Klasifikasi Hadist
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebagai umat Islam, wajib hukumnya untuk mempelajari
dan mengkaji al-qur’an dan as-sunah (hadist) sebagai sumber hukum dalam
kehidupan. Keduanya merupakan pedoman hidup yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan
dunia dan akhirat. Berpegang teguh pada keduanya akan terhindar dari kesesatan.
Memang,Islam merupakan agama yang universal dan memiliki aturan lengkap untuk
mengatur kehidupan umatnya dari mulai bangun tidur sampai dengan tidur kembali.
Hadist merupakan perkataan, perbuatan, atau
ketetapan Rasulullah Saw yang wajib diikuti umat Islam dan dijadikan sebagai
pegangan dalam kehidupannya. Untuk itu, sangatlah penting bagi umatnya untuk
terlebih dahulu mendalami ilmu mengenai hadist. Karena tidak sedikit orang yang
minim ilmu hadist sehingga banyak tersebar perbuatan-perbuatan yang didapati
dari hadist dhaif dan mendekati perbuatan bid’ah. Karenanya, makalah ini dibuat
dengan tujuan dapat membuka mata bagi para pembacanya mengenai ilmu hadist
sehingga terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullah Saw.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
klasifikasi hadist berdasarkan jumlah perawi?
2. Bagaimanakah
klasifikasi hadist berdasarkan kualitas sanad dan matan?
3. Bagaimanakah
klasifikasi hadist berdasarkan tempat penyandaran?
C. Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan
tentang klasifikasi hadist berdasarkan jumlah perawi
2. Menjelaskan
tentang klasifikasi hadist berdasarkan kualitas sanad dan matan
3. Menjelaskan
tentang klasifikasi hadist berdasarkan tempat penyandaran
BAB
II
PEMBAHASAN
Kata
hadist secara etimologi berarti komunikasi,cerita, percakapan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam koteks
sejarah atau peristiwa dan kejadian
aktual.[1]
Penggunaannya dalam bentuk kata sifat atau adjektiva, mengandung arti al jadid,
yaitu yang baru, lawan dari al-qadim,yang lama. Dengan demikian pemakaian kata
hadist disini seolah-olah dimaksudkan untuk membedakannya dengan alqur’an yang
bersifat qadim. [2]
Berikut
merupakan penjelasan mengenai
klasifikasi hadist:
A. Klasifikasi
Hadist
Berdasarkan Jumlah Perawinya
Ditinjau
dari segi jumlah perawinya,hadist terbagi kepada perawinya,hadist terbagi
menjadi dua, yaitu ;
1. Hadist
Mutawatir
2. Hadist
Ahad
Diantara
ulama hadist ada yang membaginya membagi tiga , yaitu ;
1. Hadist
Mutawatir
2. Hadist
masyhur
3. Hadist
Ahad
Berikut merupakan penjelasan
masing-masing hadist;
1. Hadist
Mutawatir
a. Pengertian
hadist mutawatir
Mutawatir secara
bahasa adalah isim fail dari kata al-tawatur,yang berarti al-tatabu[3],yaitu
berturut-turut.
Menurut
istilah ulama hadist, mutawatir berarti :
مَا رَوَا هُ عَدَ دٌ كَثِىْرُ تُحِىْلُ الْعاَدَةُ تَوَاطُؤَهُمْ عَلَ ا
لْكَذِ بِ
Hadist yang diriwayatkan
oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka bersepakat berbuat
dusta.
b. Kriteria
hadist mutawatir
1) Perawi
hadist tersebut terdiri atas jumlah yang banyak. Sekurang-kurang jumlahnya,
menurut sebagian ulama hadist adalah
sepuluh orang. Namun ada yang berpendapat minimal 4 orang dalam setiap
tabaqat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu al-Thayib,karena dianalogikan
kepada saksi dalam qadzf, ada yang mengharuskan 5 orang, dianalogikan kepada
jumlah nabi ulul azmi yang berjumlah 5 orang. Ada juga yang mengharuskan 20
orang, karena diqiyaskan kepada al-Qur’an surat 8, Al-anfal: 65, dan bahkan ada
yang mengsyaratkan minimal 40 orang, karena diqiyaskan kepada al-Qur’an surat
al-Anfal ayat 64. Penentuan jumlah tersebut sebenarnya adalah relatif, karena
yangmenjadi tujuan utamanya adalah syarat nomor tiga yaitu mustahilnya mereka
bersepakat melakukan dusta atas berita yang mereka riwayatkan.
2) Jumlah
tersebut harus terdapat pada setiap lapisan atau tingkatan sanad.
3) Mustahil
menurut adat bahwa mereka dapat bersepakat berbuat berdusta.
4) Sandaran
riwayat mereka adalah panca indra, yaitu sesuatu yang dapat dijangkau oleh
panca indra, umpamanya melalui pendengaran atau penglihatan.
c. Macam-
macam Hadist Mutawatir
1) Mutawatir
Lafdzi, yaitu hadist yang diriwayatkan dengan lafadznya oleh sejumlah perawi yang
lain yang tidak disangsikan bahwa mereka akan bersepakat untuk berbuat dusta,
dari awal sampai ke akhir sanadnya.
Contoh hadist Mutawatir Lafdzi
adalah :
بضعة و سبعون صحابيا) مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَىتَبَؤَّاْ مَقْعَدَهُ مِنَ ا لنَّارِ (رواه
"Barangsiapa
yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja, maka berarti ia menyediakan
tempatnya di neraka.”( hadist ini diriwayatkan oleh
lebih 70 sahabat)[4]
2) Mutawatir
maknawi, yaitu hadist yang mutawatir makna nya saja, tidak pada lafadznya.
Contoh dari hadist ini adalah tentang mengusap sepatu
(al-mash ‘ala al-khuffain), yang
diriwayatkan secara bervariasi lafadz nya oleh sekitar 70 orang.
d. Hukum
dan Kedudukan Hadist Mutawatir
Status dan hukum
Hadist Mutawatir adalah qat’i al-wurud yaitu pasti keberadaanya dan
menghasilkan ilmu yang dharuri (pasti). Oleh karenanya, adalah wajib bagiumat
Islam untuk menerima dan mengamalkannya. Dan karenanya pula, orang yang menolak
hukum Hadist Mutawatir dihukumkan kafir. Seluruh Hadist Mutawatir adalah
maqbul, dan karena itu pembahasan mengenai keadaan para perawinya tidak
diperlukan lagi.
2. Hadist
Ahad
a. Pengertian
Hadist Ahad
Kata ahad berarti satu. Menurut ‘Ajjaj al-Khatib,yang
dimaksud hadist ahad adalah :
هُوَ
مَا رَوَاهُ الْوَاحِدُاَوِالإِثْنَانِ فَأَكْثَرُ مِمَّالَمْ تَتَوَفَّرْ فِىْهِ
شُرُوْطُ الْمَشْهُوْرِأَوِالْمُتَوَاتِرِ
Hadist yang diriwayatkan
oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat
Hadist Masyhur atau Hadist Mutawatir.
b. Macam-macam
Hadist Ahad
1) Hadist
Masyhur
Secara bahasa, kata ‘Masyhur’
adalah isim maf’ul dari syahara, yang
berarti al-zuhur yaitu nyata. Sedangkan menurut istilah ilmu hadist adalah:
مَارَوَاهُ ثَلاَثَةُ فَأَكْثَرُ فِىْ كُلِّ طَبَقَةٍ مَالَمْ يَبْلُغْ
حَدًّ التَّوَاتُر
Hadist
yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan
sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir.[5]
Status dan Hukum Hadist Mahsyur
Hukum hadist
Masyhur tidak ada hubungannya dengan Shahih atau tidaknya suatu hadist, karena
diantara Hadist Mahsyur terdapat hadist yang mempunyai status Shahih, Hasan
atau Dha’if dan bahkan ada yang Maudhu (palsu). Akan tetapi, apabila suatu
hadist Mahsyur tersebut berstatus shahih, maka hadist masyhur itu hukumnya lebih kuat daripada hadist aziz
dan gharib.
Di kalangan
Ulama Hanafiyah. Hadist Masyhur hukumnya adalah zhann, yaitu mendekati yakin
sehingga wajib mengamalkannya. Akan tetapi karena kedudukannya tidak sampai
kepada derajat Mutawatir, maka tidaklah dihukumkan kafir bagi orang yang
menolak atau tidak beramal dengannya.
Selain hadist
Masyhur yang dikenal khusus dikenal di kalangan Ulama Hadist, sebagaimana yang
telah dikemukakan definisinya diatas yang disebut dengan al-Masyhur
al-ishthilahi, juga terdapat hadist Masyhur yang dikenal di kalangan Ulama lain
selain Ulama hadist dan dikalangan umat secara umum. Hadist Masyhur dalam
bentuk yang terakhir ini disebut Al-Masyhur
ghair ishthilahi yang mencakup hadist-hadist yang sanadnya terdiri dari
satu orang perawi atau lebih pada setiap tingkatnya atau bahkan yang tidak
mempunyai sanad sama sekali.
2) Hadist
‘Aziz
‘aziz menurut bahasa adalah shifat Musyabbahat dari
kata ‘azza-ya-izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu sedikit dan jarang,
atau berasal dari kata ‘azza-ya ‘azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu
kuat dan sangat. Menurut istilah ilmu hadist, ‘aziz berarti:
اَنْ
لاَيَقِلَّ رُوَاتُهُ عَنِ اثْنَيْنِ فِي جَمِيْعِ طَبَقَاتِ السَنَدِ
Hadist
yang tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad.
Contoh
hadist Ahad adalah:
مَارَوَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِيْ
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَا لَ: لاَيُؤْمِنُ اَحَدَكُمْ حَتَّ اَكُوْنَ اَحَبُّ اِلَيْهِ مِنْ
وَلَدِهِ وَلَدِهِ
Hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari dari hadist Abu Hurairah, bahwa Rasululllah
bersabda,” Tidak beriman salah seorang sehingga aku lebih dicintainya dari orang
tua nya atau anaknya.”[6]
3) Hadist
Gharib
Menurut bahasa,
kata gharib adalah shifat musyabbahat yang berarti al-munfarid atau al-ba’id ‘n
aqaribihi, yaitu yang menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Sedangkan menurut
istilah Ilmu Hadist berarti :
هُوَ مَا يَنْفَرِدُ بِرِوَاتِهِ رَاوٍوَاحِدٌ
Yaitu hadist yang menyendiri seorang perawi dalam
periwatannya[7]
Dari definisi
diatas disimpulkan bahwa hadist gharib yaitu hadist yang diriwayatkan oleh
seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan
sanaddan bahkan mungkin hanya pada satu tingkatan sanad. Hadist Gharib terbagi
menjadi dua, yaitu :
a. Gharib
Muthlaq
Yaitu hadist yang menyendiri
seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad.
Contoh Hadist Gharib Muthlaq adalah
hadist mengenai niat:
اِنَّمَا الأَعْمَلُ بِالنِّيَاتِ ( أخرجه الشيخان )
Sesungguhnya
seluruh amal itu tergantung niat (HR Bukhari Muslim)[8]
b. Gharib
Nisbi
Adalah hadist seorang
yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad, namun di
pertengahan sanadnya terdapat tingkatan yang perawinya hanya sendiri.
Contoh hadist Gharib nisbi, adalah
:
مَارَوَاهُ مَالِكُ عَنِ الزُّهْرِيْ عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
اَنَّ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيه وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ وَعَلَ رَأْسِهِ
الْمِغْفرُ ِ (اخرجه الشيخان)
Hadist yang
diriwayatkan oleh Malik dari al-Zuhri dari Anas r.a, bahwasanya Rasulullah Saw
memasuki kota mekkah dan diatas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup
kepala). (HR Bukhari Muslim)
B. Klasifikasi
Hadist Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
Ditinjau
dari segi kualitas sanad dan matannya, atau berdasarkan kepada kuat atau
lemahnya, hadist terbagi menjadi dua golongan, yaitu; hadist maqbul dan hadist
mardud.
Yang
dimaksud hadist maqbul adalah hadist
yang memenuhi syarat-syarat qabul, yaitu syarat untuk dapat diterima sebagai
dalil dalam perumusan hukum atau untuk beramal denganya. Hadistmaqbul ini
terdiri atas hadist shahih dan hadist hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan
hadist mardud adalah hadist yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan hadist
mardud dinamai juga dengan hadist dha’if.
Berikut
ini adalah penjelasan tentang masing-masing dari pembagian hadist berdasarkan
kualitas sanad dan matannya.
1. Hadist
Shahih
a. Pengertian
dan kriterianya
Shahih secara etimologi adalah
lawan dari saqim atau sakit. Sedangkan dalam istilah ilmu hadist adalah:
مَااتَّصَلَ
سَنَدَهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ
غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَعِلَّةٍ.
Hadist
yang berhubungan atau bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama (kwalitasnya) dengan nya
sampai kepada akhir sanad tidak syadz dan tidak pula ber-‘illat.[9]
Kriteria yang telah dirumuskan oleh
para ulama tentang hadist shahih adalah sebagai berikut:
1) Sanad
hadist tersebut harus bersambung. Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima
hadist secara langsung yang berada diatas nya, dari awal sanad sampai ke akhir
sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagai sumber hadist
tersebut.
2) Perawi
nya adalah adil yaitu memenuhi kriteria: Muslim, Baligh, berakal, taat beragama
tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak muru’ah nya.
3) Perawinya
adalah dhabith artinya perawi tersebut memiliki ketelitian dalam menerima
hadist.
4) Hadist
yang diriwayatkan tidak syadz. Artinya hadist tersebut tidak menyalahi riwayat
perawi yang lebih tsiqat dari padanya.
5) Hadist
yang diriwayatkan selamat dari ‘illat yang merusak. Yang dimaksud ‘illat dalam
suatu hadist, adalah sesuatu yang sifatnya samar-samar atau tersembunyi atau
yang dapat melemahkan hadist tersebut.
Contoh dari hadist shahih adalah :
مَا
اَخْرَجَهُ الْبُخاَرِيُّ فِي صَحِيْهِ قَالَ : حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
يُوْسُفَ قَالَ اَخْبَرَ نَامَالِكُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِبْنِ
جُبَيْرِبْنِ مُطْعِمٍ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَفِيْ الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ.
Hadist
diriwayatkan oleh Bukhari didalam Shahih-nya, ia berkata: “telah menceritakan
kepada kami ‘Abd Allah ibn Yusuf,dia berkata,”telah mengabarkan kepada kami
Malik dari Ibn Syihab dari Muhammad ibn Jubair bin Muth’im dari ayahnya, ia
berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah SAW membaca surat at-Thur pada waktu shalat
magrib.”[10]
Hadist diatas dapat dikatakan
shahih karena telah memenuhi syarat-syarat ke-shahih-an suatu hadist,
sebagaimana yang terlihat pada keterangan berikut:
1) Sanad
hadist tersebut bersambung
2) Para
perawi hadist tersebut adalah adil dan dhabith. Hal tersebut telah diteliti
oleh para ulama Jarh dan ulama ta’dil dengan perincian keterangan sebagai
berikut:
a) ‘Abd
Allah ibn Yusuf adalah seorang yang tsiqat dan mutqan
b) Malik
ibn Abbas adalah Imam Hafidzh
c) Ibn
Syihab adalah seorang faqih,hafidz,mutaffaq ‘ala jalalatih, dan itqanihi
d) Muhammad
ibn Jubair adalah tsiqat
e) Jubair
Ibn Muth’im adalah sahabat, dan para ahli hadist telah sepakat menyatakan
keadilan sahabat.
b. Tingkatan
Hadist Shahih
Sebagian ulama
hadist membagi tingkatan hadist shahih, berdasarkan kepada kriteria yang
dipedomani oleh para mukharrij (Perawi nya yang terakhir yang membukukan)
hadist shahih tersebut kepada tujuh tingkatan yaitu sebagai berikut:
1. Hadist
yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim
2. Hadist
yang diriwayatkan oleh Bukhari saja
3. Hadist
yang diriwayatkan oleh Muslim saja
4. Hadist
yang diriwayatkan sesuai dengan persyaratan Bukhari dan Muslim
5. Hadist
yang diriwayatkan menurut persyaratan Bukhari
6. Hadist
yang diriwayatkan menurut persyaratan Muslim
7. Hadist
shahih menurut Imam-Imam hadist lainnya yang tidak mengikuti syarat Bukhari dan
Muslim, seperti Ibnu Khuzaimah dan Ibn Hibban.
c. Macam-macam
Hadist Shahih
(i)
Shahih Lidzatihi, yaitu
hadist yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria keshahihan sebagai mana
yang disebutkan diatas, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya.
(ii)
Shahih Lighairihi,
yaitu hadist yang keshahihan nya tidaklah berdasarkan sanad nya sendiri, tetapi
berdasarkan pada dukungan sanad yang lainnya yang sama kedudukan nya dengan
sanadnya atau lebih kuat dari padanya.
d. Hukum
dan Status Ke-hujjah-an Hadist Shahih
Para ulama
hadist, demikian juga para ulama ushul fiqh dan fuqaha, sepakat menyatakan
bahwa hadist shahih adalah wajib untuk menerima dan mengamalkannya. Hadist
shahih adalah hujjah dan dalil dalam penetapan hukum syara, oleh karenanya
tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk meninggalkannya.
2. Hadist
Hasan
a. Pengertian
dan kriterianya
Hasan secara etimologi adalah merupakan shifat
musyabbahah, yang berarti al-jamal, yaitu indah atau bagus. Sedangkan menurut
Ibn Hajjar yaitu,
هُوَمَااتَّصَلَ
سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الَّذِيْه خَفَّ ضَبْطُهُ عَنْ مِثْلِهِ اِلَى
مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ.
Hadist
yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang adil, kurang ke-dhabith-annya,
dari perawi yang sama kualitas dengannya sampai ke akhir sanad, tidak syadz dan
tidak ber’illat.
Adapun
kriteria hadist hasan ada lima, yaitu:
1) Sanad
tersebut harus bersambung
2) Perawi
nya adalah adil
3) Perawi
nya mempunyai sifat dhabith namun kualitasnya lebih rendah yang dimiliki oleh
perawi hadist shahih
4) Hadist
yang diriwayatkan tersebut tidak syadz
5) Hadist
yang diriwayatkan selamat dari ‘illat yang merusak
Contoh hadist Hasan adalah:
مَااَخْرَجَهُ
التِّرْمِدِيُّ قَالَ : حَدَّثَنَا قُتَيْبَةٌ حَدَّثَنَا جَعْفَرُبْنُ
سُلَيْمَانُ الضُّبَعِيُّ عَنْ أَبِي عِمْرَنَ الْجُوَيْنِيِّ عَنْ اَبِيْ بَكْرِ بْنِ
اَبِيْ مُوْسَ الأَشْعَرِيِّ قَا لَ : سَمِعْتُ اَبِيْ بِحَضْرَةِ
الْعَدُوِّيَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
إِنَّ اْبْوَا بَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلِّ سُيُوْفِ.
Diriwayatkan
oleh Tirmidzi, dia berkata, “ Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah
menceritakan kepada kami Ja’far ibn Sulaiman al-Dhaba’i, dari Abi Imran
al-Juwayni, dari Abu bakar ibn Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata,”aku mendengar
ayah berkata dihadapan musuh, “Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya pintu-pintu syurga
itu di bawah naungan pedang”....
Hadist diatas dinyatakan hasan karena pada sanadnya
terdapat Ja’far Ibn Sulaiman al-Dhaba’i, yang menurut para ulama hadist bahwa
Ja’far ini berada pada kualitas shaduq (tidak sempurna dhabit-nya),sehingga
tidak mencapai tingkatan tsiqat sebagai salah satu persyaratan hadist Shahih.
b. Macam-Macam
Hadist Hasan
(i)
Hadist Hasan Lidzatihi,
yaitu hadist yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria hasan sebagai mana
yang telah disebutkan diatas, dan tidak memerlukan bantuan yang lain untuk
mengangkat nya ke derajat hasan sebagai mana halnya pada hasan lighairihi.
(ii)
Hadist Hasan
Lighairihi, yaitu hadist dhaif apabila jalan datangnya berbilang atau lebih
dari satu, dan sebab ke dhaifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.
c. Hukum
dan Status Ke-hujjah-annya
Hadist hasan,
sebagai mana halnya hadist shahih meskipun derajatnya berada dibawah hadist
shahih, adalah hadist yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau
hujjah dalam penetapan hukum atau dalam beramal. Para ulama hadist, ulama ushul
fiqh dan fuqaha sependapat tentang ke-hujjah-annya hadist hasan.
3. Hadist
Dhaif
a. Kriteria
dan Macam-macam hadist
Hadist Dhaif adalah
hadist mardud yaitu hadist yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau
dalil dalam menetapkan sesuatu hukum.
Kata Dhaif,
secara bahasa adalah lawan dari al-qawiy, yang berarti lemah. Pengertiannya
menurut istilah Ulama hadist adalah:
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعُ صِفَةَ الَحِيْحِ والْحَسَنِ.
Hadist yang
tidak menghimpun sifat shahih dan hasan.
Dari definisi diatas dapat dipahami
bahwa kriteria hadist dhaif adalah:
1) Terputusnya
hubungan antara satu perawi dengan perawi lain didalam sanad hadist tersebut
yang seharusnya bersambung.
2) Terdapatnya
cacat pada diri salah seorang perawi atau matan dari hadist tersebut.
Macam-macam hadist dhaif
Berdasarkan
kepada sebab-sebab ke-dhaifan-nya suatu Hadist, hadist dhaif terbagi kepada beberapa
macam, yaitu :
1. Pembagian
hadist dhaif ditinjau dari segi terputusnya sanad
a. Hadist
Mu’allaq
Secara
etimmologis, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata ‘allaqa, yang berarti
menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga ia menjadi tergantung.
Menurut istilah ilmu hadist,hadist muallaq adalah :
مَاحُدِفَ مِنْ مَبْدَاِ اِسْنَادِهِ رَاوٍفَأَكْثَرُ عَلَى التَّوَالي
Hadist yang dihapus dari awal
sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.[11]
Pada umunya hadist muallaq bisa
berbentuk seperti :
1) Bahwa
mukharrij hadist langsung berkata : Rasul SAW bersabda “....” atau
2) Mukharrij
hadist menghapus seluruh sanadnya kecuali sahabat, atau sahabat dan thabi’i.
Contoh hadist Mu’allaq adalah :
مَا اَخْرَجَهُ
الْبُخَارِيُّ فِي مُقَدِّمَةِبَابَ مَايُذْكَرُ فِيْ الْفَخِذِ : وَقَالَ
اَبُوْمُوْسَىى: غَطَّى النَّبِيُّ صَلَّيى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُكْبَتَيْهِ
حِيْنَ ذَخَلَ عُثْمَانُ
Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari pada mukaddimah
mengenai “menutupi paha”, ‘berkata Abu Musa,”Rasulullah Saw menutupi kedua
lutut beliau ketika ustman masuk”[12]
Hadist diatas adalah mu’allaq, karena bukhari
menghapus seluruh sanadnya kecuali sahabat, Abu Musa al-Asy’ari.
Adapun hukum hadist mu’allaq adalah mardud
(tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu
persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi
atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan perawi yang dihapuskan tersebut
tidak diketahui.
Hukum diatas adalah untuk hadist muallaq secara
umum. Akan tetapi, hadist muallaq yang terdapat di dalam kitab shahih, seperti
kitab shahih bukhari dan muslim mempunyai ketentuan khusus. Hal tersebut
dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadist-hadist tersebut adalah bersambung,
namun untuk meringkas dan mengurangi terjadinya pengulangan, maka sebagian
perawinya dihapus. Para ulama sacara khusus telah melakukan penelitian terdahap
hadist-hadist muallaq yang bterdapat pada kitab shahih bukhari, dan mereka
telah membuktikan bahwa keseluruhan sanadnya adalah bersambung.
b. Hadist
Mursal
Secara bahasa kata mursal adalah isim maf’ul dari
arsala, yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan atau membebaskan”. Dalam hal ini
adalah melepaskan isnad dan tidak menghubungkannya dengan seorang perawi yang
dikenal. Sedangkan menurut istilah ilmu hadist adalah :
هُوَ
مَا سَقَطَ مِنْ اَخِرِ اسْنَادِهِ مَنْ بَعْدَ التَّابِعِ.
Yaitu
hadist yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah thabi’i.[13]
Pada dasarnya hukumnya hadist mursal adalah dhaif
dan ditolak. Hal tersebut adalah karena kurangnya,hilangnya salah satu hadist
syarat ke-shahih-an dan syarat diterimanya suatu hadist, yaitu persambungan
sanad. Selain itu, juga karena tidak dikenalnya (majhul) tentang keadaan perawi
yang yang dihilangkan tersebut, sebab boleh jadi perawi yang dihilangkan itu
adalah bukan sahabat. Dengan adanya kemungkinan demikian, maka ada kemungkinan
hadist tersebut hubungan dengan pembahasan hadist mursal, dikenal pula satu
istilah yaitu Mursal Shahabi. Yang dimaksud dengan Mursal Shahabi adalah hadist
yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dari perkataan atau perbuatan Rasulullah
Saw, sementara sahabat tersebut tidak mendengar atau menyaksikannya. Hal tersebut adakalanya sahabat yang
bersangkuatan masih kecil usianya ketika itu, atau karena terlambat masuk islam,
atau karena sedang tidak berada di tempat. Diantara mereka adalah Ibn Abbas dan
Ibn Zubair, yang masih kecil ketika Rasulullah hidup. Adapun hukumnya jumhur
ulama berpendapat bahwa hadist mursal shahabi hukumnya alah shahih dan dapat
dijadikan hujjah. Alasan yang dikemukakan mereka adalah bahwa seorang sahabat
jarang meriwayatkan hadist yang berasal dari thabi’in, dan apabila dia
melakukannnya tentu dia akan menjelaskan hal yang demikian. Oleh karenanya,
apabila sahabat dengan kondisi diatas mengatakan “Rasulullah Saw bersabda”,
maka tentunya mereka telah mendengarnya dari salah seorang sahabat yang lain,
dan menggugurkan sahabat dalam hal ini tidaklah merusak hadist yang
diriwayatkannya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa mursal shahabi adalah sama
dengan mursal lainnya, namun pendapat ini adalah lemah dan tertolak.
c. Hadist
Mu’dhal
Yaitu hadist yang gugur dari sanadnya dua orang
perawi atau lebih secara berturut-turut, baik itu terjadi di awal, di
pertengahan atau di akhir sanad. Para ulama sepakat menyatakan bahwa hukum
hadist hadist Mu’dhal ini adalah dhaif. Bahkan keadaannya lebih buruk dari
hadist Mursal dan Hadist Munqathi karena perawi yang gugur di dalam sanadnya
lebih banyak.
d. Hadist
Munqathi’
Kata munqathi’ adalah isim fail dari al-inqitha’,
yaitu lawan dari al-itthisal, yang berarti terputus. Menurut istilah ilmu
hadist adalah :
مَالَمْ
يَتَّصِلْ اِسْنَادُهُ عَلَى اَيٍّ وَجْهٍ كَانَ اِنْقِطَا عُهُ.
Yaitu
hadist yang tidak bersambung sanadnya,dan keterputusansanad tersebut bisa
terjadi dimana saja.[14]
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa
setiap hadist yang terputus sanad-nya di bagian mana saja, baik di awal, akhir,
atau di pertengahannya, dinamai dengan hadist munqathi’. Dengan demikian, termasuk ke dalam jenis Hadist Munqathi
adalah hadist mursal, mu’allaq, dan mu’dhal. Adapun mengenai hukum hadist
munqathi’ adalah dhaif karena tidak diketahuinya keadaan perawi yang
digugurkan.
e. Hadist Mudallas
Yaitu menyembunyikan cacat dalam sanad dan
menampakkannya pada lahirnya seperti baik. Mudallas terbagi dua yaitu :
1) Tadlis
al-Isnad
Yaitu bahwa seorang perawi meriwayatkan hadist dari
seorang guru yang telah/pernah mengajarkan beberapa hadist kepadanya. Namun,
hadist yang di tadlisnya itu tidak diperoleh dari guru tersebut, tetapi dari
guru lain yang kemudian guru itu digugurkannya (disembunyikan). Perawi itu
kemudian meriwayatkan hadist tersebut dari gurunya yang pertama dengan lafadz
yang mengandung pengertian seolah-olah dia mendengarnya darinya.
2) Tadlis
al-syuyukh
Yaitu seorang perawi meriwayatkan hadist dari
seorang guru yang didengarnya langsung dari guru tersebut, maka perawi tersebut
menyebut nama guru itu, gelarnya, nasabnya, atau sifatnya yang tidak dikenal
orang agar orang lain tidak mengenalnya.
Hukum hadist mudallas ini, sesuai dengan
pembagiannya diatas adalah :
(i)
Tadlis al-Isnad adalah
dicela oleh ulama hadist bahkan diantara mereka adayang mengatakan perbuatan
tadlis itu adalah saudaranya perbuatan bohong.
(ii)
Adapun tadlis
al-syuyukh, hukumnya lebih ringan dari yang pertama, karena tidak ada perawi
yang digugurkan adanya. Akan tetapi, perbuatan tersebut tetap tercela, karena
dapat mengacaukan pemahaman orang yang mendengar terhadap perawi hadist
dimaksud
Adapun mengenai hukum hadistnya, terdapat 3 pendapat
ulama, yaitu:
1) Perawi
yang diketahui pernah melakukan tadlis, walaupun hanya sekali, maka dia adalah
jarh (cacat) dan karena itu hadist nya ditolak atau (mardud)
2) Bagi
mereka yang menerima hadist mursal, maka mereka juga menerima hadist mudalas,
sebab dalam pandangan mereka tadlis sama dengan irsal. Diantara yang termasuk
kelompok ini adalah ulama zaidiyyah.
3) Pendapat
kelompok ke tiga memisahkan antara hadist yang terdapat tadlis padanya dan yang
tidak. Hadlis yang terdapat tadlis padanya ditolak, dan hadist yang
diriwayatkan oleh perawi yang pernah melakukan tadlis diterima hadistnya
apabila pada hadist tersebut dia tidak melakukan tadlis dan syarat-syarat qabul
lainnya terpenuhi. Ini adalah pendapat mayoritas pendapat ulama hadist. Namun,
apabila perawi yang pernah melakukan tadlis tersebut melakukan tadlis terhadap
sanad dengan mengugurkan perawi yang dhaif secara sengaja dan ia mengetahui
kedhaifan nya perawi yang digugurkan nya itu, maka perawi yang melakukan tadlis
tersebut adalah cacat atau jarh karena sengaja berdusta dan karena itu hadist
nya ditolak.
Pada uraian berikut akan dijelaskan macam-macam
hadist dhaif berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawina sebagaimana yang
disebutkan diatas. Khusus terhadap hadist maudhu, yang merupakan hadist dhaif
yang paling buruk keadaannya, yang penyebab cacat perawinya adalah dusta atau
pembohong, akan dibahas tersendiri pada bab yang akan datang. Hal ini
disebabkan banyaknya permasalahan yang perlu dibicarakan berdasarkan dengan
hadist mawdhu’ tersebut.
a. Hadist
Matruk
Yaitu hadist yang perawinya mempunyai cacat
al-tuhmah bil al-kadzib, tertuduh berdusta, yaitu peringkat kedua terburuk
sesudah al-kadzib, pembohong atau pendusta.Yang dimaksud hadist matruk dalam
istilah ilmu hadist adalah :
هُوَاللْحَدِ يْثُ الَّذِي
فِيْ اِسْنَادِهِ رَاوٍ مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ
Yaitu
hadist yang terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh berdusta.[15]
Adapun hukum hadist matruk adalah hadis dhaif yang
paling buruk keadaannya sesudah hadis mawdhu’. Ibn hajar meyatakan bahwa Hadist
Dhaif yang paling buruk keadaannya adalah Hadist Mawadhu’, dan setelah itu
Hadist Matruk, kemudian Hadis Munkar, Hadist Mu’allal, Hadist Mudraj, Hadist
Maqlub, dan Hadist Mudhtharib.
b. Hadist
Munkar
Yaitu hadist yang perawinya memiliki cacat dalam
kadar sangat kelirunya atau nyata kefasikannya. Definisi yang sering digunakan
para ulama hadist adalah :
هُوَ
مَا رَوَاهُ الضَعِييْفِ مُخَا لِفًا لِمَا رَوَاهُ الشِّقَةُ.
Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif
yang hadist tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang
tsiqat.[16]
Dalam hal ini, terdapat persamaan dan
perbedaan antara Hadist Munkar dan Hadist Syadz. Persamaannya adalah adanya
persyaratan pertentangan (al-Mukhalafah) dengan riwayat perawi yang lain.
Namun, perbedaannya adalah bahwa pada hadist syadz pertentangan itu adalah
antara riwayat seorang perawi yang maqbul, yaitu yang shahih atau hasan, dengan
riwayat yang lebih tinggi kualitas ke-shahih-an atau ke-hasan-annya (awla);
sementara pada Hadist Munkar, pertentangan terjadi antara riwayat perawi yang
dhaif sengan riwayat peraqi yang maqbul.
c. Hadist
mu’allal, yaitu hadist yang perawinya cacat karena al-wahm yaitu banyaknya
dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya,
seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang
sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia meng-irsal-kan yang muttashil,
me-mauquf-kan yang marfu’, dan sebagainya.
d. Hadist
Mudraj, yaitu hadist yang terdapat padanya tambahan yang bukan bagian dari hadist
tersebut. Hadist Mudraj terbagi menjadi dua yaitu mudraj al-Isnad ( hadist yang
bukan penutur sanadnya) dan bukan mudraj al-matan (sesuatu yang dimasukkan ke
dalam matan suatu hadist yang bukan bagian dari matan hadist tersebut, tanpa
ada pemisahan diantaranya (yaitu antara matan hadist dengam sesuatu yang
dimasukkan tadi)
e. Hadist
Maqlub, yaitu mengganti suatu lafadz yang lain pada sanad hadist atau pada
matan nya dengan cara mendahulukan atau mengkemudiankannya. Hadist terbagi
kepada dua macam, yaitu maqlub sanad ( penggantian yang terjadi pada sanad) dan
hadist maqlub matan (penggantian yang terjadi pada matan hadist)
f. Hadist
Mudhtharib, yaitu hadist yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang
berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat. Hadist ini terbagi menjadi dua
yaitu mudhtharib al-sanad dan mudhtharib al-matan. Mengenai hukumnya, hadist
ini termasuk hadist dhaif karena terdapat perbedaan dan pertentangan dalam
periwayatan hadist tersebut, yang hal ini merupakan indikasi bahwa perawinya
tidak memiliki sifat dhabith.
g. Hadist
Mushahhaf, yaitu hadist yang terdapat perubahan pada kalimatnya menjadi kalimat
yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat, baik secara lafadz maupun
maknanya. Ditinjau dari tempat terjadinya, hadist ini terbagi menjadi dua yaitu
tashhif pada sanad dan tashhif pada matan. Sedangkan berdasarkan pada
sumbernya, terbagi menjadi tashhif bashar dan tashhif al-sama’
h. Hadist
Syadz, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, namun
bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqat atau lebih baik
daripadanya. Hukum hadist ini mardud atau tertolak.
C. Klasifikasi
Hadist Berdasarkan Tempat Penyandarannya
1. Hadist
Qudsi
a. Pengertian
Secara
etimologi, kata al-qudsi adalah nisbah, atau sesuatu yang dihubungkan kepada al-quds
yang berarti suci. Dengan demikian, hadist qudsi berarti hadist yang
dihubungkan kepada Zat Yang Suci, yaitu Allah. Menurut istilah umum ilmu
hadist, hadist qudsi adalah :
هُوَ مَا نَقَلَ اِلَيْنَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَعَ اِسْنَادِهِ إِيَّا هُ إِلَى رَبِّهِ عَزَّوَجَلَّ
Hadist yang diriwayatkan kepada
kita dari Nabi Saw yang disandarkan oleh beliau kepada Allah swt.[17]
b. Perbedaan
antara hadist qudsi dengan al-qur’an
1) Al-qur’an
lafadz dan maknanya berasal dari Allah swt. Sedangkan hadist Qudsi maknanya
berasal dari Allah, sementara lafadznya berasal dari Rasulullah Saw.
2) Al-qur’an
hukum membacanya adalah ibadah, sedang membaca hadist qudsi hukumnya bukanlah
ibadah.
3) Periwayatan
dan keberadaan al-qur’an disyaratkan harus mutawatir, sementara hadist qudsi
periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir.
4) Al-qur’an
adalah mukjizat, dan terpelihara dari perubahan dan pertukaran, serta tidak
boleh diriwayatkan secara makna. Hadist Qudsi bukanlah mukjizat, dan lafadz
serta susunannya kalimatnya bisa saja berubah, karena dimungkinkan untuk
diriwayatkan secara makna.
5) Al-qur’an
dapat dibaca didalam shalat, sementara hadist qudsi tidak dapat dibaca ketika
sedang melaksanakan shalat.
Contoh hadist Qudsi adalah :
مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي صَحيْحِهِ عَنْ اَبِي
ذَرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِيْمَا رَوَى عَنِ اللَّهِ تَبَا رَكَ وَتَعَالَ اَنَّهُ قَالَ يَا عِبَا دى
إِنِّي حَرَّمْتُ الْظُلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا
فَلاَ تُظَا لِمُوْنَ.
Hadist yang
diriwayatkan oleh muslim di dalam kitab Shahih-nya, dari Abi Dzar r.a, dari
Nabi Muhammad Saw menurut apa yang diriwayatkan beliau dari Allah SWT,
bahwasanya dia berfirman, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan
kedzaliman atas diri-Ku dan aku jadikan kedzaliman itu diantara kamu sebagai
perbuatan yang haram, maka karena itu jangankah kamu berbuat kedzaliman...” [18]
2. Hadist
Marfu’
a. Pengertian
Hadist marfu’ adalah :
مَا اُضِيْفُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
قَوْلٍ اَوْفِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ.
Yaitu hadist yang disandarkan
kepada Nabi Saw dalam bentuk perkataan, perbuataan, taqrir
(pengakuan/ketetatapan) atau sifat. [19]
Orang yang
menyandarkannya itu boleh jadi sahabat, atau selain sahabat seperti tabi’in dan
lainnya. Dengan demikian, sanad dari marfu’ ini bisa Muththasil, yaitu
berhubungan atau bersambung dari awal sampai kepada akhir sanad-nya, dan bisa
juga munqathi’.mursal, atau mudh’al dan mu’allaq.
b. Hukum
Hadist Marfu’
Hukum hadist
marfu’ tergantung kepada pada kualitas dan bersambung atau tidaknya sanad,
sehingga dengan demikian memungkinkan suatu hadist marfu’ itu berstatus shahih,
hasan atau dhaif.
3. Hadist
Mauquf
a. Pengertian
Menurut ‘Ajjaj
al-Khatib mengemukakan definisi hadit mauquf sebagai berikut :
هُوَ مَا رَوَاهُ عَنِ الصَّحَابِيِّ مِنْ قَوْلٍ لَهُ اَوْتَقْرِيْرٌ
مُتَّصِيْلًا كَانَ أَوْ مُنْقَطِعًا.
Adalah hadist yang diriwayatkan
dari sahabat dalam bentuk perkataan beliau, perbuatan, atau taqrir, baik
sanadnya muththasil atau munqathi’.[20]
b. Hadist
Mauquf yang berstatuskan Marfu’
Diantara hadist
mauquf terdapat hadis yang lafaz dan bentuknya mauquf, namun setelah dicermati
hakikatnya bermakna marfu’, namun setelah dicermati hakikatnya bermakna Marfu’,
yaitu berhubungan dengan Rasul SAW. Hadis yang demikian dinamai oleh para Ulama
Hadis dengan al-mauquf lafzhan al-Marfu’ma’nan, yaitu: secara lafaz berstatus
mauquf, namun secara makna berstatus Marfu’.
Diantara
bentuk-bentuk Hadis Mauquf yang dihukumkan, atau berstatus Marfu’, adalah:
1) Perkataan
Sahabat mengenai masalah-masalah yang bukan merupakan lapangan ijtihad dan
tidak pula dapa ditelusuri melalui pemahaman secara kebahasaan, serta tidak
pula bersumber dari ahli kitab, umpamanya.
a. Berita
tentang masa lalu, seperti tentang awal kejadian manusia.
b. Berita
tentang masa yang akan datang, seperti huru hara dan kedahsyatan keadaan yang
akan dialami pada hari kiamat.
2) Perbuatan
Sahabat mengenai masalah yang bukan merupakan lapangan ijtihad, seperti shalat
kusuf yang dilakukan oleh Ali r.a. dengan cara melakukan lebih dari dua rukuk
pada setiap raka’atnya.
3) Berita
dari sahabat mengenai perkataan atau perbuatan mereka tentang sesuatu serta
tidak adanya sikap keberatan yang muncul mengenai perkataan atau perbuatan
tersebut. Terhadap hal ini ada dua keadaan, yaitu:
a. Apabila
perkataan atau perbuatan Sahabat tersebut disandarkan kepada masa Nabi SAW,
maka hukumnya adalah Marfu’.
b. Namun
apabila perkataan atau perbuatan sahabat tersebut tidak disandarkan kepada masa
Nabi SAW, maka jumhur Ulama berpendapat bahwa Hadis tersebut statusnya adalah
Mauquf.
4) Perkataan
Sahabat: “umirna bikadza,” (“kami diperintahkan untuk melakukan ini”) “nuhina
‘an kadza,” (“termasuk sunnah adalah begini”).
5) Perawi
Hadist tersebut ketika menyebutkan nama Sahabat mengatakan “yarfa’uhu”,” dia
me-rafa’-kannya”.
6) Penafsiran
Sahabat yang berhubungan dengan sabab nuzul suatu ayat Al-Qur’an.
c. Hukum
Hadis Mauquf
Apabila suatu
Hadist mauquf berstatus hukum Marfu’, sebagaimana diuraikan di muka, dan
berkualitas shahih atau Hasan, maka hukumnya adalah sama dengan Hadis Marfu’
yang Shahih dan Hasan, yaitu dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam penetapan
hukum.
Akan
tetapi, apbila perkataan atau pebuatan Sahabat tersebut tidak berstatus marfu’,
maka para Ulama berbeda pendapat tentang ke-hujjahan-nya. Apabila perkataan
atau fatwa Sahabat tersebut didukung dan diterima dengan suara bulat oleh para
Sahabat melalui suatu konsensus, atau, dengan menggunakan istilah Ibn Qayyim,
tidak ada di antara Sahabat lain yang tidak menyetujuinya, maka para Ulama
sepakat bahwa fatwa tersebut bersifat mengikat dan diterima sebagai ijma’.
Namun, terhadap fatwa seorang sahabat yang tidak didukung oleh para sahabat
lainnya, para Ulama berbeda pendapat.
4. Hadis
Maqthu’
a. Pengertian
Secara etimologi, kata qatha’a adalah lawan dari
washala, yang berarti putus atau terputus. Sedangkan secara terminologi yaitu :
وَهُوَالْمَوْقُوْفُ
التَّعَبِيِّ قَوْلً لَهُ اَوْ فِعْلاً.
yaitu
sesuatu yang terhenti (sampai) pada tabi’i, baik perkataan maupun perbuatan
Tabi’i tersebut.[21]
Hadis Mauquf’ tidaklah sama dengan Munqatha’ kareana
Maqthu’ adalah sifat dari matan, yaitu berupa perkataan Tabi’in atau Tabi’
al-Tabi’in, sementaraMunqatha’ adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya
keterputusan sanad pada generasi sebelum Sahabat da tidak secara
berturut-turut, apabila keterputusan sanad tersebut lebih dari satu orang
perawi. Sanad pada hadis Maqthu’ bisa saja muttashil (bersambung) sampai kepada
Tabi’i, yang merupakan sumber dari matan-nya.
b. Contoh
hadist Maqthu’
قَوْلً الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ فِي الصَّلاَةِ خُلْفَ الْمُبْتَدَعِ : صَلِّ
وَعَلَيْهِ بِدْ عَتُهُ
.
Perkataan
Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid’ah : “shalatlah dan dia akan
menanggung dosa atas perbuaan bid’ahnya.”[22]
c. Status
Hukum Maqthu’ adalah:
Hadis Maqthu’
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk menetapkan sesuatu hukum,
karena status dari perkataan Tabi’in sama dengan perkataan Ulama lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pengklasifikasian
hadist adalah sebagai berikut;
1.
Pengklasifikasian
hadist berdasarkan jumlah perawi terbagi menjadi dua, yaitu;
a.
Hadist
Mutawatir
b.
Hadist
Ahad
Diantara
para ulama ada yang membaginya menjadi tiga, yaitu :
a.
Hadist
Mutawatir
b.
Hadist
Ahad
c.
Hadist
Masyhur
2.
Pengklasifikasian
hadist berdasarkan kualitas sanad dan matannya
a.
Hadist
Shahih
b.
Hadist
Hasan
c.
Hadist
Dhaif
3.
Pengklasifikasian
hadist berdasarkan tempat penyandarannya
a.
Hadist
Qudsi
b.
Hadist
Marfu’
c.
Hadist
Mauquf
d.
Hadist
Dhaif
B.
Saran
Setelah mengkaji makalah mengenai pengklasifikasian hadist ini,
diharapkan mahasiswa mampu memahami hakikat hadist serta dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan terhindar dari bid’ah yang
tidak perlu.
[1] Dr. Nawir Yuslem,MA, Ulumul Hadist (Jakarta: Mutiara Sumber Widya,2003)
h. 31
[2] Ibid., h. 32
[3] Al-Thahhan,Taisir Mushthalah al-Hadist,h.18
[4]Al-Thahhan,Taisir Mushatalah al-Hadist, h.19
[5] Al-Thahhan,Taisir, h.22
[6] Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr,1401/1981 M),Juz 1,h.9
[7] Al-Thahhan,Taisir, h.27
[8] Bukhari,shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr,1993 M),Juz 2,h. 223
[9] DR Nawir Yuslem,MA,Ulumul Hadist, h. 219
[10] Bukhari,Shahih al-Bukhari, juz 1,h.186
[11]Al-Thahhan,Taisir, h.68
[12] Bukhari,shahih al-Bukhari, juz 1, h. 97
[13] DR Nawir Yuslem,MA,Ulumul hadist, h. 241
[14]DR Nawir Yuslem,MA, Ulumul Hadist, h.
249
[15]DR Nawir Yuslem,MA, Ulumul Hadist, h.
257
[16] Ibid., h. 259
[17]DR Nawir Yuslem,MA, Ulumul Hadist, h.
279
[18] Muslim, Shahih Muslim, juz 2, h. 523
[20] Ibid.,h.285
[21] DR Nawir Yuslem, Ulumul Hadist., h. 292
[22] Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 1, h. 170
Komentar
Posting Komentar