “Saya sudah melihat penolakan Umar ketika Anda meminta pendapatnya
untuk menyerang dari laut.”
Tetapi Mu’awiyah masih juga mengulangi pendapatnya itu. sekali ini
permintaannya dipenuhi, tetapi ia berkata: “Biar orang memilih sendiri dan
janganlah memaksa mereka yang terbaik di antara meraka. Barang siapa memilih
akan menyerang dengan sukarela pakailah danbantulah.” Rela buat yang berminat.
Jadi dia tetap menjaga kebijakan Umar, yang dalam pada itu ia tidak pula
menolak masalah yang dilihatnya sebagai pikiran yang baik dan jauh memandang ke
depan.
Tak lama sesudah surat Usman Mu’awiyah segera menyiapkan kapal-
kapalnya untuk menghadapi perang itu. setelah Abdullah bin Sa’d bin
Abi Sarh mengetahui adanya persetujuan Usman sengan Mu’awiyah itu ia pun segera
menyiapkan beberapa kapal di pelabuhan Iskandariah, dan membawa merak yang
secara sukarela mau berperang di laut. Dengan demikian pihak Muslimin sudah
mempunyai armada yang tak kalah perkasa dari armada Rumawi. Di samping angkatan
daratnya Kedaulatan Islam kini mempunyai juga angkatan laut di pantai-pantai
cukup Laut Tengahdan Laut Merah. Dari sini persiapan sudah cukup untuk
menghadapi pertempuran, yang buat orang Arab sebelum itu memang tak pernah
dikenal.[5]
4.
Pembukuan
Mushaf Ustmani
Ijtihad Khalifah Ustman bin Affan yang paling menonjol adalah
usahanya dalam kodifikasi dan penyeragaman lafal bacan Qur’an. Ijtihadnya ini
digerakkan bermula dari laporan Huzaifah bin al-Yaman, salah seorang sahabat
Nabi yang sedang mengikuti ekspedisi bersama dengan mereka yang dari Irak, Syam
dan Hijaz ke Armenia dan diAzerbaijan,
pada tahun kedua atau ketiga kekhalifahan nya. Ia melihat banyak qiraat yang
berbeda-beda dalam melafalkan bacaan. Segala perbedaan ini tidak lepas dari
perbedaan cara penulisan Qur’an dalam huruf Arab waktu itu. Ada yang membaca
menurut Miqdaad bin Aswad dan Abu ad-Darda, ada yang membacanya menurut
Abdullah bin Mas’ud atau Abu Musa al-Asy’ari, dan mereka yang baru masuk Islam
lain lagi lafal bacaannya. Antara sesama mereka sering timbul perselisihan
sengit. Melihat yang demikian Hudzaifah cepat-cepat kembali ke Madinah, dan
sebelum pulang ke rumahnya Ia langsung menemui Khalifah Ustman. Setelah
mempelajari laporan Hudzaifah dan melihat bahwa bila ini dibiarkan akan
berbahaya, Ia mengumpulkan beberapa orang sahabat terkemuka dan segera
membahasnya. [6]
Pada saat penyalinan al-Qur’an yang kedua kalinya, Panitia
penyusunan mushaf yang dibentuk oleh Ustman melakukan pengecekan ulang dengan
meneliti kembali mushaf yang sudah disimpan di rumah Hafsah dan
membandingkannya dengan mushaf-mushaf lain. Selain itu, tugas utama panitia
adalah menyalin mushaf al-Qur’an yang
disimpan di rumah Hafsah dan menyeragamkan qira’at atau lafal bacaan nya, yaitu
dialek Quraisy.[7]
Setelah berhasil membuat salinannya, Zaid Ibn Tsabit mengembalikan naskah yang
disalinnya kepada Hafsah. Khalifah Ustman memerintahkan kepada Zaid Ibn Tsabit
agar membuat salinan Mushaf dan dikirimkan ke Mekah, Madinah, Basrah, Kufah,
dan Syiria dan salah satunya disimpan oleh Ustman bin Affan yang kemudian
disebut Mushaf al-iman. Sedangkan mushaf yang lain selain yang telah disusun
oleh panitia yang dipimpin oleh Zaid Ibn Tsabit, diperintahkan untuk dibakar.Dengandemikian, pembukuan Al-Quran di
masakhalifahUtsmanitumemberikanbeberapakebaikkanseperti :
a.
MenyatukankaumMusliminpadasatubentuk mush-haf yang seragamejaantulisannya.
b.
Menyatukanbacaan, walaupunmasihadakelainanbacaan,
tetapibacaanitutidakberlawanandenganejaanmushhaf-mushhafUtsman.Sedangkanbacaan-bacaan
yang tidakbersesuaiandenganmushhaf-mushhafUtsmantidakdibenarkanlagi.Karena
Mush-hafUtsmanidisusunberdasarkanriwayat-riwayat yang mutawatir.Artinya,
ayat-ayat Al-Qur`andanqiroat yang terkandungdalam
Mush-hafUtsmanimemangayat-ayat Al-Qur`an seperti yang
dihafalolehmayoritasshahabat yang menerimanyalangsungdariRasulullah.
c.
Menyatukantertibsusunan surah-surah, sesuai yang
diajarkanolehRasulullah.Susunan surat sepertisekaranginiadalahsusunan surat yang
digunakanolehRasulullahketikabeliaumengulangibacaan Al-Qur`an di
hadapanJibrilsetiapbulanRamadhan.Penyusunan
Mushaf Ustmani ini telah berhasil mengeluarkan umat Islam dari kemelut
perbedaan qira’at.
5.
Penerapan
sistem pemerintahan masa Ustman
Sitem pemerintahan pada masa Utsman bin Affan dilakukan dengan
memberikan otonomi penuh kepada daerah. Hal ini berbeda dengan pada masa
khalifah Abu Bakar dan Urmar, wilayah hanya dibedakan menjadi dua, yakni
wilayah yang pemimpinya memiliki otonomi penuh, dan pemimpinnya disebutamir,
dan wilayah yang tidak memiliki otonomi penuh dan pemimpinnya disebutwali.
Pada zaman khalifah Utsman bin Affan terjadi perubahan system pemerintahan,
sehingga semua wilayah memiliki otonomi penuh.[8]
Oleh karena itu semua pemimpin wilayah —jabatan setingkat gubernur— yang
berjumlah sepuluh wilayah bergelar amir. An-Najjar sebagaimana
dikutif oleh Jaih Mubarok, pembagian wilayah otonomi dan amirnya sebagai
berikut:
No
|
Nama Wilayah
|
Nama Amir
|
1.
|
Makah
|
Nafi Ibn Abdul Harits al-Khuza
|
2.
|
Tha’if
|
Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi
|
3.
|
Shan’a
|
Ya’la bin Munbih
|
4.
|
Jand
|
Abdullah ibn Abi Rabi’ah
|
5.
|
Bahrain
|
Utsman ibn Abi al-Ash al-Tsaqafi
|
6.
|
Kuffah
|
Al-Mughirah Ibn Syu’bah al-Tsaqafi
|
7.
|
Bashrah
|
Abu Musa Abdullah Ibn Qais
al-Asy’ari
|
8.
|
Damaskus
|
Muawiyah ibn Abi Sufyan
|
9.
|
Hims
|
Amir ibn Sa’d
|
10.
|
Mesir
|
Amr Ibn Al-Ash
|
Pemerintahan khalifah Utsman bin Affan berlangsung selama 12 tahun,
dibagi menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan pemerintahan yang
bersih dari pengangkatan kerabat sebagai pejabat Negara. Sedangkan priode kedua
enam tahun terakhir merupakan priode pemerintahan yang tidak bersih dar i
pengangkatan kerabat sebagai pejabat Negara. Rupaya khalifah Utsman ini
melupakan pesan pendahulunya khalifah Umar bin Khatab, agar khalifah setelahnya
tidak mengangkat kerabat sebagai pejabat Negara.
6.
Konflik
dan kemelut konsep kepemimpinan Ustman
Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh
terakhir masa kekhalifahannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di
kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Ustman memang berbeda dengan
kepemimpinan Khalifah sebelumnya. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut dan
sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya, pada tahun 35 H/ 655 M Ustman dibunuh
oleh orang-orang yang kecewa itu.[9]
Salah satu faktor yang menyebabkan rakyat kecewa terhadap
kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaannya mengangkat kaum kerabat dalam
kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan Ibn Hakam. Dialah
pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang Khalifah. Setelah banyak
angota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Ustman laksana
boneka dihadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan tidak dapat
bertindak tegas terhadap keluarganya juga terhadap kesalahan bawahan. Harta
kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Ustman
sendiri.
Keadaan demikian dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba’, orang Yahudi
masuk Islam. Ia menebar fitnah-fitnah yang mempengaruhi masyarakat dan sedikit
demi sedikit menanamkan kebencian orang terhadap Khalifah Ustman. Ia
mengatakan, bahwa Ustman telah merampas hak orang yang lebih berhak, orang yang
telah menerima wasiat Rasulullah Saw, yakni Ali bin Abi Thalib-dengan membawa
hadist-hadist dan memutar balikkan arti beberapa ayat dalam al-qur’an. Ia
mengatakan bahwa, hak Ali sebagai penerima wasiat, sebagai mandataris Nabi
telah dirampas secara tidak sah. Dalam propaganda itu Ia mengatakan bahwa
setiap nabi punya seorang penerima wasiat, dan Ali adalah penerima wasiat
Muhammad dan penutup para penerima wasiat seperti Muhammad yang juga penutup
para Nabi. Dengan isu kekhalifahannya itu tampaknya lebih mudah orang percaya,
terlebih orang awam[10].
Sebenarnya timbulnya fitnah demikian tidak hanya datang dari luar,
melainkan juga dari dalam lingkungan Ustman sendiri, dari orang-orang
dekat yang selama itu ada di sekitarnya,
seperti Marwan Ibn Hakam, Walid Ibn Uqbah dan Abdullah bin Abi Sarh. Dimulai
dari sebuah rombongan dari Mesir berangkat ke Madinah mengadukan tindakan
gubernur Abdulah bin Abi Sarh yang sering bertindak sendiri diluar ketentuan
al-Qur’an dan Sunnah. Mereka menuntut pemecatan Abdullah Ibn Sarh sebagai wali
Mesir. Setelah dinasehati Talhah dan Aisyah dan desakan Ali bin Abi Thalib,
Ustman bin Affan bersedia memecat Abdullah bin Abi Sarh sebagai wali Mesir dan
mengangkat Muhammad bin Abu Bakar sabagai gantinya.[11]
Penduduk mesir yang
melakukan protes yang berjumlah kurang lebih 700 oarang serta disertai Muhammad
Bin Abu Bakar kembali ke Mesir setelah protesnya mendapat respon yang baik.
Akan tetapi di tengah perjalanan, mereka mendapati seorang budak yang
mencurigakan yang ternyata membawa surat rahasia dengan stempel Khalifah. Surat
tersebut ditunjukkan untuk Abdullah bin Abi Sarh yang berisi perintah agar
memenggal kepala Muhammad bin Abu Bakar sesampainya di Mesir.[12]
Muhammad bin Abu Bakar beserta rombongan kembali ke Madinah untuk
melakukan konfirmasi kepada Khalifah tentang surat yang dibawa oleh budak.
Berdasarkan penelitian terhadap tulisan tangan surat yang dibawa budak, diduga
kuat bahwa surat tersebut berasal dari Marwan. Muhammad bin Abu Bakar meminta
kepada Khalifah untuk menyerahkan Marwan. Tetapi Ustman menolak permintaan
tersebut karena khawatir Marwan akan dibunuh.
Situasi menjadi tegang dan tidak terkendali dan pengawalan terhadap
Khalifah Usman bin Affan menjadi tak berdaya karena banyaknya penduduk Mesir
yang melakukan protes dan memberontak. Akhinya, Ustman bin Affan wafat terbunuh
pada tanggal 18 Dzulhijah 35 H/ 17 Juni 656 M dalam pengepungan kaum pemberontak selama 40 hari.[13]
7.
Kelemahan
dan kelebihan konsep kepemimpinan Ustman
Selama kepemimpinannya yang berlangsung selama 12 tahun,
Ustman mengukir banyak prestasi. Yang
paling menonjol diantaranya adalah:
a.
Perluasan
wilayah Islam dengan mengguasai Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, sebagian
Persia, Transoxania, dan Tabaristan.
b.
Pembentukan
armada Laut pertama Islam
c.
Kodifikasi
al-qur’an, yang telah berhasil mengeluarkan umat Islam dari kemelut
perselisihan karena perbedaan qira’at
d.
Perluasan
dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid al-Haram di Mekah
Selain diatas, Ustman juga berjasa dalam membangun bendungan untuk
menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia
juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, dan mesjid-mesjid. Selama
beberapa tahun pertama pemerintahannya itu ia telah mewarisi dari Umar administrasi negara yang masih bersahaja ke tingkat institusi
yang lebih sempurna dengan membentuk sistem keuangan negara yang lebih
sistematik. Menjelang tahun ketujuh masa pemerintahannya, Timbul gejolak
politik, huru-hara silih berganti, petisi dan intrik merajalela yang kemudian
membuahkan pembunuhan dirinya pada hari Jum’at, tanggal 8 Dzulhijjah tahun 35
H. Kerusuhan yang berlanjut dengan pembunuhan Usman, nampaknya berawal dari
sistem kepemimpinan Khalifah Usman sendiri yang dinilai tidak adil dan tidak
bijaksana. Diketahui bahwa selama Usman berkuasa, ia banyak mengangkat
kerabatnya, seperti Marwan bin Hakam yang selanjutnya mengangkat pula
orang-orang Bani Umaiyyah lainnya sebagai pejabat tinggi dan penguasa negara.
Sebab-sebab lain yang
menimbulkankerusuhandanmembawakematianUsman, disebutkanoleh Abu
Zahrahsebagaiberikut :
a. Usmantertalubaikhatikepadapembesar-pembesarMuhajirindanparapejuangangkatanpertamadarikalangankerabatnya.
b. Usmanterlalumempercayaikerabatnya
–
meskipunhaldemikiantidakberdosadantercelasampai-sampaiUsmanmenyerahkanurusanpemerintahankepadamereka,
termasukmemintaperndapattentangpermasalahanpemerintah yang
tengahdihadapi.Sedangkanmerekabukantermasuk orang yang dapatdipercaya.
c. SebagaiakibatUsmanbegitubanyakmenyerahkanurusanpemerintahankepadakaumkerabatnyaitu,
makaakhirnya yang menanganimasalah-masalahpentingpemerintahannyadalah
orang-orang yang samasekalibelumkuatkeislamannya.
d. Usmanterlalulemahkepadaparabawahannya,
sedangkanbawahannyaitusebagiantidakberlakuadil, yang
menyebabkanrakyatmerasatidakpuas.
e. Sebagaisebab
yang paling fatal adalahadanya orang-orang yang dendamatas Islam – merekamasuk
Islam luarnyasaja, sedangkandalamhatinyakafir.
Sebagaiakibatdarisistempolitik yang
dijalankanUsmanserupaitu (nepotisme), makatimbulreaksi yang
kurangmenguntungkanbagiKhalifahUsmankhususnyadanpelajaran bagiumat
Islam padaumumnya.Sahabat-sahabatNabi yang padamulanyamenyokongUsman,
akhirnyaberpalingmenjadilawannya.[14]
8.
Kritik
terhadap kepemimpinan Ustman
H.A. R Gibb dan J.H Kramers membagi fase pemerintahan Ustman bin
Affan menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan pemerintahan yang
bersih dari pengangkatan kerabat sebagai pejabat negara, sedangkan periode
kedua adalah enam tahun terakhir yang merupakan periode pemerintahan yang yang
tidak bersih dari pengangkatan kerabat sebagai pejabat negara. Ustman melupakan
pesan Umar agar Khalifah setelahnya tidak mengangkat kerabat dalam jabatan
pemerintahan.
Kebijakan Khalifah Ustman yang menurut sebagian peneliti sejarah
tergolong nepotisme adalah, pertama ; perluasan wilayah kekuasaan. Mu’awiyah
pada zaman Khalifah Umar diangkat menjadi wali Damaskus. Wilayah kekuasaan
Mu’awiayah oleh Ustman diperluas sehingga mncakup lima wilayah; Damaskus,
Himsh, Palestina, Yordania, dan Libanon. Kedua promosi jabatan kepada keluarga.
Marwan Ibn Hakam (saudara sepupu Ustman) diangkat menjadi Sekretaris Jendral
negara yang menyebabkan negara dikendalikan oeh satu keluarga. Ketiga,
pemecatan wali atau amir yang berprestasi diganti dengan anak dan kerabat
dekatnya. [15]
Penggantian pejabat pada zaman Ustman
No
|
Pejabat yang Diganti
|
Pejabat Pengganti
|
Jabatan
|
Hubungan Kekerabatan
|
1.
|
Sa’ad Ibn Abi Waqash
|
Uqbah Ibn Abi Mu’aith
|
Wali Kufah
|
Saudara Seibu
|
2.
|
Abu Musa al-Asy’ary
|
Abdulah Ibn Amir
|
Wali Bashrah
|
Putra Paman
|
3.
|
Amr Ibn Ash
|
Abdullah Ibn Abi Syarh
|
Wali Mesir
|
Saudara Sepersusuan
|
Tindakan Khalifah Ustman yang menyebabkan terkumpulnya seluruh
kekuasaan di tangan keluarganya menimbulkan reaksi dari masyarakat,terlebih
dari mereka yang dipecat dari jabatannya tanpa alasan yang jelas. Disamping
itu, tindakan bawahan khalifah Ustman dinilai oleh masyarakat telah banyak
menyimpang dari ajaran Islam. Walid Ibn Uqbah
pernah shalat shubuh empat rakaat dalam keadaan mabuk. Ustman tidak
dapat mengatasi ambisi keluarga sehingga pelanggaran tidak dapat diatasi. Tanah
Fadak yang pernah disengketakan oleh Fatimah dengan Khaifah Abu Bakar,
dimasukkan menjadi milik pribadi oleh Marwan Ibn Al-Hakam.
C.
Kepemimpinan
Ali bin Abi Thalib
1.
Asal
usul dan nasab Ali bin Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekah, tepatnya di Ka’bah,
Masjidil Haram pada hari Jum’at, 13 Rajab ( sekitar tahun 600 M ). [16]Ayahnya
adalah Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin
Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusai
bin Kilab, dan ibunya bernama Fatimah binti Assad bin Hasyim bin Abdu Manaf.
Ali baru menginjak 10 tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama. Sehingga ia termasuk kedalam golongan
assabiqul awwalun. Sejak kecil ia mempunyai nama Haydar, namun begitu diasuh
Rasulullah ia dipanggil Ali yang berarti kedudukan tinggi. Untuk meringankan
beban Abu Thalib yang mempunyai anak banyak, Rasulullah Saw mengasuh Ali.
selanjutnya, Ali tinggal bersama Rasulullah di rumahnya sehingga mendapatkan
pengajaran langsung dari beliau. Sejak kecil Ali telah menunjukan pemikirannnya
yang kritis dan briliant. Kesederhanaan, kerendah-hati an, ketenangan,
keberaniannya menghadapi musuh-musuh Islam, dan kecerdasan dari kehidupan Ali
yang bersumber dari al-Quran serta wawasan beliau yang luas, membuatnya
menempati posisi istimewa diantara para sahabat Rasulullah. Ia seringkali
dimintai pendapatnya oleh sahabat-sahabat Rasulullah dalam menghadapi permasalahan ummat. Kedekatannya dengan keluarga
Rasulullah bertambah dekat, ketika
beliau menikahi Fatimah, anak kesayangan Rasulullah Saw. Dari segi agama, Ali
bin Abi Thalib adalah seorang ahli agama disamping ahli sastra yang terkenal.
Ali dikenal cerdas dan menguasai masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana
tergambar dari sabda Nabi s.a.w., "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali
pintu gerbangnya". ia juga dikenal sebagai panglima perang
yang gagah perkasa. Ia adalah sosok pemuda yang keberaniaanya luar biasa
dalam perjuangan membela Islam.
Setelah Nabi s.a.w.
wafat, Ali banyak mendukung pemerintahan Abu Bakar. Ketika muncul
Nabi-nabi palsu, ia turut ambil bagian dalam mengamankan stabilitas Madinah.
Setelah Abu Bakar wafat ia segera membai'at Umar sebagai khalifah ke dua. Untuk
mempererat hubungan persaudaraan, Ali memperkenankan menikahi salah
seorang putrinya, yakni ummi Kalsum. Ia selalu membantu Umar dalam
mengatur pemerintahan Islam, ketika
terjadi pencalonan khalifah ketiga Ali menyampaikan dukungan suaranya
terhadap Usman. Dan ketika Usman terkepung oleh gerombolan pemberontak dan
memerintahkan putranya yang bernama Hasan untuk menjaga keamanan pintu rumah
Usman.[17]
2.
Prosesi
pengangkatan Ali sebagai Khalifah
Muslimin dalam kesedihan yang mendalam, dan dalam kebingungan setelah kematian Ustman
. selama lima hari berikutnya mereka tanpa pemimpin. sejarah sedang kosong buat
Madinah, selain pemberontak yang selama itu pula membuat kekacauan dan
menanamkan ketakutan di hati orang.
Kaum pemberontak mengadakan pendekatan kepada Ali bin Abi Thaib
dengan maksud mendukungnya sebagai
Khalifah dipelopori oleh al-Gafiqi dari pemberontak Mesir kelompok terbesar. Tetapi Ali menolak.
Setelah Khalifah Ustman tak ada orang lain yang pantas menjadi Khalifah
daripada Ali bin Abi Thalib. Dalam kenyataannya, Ali memang merupakan tokoh
paling populer saat itu. Disamping itu, memang tak ada seorang pun ada yang
mengklaim atau mau tampil mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menggantikan
Khalifah Ustman selain nama Ali bin Abi Thalib. Disamping itu, mayoritas umat
Muslim di Madinah dan kota-kota besar lainnya sudah memberikan pilihanya pada
Ali, kendati ada juga dari beberapa
kalangan ,kebanyakan dari Baani Umayyah, yang tidak mau membaiat Ali, dan
sebagian dari mereka ada yang pergi ke Suria.[18]
Sebenarnya bukan ini yang
diinginkan Ali. Kedudukannya sekarang memang serba sulit. Tetapi kalau dia
mundur dia juga salah . mayoritas mereka tetap mendesak agar Ali bersedia
dibaiat. Umat tak boleh terlau lama tanpa imam, tanpa pemimpin. dalam keadaan
yang masih kacau setelah terjadi pemberontakan sampai Khalifah Ustman terbunuh,
keadaan memang sangat eksplosif. Akibatnya perpecahan akan bertambah parah,
umat akan saling curiga. Bukan tidak mungkin akan beralibat pecah perang
saudara justru di Madinah. Jalan tengah baginya harus menerima kenyataan. Atas
pertimbangan itu, akhirnya Ali pun setuju memikul tanggung jawab sebagai
Khalifah keempat.
3.
Bentuk-bentuk
permasalahan Masa Ali
Sebagai Khalifah, memerintah
hanya enam tahun. Selama masa pemerinatahannya, ia menghadapi berbagai
pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahanya yang dapat
dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para Gubernur
yang diangkat oleh Ustman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi
karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan
Ustman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara,
dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam
sebagaimana pernah diterapkan Umar.[19]
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan
Talhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka Ali tidak mau menghukum para pembunuh
Ustman dan mereka menuntut bela terhadap darah Ustman yang telah ditumpahkan
secara dzalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia segera
mengirim surat kepada Talhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk
menyekesaikan hal itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya
pertempuran yang dahsyat pun terjadi.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksaan Ali juga
menyebabkan timbulnya perlawanan dari Gubernur di Damaskus, Mu’awiyah yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan
dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Talhah CS . ali
bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya
bertemu dengan Pasukan Mu’awiyah di Shiffin. Pertempuran ini dikenal dengan
sebutan perang Shiffin. Pertempuran ini diakhiri dengan tahkim, tapi ternyata
tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan golongan
ketiga,al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya di
ujung masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik,
yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan al-Khawarij. Munculnya kelompok al- Khawarij
menyebakan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat.
Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H/660 M, Ali terbunuh oleh salah seorang anggota
Khawarij.[20]
4.
Perang-perang
masa Ali
a.
Perang
Jamal
Perang ini
dilatarbelakangi atas tuntutan Talhah, Zubair dan Aisyah yang menutu bela atas
kematian Ustman yang dibunuh secara dzalim. Talhah, Zubair, dan Aisyah
bersikeras menuntut agar Khalifah Ali segera mencari pembunuh Usman dengan
membawa baju yang berlumuran darah ke hadapan Ali. Tuntutan mereka itu tidak
mungkin dikabulkan oleh Ali hanya dalam waktu singkat. Tugas utama yang
akan dialkukan Ali dalam situasi kritis ini adalah memulihkan ketertiban dan
mengkonsolidasikan kedudukan kekhalifahan. Selain itu, menghukum para pembunuh
bukanlah perkara mudah karena khalifah Usman tidak hanya dibunuh oleh satu
orang. Alasan itulah yang semakin membuat Talhah dan kawan-kawan kecewa dan
semakin marah kepada Ali.
Penyelesaian secara damai tidak didapat hingga akhirnya
meletuslah perang Jamal (unta). Dikatakan perang jamal karena
Aisyah ikut dalam peperangan ini dengan mengendarai unta. Aiysah telah terhasut
oleh Abdullah, putra Zubair, yang ingin menjadi khalifah menggantikan Ali.
Abdullah memanfaatkan seseorang yang tepat yaitu Aisyah yang juga tidak suka
dengan khalifah Ali. Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian ini,
tetapi hal ini sulit dicapai. Maka kontak senjatapun tidak dapat dihindari.
Banyak pasukan Talhah yang terbunuh. Zubair dan Talhah terbunuh ketika hendak
melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
b. Perang Shiffin
Perang Shiffin ini terjadi karena pembangkangan Mu’awiyah Ibn Abu
Sufyan. Demi menjaga persatuan umat, Ali mengirimkan surat kepada Mu’awiyah
untuk segera membaitnya. Namun, Mu’awiyah menolak surat ini dan tidak mau
membaiatnya dengan tiga alasan;
1) Pelaku pembunuh Ustman harus ditemukan terlebih dahulu
2) Tidak ada suara bulat dari kalangan terkemuka untuk Ali
3) Mu’awiyah menganggap bahwa dia merupakan hak waris Ustman sebagai
bagian dari keturunan Bani Umayyah. Maka dari itu, dia yang paling berhak untuk meneruskan
kekhalifahan.
Akibat dari penolakan baiat ini, pada tahun 37 H/657 M meletuslah perang shiffin yang terletak tak jauh dari sebelah barat
pantai Sungai Furat, selatan Riqqah, timur laut Suria di dekat perbatasan
Suria-Irak, dua bekas jajahan Romawi dan Persia.
Pasukan Ali bin Abi Thalib hampir berhasil mematahkan pertahanan
pasukan Mu’awiyah. Dalam situasi yang demikian, pasukan Mu’awiyah yang berasal
dari Syam mengangkat mushaf al-qu’an sebagai tanda damai. Perdamaian antara Ali
bin Abi Thalib dan Muawiyah ini sebagai penyelesaian penyelesaian perang
Shiffin , dilakukan melalui tahkim, masing-masing pihak mengutus juru damai.
Abu Musa al-Asy’ari adalah juru damai dari pihak Ali bin Abi Thalib sedangkan
juru damai dari pihak Mu’awiyah adalah Amr bin Ash yang terkenal sebagai
politikus ulung.
Dalam proses tahkim ini, terjadi manipulasi politik Amr bin Ash
yang memang terkenal sebagai politikus ulung itu. hasil kesepakatan dua juru
damai itu kemudian disampaikan kepada khalayak ramai di Adzrah. Pertemuan itu
disaksikan oleh sejumlah sahabat, diantaranya Sa’as bin Waqash dan Ibnu Umar.
Karena lebih tua, Abu Musa al-Asy’ari dipersilahkan untuk menyampaikan hasil
perdamaian terlebih dahulu kepada masyarakat, maka Abu Musa al-Asy’ari
menyampaikan pidatonya dengan menurunkan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah.
Kemudian pembicara kedua, Amr bin Ash menyampaikan pidato dengan menurunkan Ali
sebagai Khalifah dan menetapkan Mu’awiyah sebagai pengganti Khalifah. Keputusan
ini tentu banyak mengejutkan banyak orang, hingga sebagian golongan yang
tadinya pengikut setia Ali membelot dan menyatakan ketidaksetujuan annya dengan
tahkim ini. Golongan ini kemudian dikenal dengan Khawarij.
c.
Perang
Nahrawan
Merupakan perang antara pihak Ali dengan kaum Khawarij. Kaum
Khawarij inilah yang meyakini bahwa Ali
dan pengikut-pengiktnya adalah kafir. Setiap orang yang dianggap melakukan
perbuatan dosa dianggap kafir. Mereka yang selalu meneriakkan “ La hukmu illa
billah” menolak tahkim yang terjadi saat perang Shiffin. Di Nahrawan, Saat perjalanan menuju Syam, pasukan Ali
dikejutkan oleh berita tentang pemberontakan kaum Khawarij yang melakukan tindakan kekerasan diluar
kemanusiaan terhadap masyarakat sekitar. Dalam kondisi demikian, Ali mengadakan
prundingan dengan kaum Khawarij untuk mencari jalan damai dan mengajak kembali
kepada mereka unruk berada di pihaknya.Namun kaum Khawarij tetap tidak mau
berdamai, kecuali Ali sendiri mengakui kekafirannya dan bertobat. Akhirnya,
karena tidak ada kata sepakat, perang di Nahrawan pun tak dapat dielakkan.
Pasukan kaum Khaawarij yang berjumlah tak lebih daari 3000 orang itu dengan
mudah dapat dikalahkan oleh pihak Ali.
5.
Yurisprudensi
dan Khazanah aliran keagamaan masa Ali
Sejak Islam lahir sampai masa Ustman merupakan satu kesatuan dan kesatuan wilayah yang jelas dibawah
kepala seorang negara atau Khalifah yang sekaligus sebagai Imam. Tetapi dengan
peristiwa tahkim yang demikian itu berarti dunia Islam telah terpecah menjadi
dua wilayah : Imam Ali di Timur-Semenanjung Arab, Irak dan Mu’awiyah di bagian
barat-meliputi Syam (Siria) dan Mesir. Sudah tentu ini membawa terpecahnya umat
Islam yang berakibatkan jauh dalam sejarah. Karena akidah Islam yang begitu
kuat, perpecahan politik ini tidak sampai berpengaruh pada kesatuan akidah.
Mereka yang sejak
semula sudah setia kepada Imam Ali seperti dikawasan Hijaz, Irak, Persia dan
sekitarnya-tetap yakin bahwa Imam Ali di pihak yang benar, dan Mu’awiyah
merebut kekuasaan dengan jalan tidak sah karena dilakukan dengan cara rekayasa
politik. Hanya saja menghadapi kebijakan politik yang ditempuh Imam Ali
menghadapi Mu’awiyah, pengikut-pengikutnya sendiri terpecah menjadi dua
golongan besar :
a.
Syiah,
adalah satu golongan yang sudah merasa jemu berperang. Segala bencana dan
pembunuhan yang selama ini menimpa mereka telah menimbukan kebencian kepada
Mu’awiyah dan orang Syam. Mereka terus berdebat mengenai hak mereka dari segi
agama dan syariah. Kebanyakan mereka adalah penduduk kota.
b.
Khawarij,
adalah golongan yang masih memikul dendam dan tak dapat menerima manipulasi Amr
kepada Abu Musa sebagai alasan membenarkan Imam Ali atas segala yang sudah
terjadi. Mereka berbicara dengan Imam Ali dengan begitu berani, kasar dan keras
kepala. Ada pilihan dua baginya : mengakui Mu’awiyah lebih berhak dari anda dan
pecatlah diri Anda dan biar semua kekuasaan yang ditangan nya, atau Anda
sendiri yang memang berhak dan dia yang telah merebut kekuasaan dengan
sewenang-wenang, maka marilah bersama-sama kita memerangi dia untuk
mengembalikan hak itu ke tempatnya. Kebanyakan mereka adalah penduduk
pedalaman. Mereka mengancan Imam dengan pembunuhan jika tidam mau melaksanakan
kehendak mereka.
Mereka yang meneriakkah “la hukma illa lillah” menentang Ali dan Mu’awiyah
bersama-sama. Mereka manuduh kafir semua pihak yang menerima tahkim dengan
menempuh cara-cara kekerasan. , teror dan pembunuhan terhadap siapa saja yang
berpaham tidak sejalan dengan mereka. Tidak sedikit orang awam, badwi di
pedalaman dan mereka yang sama sekali tidak mendapat pendidikan, ikut bergabung
kedalam Khawarij, disamping itu juga kaum terdidiknya.
Dalam menjalankan hukum
syariatnya mereka sangat ketat dan keras. Seorang Khalifah terpilih dapat
dipecat apabila melakukan dosa besar, dan orang yang melakukan dosa besar
termasuk murtad. Khawarij ini merupakan aliran pertama dalam ilmu kalam.[21]
6.
Kritik
kontribusi khalifah 4 dalam tradisi dan peradabanMuslim
Terlepas dari berbagai kekurangan yang dimiliki oleh para Khalifah,
mereka meninggalkan sistem hidup bermasyarakat yang berharga dan maju dari
sudut pandang zamannya. Umar r.a telah berhasil menyusun organisasi negara
menjadi lima suborganisasi yaitu organisasi politik, organisasi tata usaha atau
admministrasi negara, organisasi keuangan negara, organisasi ketentaraan dan
organisasi kehakiman.
Pada zaman Khulafaur Rasyidin, ilmu agama dikembangkan sedemikian
rupa: ilmu qira’at, yaitu ilm tentang cara membaca dan memahami al-Qur’an.
Untuk mengajarkan al-qur’an, Umar mengirim Muadz Ibn Jabal ke Palestina, Abu
Dzar ke Damaskus,Ubai Ibn Ka’ab ke Madinah. Saat itu terdapat bacaan yang
beragam. Disamping al-Qur’an, hadist juga disebarluaskan atas Umar dengan Abdullah Ibn Mas’ud ke Kufah, Ma’qal Ibn
Yasar ke Basrah, dan Ubadah Ibn Shamit ke Syiria. Pada zaman al-Khulafaur
al-Rasyidun berkembang dua tulisan : tulisan Kufi dan tulisan Naskhi.
Ilmu yang tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap al-qur’an
dan hadist adalah ilmu fikih. Pada zaman ini, buku-buku sejarah memperlihatkan
bahwa para pemimpin, baik pusat maupun di daerah, banyak berperan sebagai
faqih. Oleh karena itu, sejumlah peneliti menyebutkan bahwa fikih Abu Bakar,
Umar, Ustman dan Ali adalah fikih penguasa. Disamping itu, pada waktu itu sudah
muncul Khawarij,sebagai gerakan politik, yang argumentasinya gerakan politiknya
yang bersifat teologis. Oleh karena itu, ilmu kalam pun pada waktu itu sudah
mulai dirintis, terutama pada akhir zaman Ali bin Abi Thalib.[22]
Pada zaman Khulafaur Rasyidin terdapat sejumlah peninggalam berharga
yang sangat penting bagi umat Islam. Pertama, pada waktu itu telah lahir
sejumlah cara pengangkatan pemimpin, musyaawarah terbatas, penunjukan langsung
dan team formatur. Kedua, pada waktu itu terdapat sejumlah meshaf al-qur’an
pada zaman Abu Bakar dan Ustman bin Affan sehingga melahirkan Mushaf Ustmani
yang digandakan dan dikirim ke beberapa wilayah. Ketiga, umat Islam telah
dihinggapi sikap saling curiga dan saling tidak percaya sehingga melahirkan
sejumlah pertempuran internal umat Islam. Disamping itu perluasan wilayah
dilakukan sejak zaman Abu Bakar dan terhenti pada zaman Ali bin Abi Thalib.
Keempat, Khawarij yang telah melakukan pembelotan terhadap Ali pada dasarnya
didasari atas keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah serta semua
pihak yang terlibat dalam tahkim dianggap telah melakukan dosa besar, seorang
muslim yang melakukan dosa besar, berarti telah murtad, dan orang murtad harus
dibunuh. Oleh karena itu, pada waktu itu telah ada konsep iman, dosa besar, dan
murtad yang digagas oleh khawarij. Dan kelima, pada waktu wilayah sudah
dibagi-bagi dan setiap wilayah memiliki gubernur dan bahkan diantara wilayah
telah memiliki pasukan militer tersendiri, termasuk Umar r.a telah meletakkan
prinsip-prinsip peradilan yang hingga kini masih relevan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ustman merupakan Khalifah ketiga
menggantikan Khalifah Umar bin Khatab yang terpilih melaui pembentukan dewan
syura. Selama masa pemerintahanya, Utsman telah berhasil juga menaklukkan beberapa
negeri, beliau juga berhasil menyatukan orang dalam bacaan dan tulisan
Al-Qur`an yang terpercaya setelah berkembangnya bacaan yang dikhawatirkan dapat
membingungkan orang. Beliau juga telah memperluas Masjidil Haram dan Masjid
Nabawi.
Betapapun kritik yang dilontarkan
kepada Utsman atas kebijakannya dalam memilih para gubernur dan pembantunya,
kita harus menyadari bahwa kebijakan itu merupakan ijtihad pribadinya. Jadi
bukan berdasarkan nafsunya, melainkan berdasarkan ijtihad. Dan para shahabat yang
mengkritiknya pun dalam rangka menasihati dengan berdasar pada ijtihad pula,
yang mana hal ini adalah positif dan bermanfaat.
Benih-benih fitnah pada akhir-akhir
pemerintahan Utsman telah dimanfaatkan Abdullah bin Saba`. Abdullah
bin Saba` adalah seorang agen Yahudi yang menyebarkan khurafat mengenai
Ali ra. Dari sini kita mengetahui bahwa perpecahan ummat Islam menjadi dua
kubu, yaitu Sunni dan Syi’ah adalah merupakan buah tangan Abdullah
bin Saba`.
Ali termasuk orang yang pertama kali
membai’at Utsman. Ali juga yang telah menggagalkan rencana pemberontak dari
Mesir. Ali juga yang telah memberi nasihat kepada Utsman dengan penuh
keikhlashan dan kecintaan. Ali juga yang telah mengirim air ke rumah Utsman.
Ali juga yang telah menyuruh Hasan dan Husain untuk menjaga rumah Utsman dari
para pemberontak. Ali juga yang telah begitu marah atas pembunuhan Utsman.
Dengan demikian Ali adalah pendukung Utsman yang terbaik selama khilafahnya.
Maka tidaklah salah, ketika muslimin waktu itu memilih Ali sebagai Khalifah pengganti
Ustman.
Ali bin abi
thalib salah satu orang terdekat Nabi Muhammad SAW, yang tumbuh di bawah asuhan
Nabi SAW, beliau juga termasuk orang-orang yang dahulu masuk islam. Pada saat
Usman wafatpun beliau dibaiat oleh kaum muslimin menjadi kholifah yang ke-4.
Semasa
kepemimpinanya beliau berusaha mengembalikan masa-masa seperti para
khalifah pendahulunya yang penuh dengan kedamaian, tidak banyak perselisihan
dan pergolakan politik antar umat islam. Akan tetapi, masalah yang
dihadapi terlalu rumit, hasil dari penumpukan masalah dari masa khalifah
sebelumnya. Mulai dari kasus pembunuhan usman yang tak kunjung mendapat solusi,
dampak kebijakan-kebijakan usman yang kontroversial, belum lagi sifat ingin
memiliki kekuasaan dari berbagai pihak.
Kebijakan-kebijakan
Ali yang notabene berniat memperbaiki keadaan justru mendapat perlawanan
terutama dari muawiyah dan pejabat-pejabat lainnya yang dipecat Ali. Kemudian
muncul golongan khawarij yang menyatakan Ali dan Muawiyah adalah penyebab utama
perang saudara dan mereka harus diperangi.
Hingga
akhirnya, muawiyah dengan kekuatan politik dan militernya mampu mengambil alih
kekuasaan dalam sistem monarkinya sedangkan ali terbunuh di tangan orang
khawarij yang fanatik dengan motif balas dendam sebagai dampak dari perang
saudara.
Beberapa
peninggalan para Khulafaur Rasyidin yang sangat penting untuk umat Islam adalah
: metode pengangkatan seorang pemimpin, kodifikasi al-qur’an, perluasan wilayah
Islam, pengaturan administrasi negara, keamanan dan pertahanan negara, pengembangan
ilmu pengetahuan, dll.
B.
Saran
Diharapkan setelah mengkaji makalah ini, mahasiswa mampu mengambil
hikmah-hikmah yang terjadi selama kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin sehingga
tercetak pribadi-pribadi Muslimin yang unggul dalam berbagai bidang. Beberapa
hikmah yang dapat dipetik dari para Khulafaur Rasyidin, adalah :
1. Ketinggian, keluhuran dan kemuliaan akhlak para pemimpin perlu
diteladani bagi para pewaris dan umat Islam saat ini.
2. Para Kholifah hanya melaksanakan amanah Allah, dalam menegakkan
agama Islam di muka bumi dengan ikhlas dan semanagt jihat fisabilillah yang
tinggi.
3. Para Kholifah rela miskin dan suka berkorban demi Islam.
4. Tidak ada yang menyatukan kaum muslimin, kecuali contoh dari
para pemimpin yang ikhlas bukan karena hawa nafsu dalam memegangi Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah.
5. Wilayah Islam berkembang luas dari masyriki
sampai maghribi, bertujuan hanya satu yaitu agar manusia berkhitmat untuk
menyembah kepada Allah SWT.
[1] Hepi Andi Bastoni, 101 Sahabat Nabi, (Jakarta : Pustaka
al-Kautsar,2006), h. 550
[2] Dr. Badri Yatim, M. A, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada,2008), h. 38
[3]Haekal, Ustman bin Affan, (Jakarta : Pustaka Litera
Antarnusa,2004), h.26
[4] Prof. Dr. Jaih Mubarok, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, (
Bandung : CV Pustaka Islamika,2008 ), h. 103
[5]Haekal, op. cit., h. 82
[6]Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, ( Jakarta : PT Litera Pustaka
Antarnusa, cet. ketiga, 2007 ), h. 183
[7] Prof. Dr. Jaih Mubarok, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, (
Bandung : CV Pustaka Islamika,2008 )
[8]Ibid.,
[9] Dr. Badri Yatim, M. A, op. cit., h. 38
[10]Haekal, op. cit., h. 131
[11]Ali Audah, op.cit., h. 175
[12]Haekal, op. cit., h. 132
[13]Ibid.,
[14]Prof. Dr. Jaih Mubarok, M. Ag, op. cit., h. 106
[15]Ibid.,
[16]Hepi Andi Bastoni, op. cit., h. 179
[17]Hepi Andi Basroni, op. cit,. h 178
[18]Ali Audah, op. cit., h. 187
[19] Badri Yatim, M. A, op. cit., h. 38
[20]Ali Audah, op. cit., h. 336
[21]Ali Audah, op. cit., h. 267
[22]Prof. Dr. Jaih Mubarok, M. Ag, op. cit., h. 115
Komentar
Posting Komentar