ULUMUL HADITS : ILMU RIWAYAH DAN DIRAYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manajemen
informasi merupakan praktik yang telah diejawantahkan oleh komunitas Muslim.
Bahkan sebenarnya, sebagian besar yang kita amati sebagai budaya Islam, secara
luas dibentuk oleh tingkat akurasi dan ketelitian ,yang dengannya, generasi
Muslim masa lalu menyimpan dan menyebarkan informasi. Dalam kultur Muslim,
informasi bukan merupakan komoditi yang dipaketkan dan lantas diperjualbelikan.
Sebaliknya, ia merupakan link kehidupan atau sarana yang membentuk mileu
kebudayaan yang mengambil karakteristik dari pandangan dunia Islam. Uniknya,
kebudayaan ini diperoleh dari spirit al-qur’an dan fenomena sejarah Nabi Saw,
yang pengaruhnya kemudian kemudian ke seluruh dunia.
Setelah
Rasulullah wafat, komunitas Muslim yang belum lama lahir itu merasa sangat
perlu menjaga kesinambungan wahyu dan detail-detail fenomena sejarah nabi itu.
Tentu tugas signifikan ini, terpenuhi tidaknya tergantung dari taraf
kesungguhan dan ketulusan dalam memanage informasi tersebut. Suatu fakta yang
menunjukan ke arah pemikiran itu adalah proses tranmisi periwayatan naskah
al-Qur’an hingga tahap kodifikasinya. Al-Qur’an telah diperiksa dan disatukan
sendiri oleh Nabi sendiri, dan Hafsah kemudian menyerahkannya kepada Abu Bakar,
dan seterusnya. Ini bukti yang tidak terbantahkan bahwa al-Qur’an telah
dikumpulkan ekstra hati-hati, dan kehebatannya tak akan pernah tertandingi.
Wacana yang
sama terlihat juga dalam metodologi pebulisan hadits. Sejarah penulisan dan
pembukuan hadits dan ilmu hadits telah melewati serangkaian fase historis yang
sangat panjang. Semenjak Nabi, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai
puncaknya pada kurun abad ketiga Hijriyah. Perjuangan para ulama hadits yang
telah berusaha keras melakukan penelitian ini dan penyeleksian terhadap hadits,
mana yang shahih dan mana yang dha’if, telah manghasilkan metode-metode yang
cukup kaya, mulai dari metode penyusunannya hingga kaidah-kaidah penelusuran
hadits. Kaidah-kaidah tersebut pada akhirnya berkembang menjadi disiplin ilmu
tersendiri yang kemudian disebut dengan ilmu hadits. Mereka telah menyumbangkan
kejeniusan intelektualnya, tidak hanya memilah-milah antara Nabi dengan fatwa-fatwa sahabat, tapi juga
berusaha membatasi ruang gerakn maraknya penyebaran hadits-hadits palsu yang
jumlahnya ratusan ribu buah.
Pada saat itu,
perkembangan keilmuwan benar-benar mengalami puncak kejayaannya. Maka tidaklah
aneh perkembangan ilmu pengetahuan periode selanjutnya, terutama yang berkaitan
dengan ilmu hadits ini lebih banyak mengacu dan bersandar pada metode-metode
yang dipergunakan pada abad ketiga tersebut. Dengan demikian, kita mengetahui
bahwa hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua menempati posisi sangat penting
dan strategis dalam kajian-kajian keislaman, setidaknya dengan hanya melihat
liku-liku perjalanan historis usaha para ulama itu dalam mencari dan menelusuri
hadits-hadist yang dipandang otentik.
Namun karena
pembukuan hadis baru bisa dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir
seratus tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan
sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan, maka keabsahan hadits-hadits yang
beredar di kalangan kaum Muslimin menjadi debeatable, meskipun mereka telah
meneliti dengan seksama. Dan jauhnya jarak antara masa hidup Nabi Saw sebagai
sumber hadits dengan masa kodifikasi (pembukuan) hadits tersebut sering
dijadikan senjata yang paling ampuh untuk mendeskreditkan hadits itu sendiri
dan merongrong keyakinan umat Islam pada umumnya. Lebih-lebih diketahui bahwa
lingkungan Nabi Saw hidup tersebut ‘miskin’ dari budaya baca-tulis. Meskipun
mereka dikenal sebagai komunitas yang mempunyai hafalan kuat, tapi itu sifatnya
sangat subyektif. Oleh karena itu, sekali lagi, mempelajari ilmu hadist sebagai
sebuah metodologi sangatlah penting.
Tapi
sebenarnya, setelah ulama berhasil menyusun menyusun kitab-kitab hadits seperti
Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lainnya, terutama yang termasuk ke
dalam Al-Kutub Al-Sittah, kajian terhadap sistem periwayatan hadits sudah
berakhir. Meskipun demikian, ilmu hadits tetap menduduki posisi yang penting.
Apalagi saat ini yang sedang terjadi kecendrungan studi matan, mengkaji
keotentikan matan (meskipun dari sudut penyandarannya telah diketahui shahih).
Disinilah bekal
pengetahuan ilmu hadits menjadi sangat bermanfaat bagi para peneliti dan
pengkaji hadits. Karena untuk mempelajari dan mengkaji hadits-hadits Nabi,
seseorang tidak bisa mengabaikan ilmu hadis ini. Dengan ilmu ini, para ulama
dahulu dapat mengetahui kualitas hadits, apakah ia shahih, hasan, atau
dha’if. Dengan ilmu ini dapat dibedakan jenis dan bentuk hadits, apakah mutawattir
atau ahad, masyhur, aziz, atau gharib, qudsi atau nabawi, hadis qauli,
fi’li, atau taqriri, hadits marfu’, mauquf atau maqthu’,
dan sebagainya. Dengan ilmu ini pula ia dapat mengetahui apakah hadits itu
benar-benar berasal dari nabi atau bukan (palsu, maudhu’).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian ilmu hadits Riwayah?
2.
Apa
objek kajian ilmu hadits Riwayah?
3.
Apa
pengertian periwayatan tekstual?
4.
Apa
pengertian periwayatan konstekstual?
5.
Apa
syarat-syarat bagi perawi konstekstual?
6.
Apa
pengertian ilmu hadits dirayah?
7.
Apa
pengertian ilmu Jarh dan Ta’dil?
8.
Apa
pengertian Rijal al-Hadits?
9.
Apa
pengertian Thaqabat Al-Ruwat?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
tentang pengertian ilmu hadits Riwayah
2.
Menjelaskan
tentang objek kajian ilmu hadits Riwayah
3.
Menjelaskan
tentang pengertian periwayatan tekstual
4.
Menjelaskan
tentang pengertian periwayatan konstekstual
5.
Menjelaskan
tentang syarat-syarat bagi perawi konstekstual
6.
Menjelaskan
tentang pengertian ilmu hadits dirayah
7.
Menjelaskan
tentang pengertian ilmu Jarh dan Ta’dil
8.
Menjelaskan
tentang pengertian Rijal al-Hadits
9.
Menjelaskan
tentang pengertian Thaqabat Al-Ruwat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ilmu Hadits Riwayah
1.
Pengertian
Banyak definisi
ilmu hadits riwayah yang dikemukakan para ulama. Dan yang paling terkenal
diantaranya adalah;
a.
Ilmu
hadits riwayah menurut Ajjaj Al-Khatib
اَلْعِلْمُ الّذِي يَقُوْمُ عَلَى نَقْلِ مَا اُضِيْفُ اِ لَى
النّبِيَّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ مِنْ ٌقَوْ لٍ اَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِ
يْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَوْ خُلُقِيَّةٍ نَقْلاً دَ قِيْقًا مُحَرَّرًا[1]
“ilmu
pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya.”
b.
Ilmu
hadis riwayah menurut Ibnu al-Akhfani
عِلْمُ يَشْتَمِلُ عَلَى أَقْوَا لِ النَبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمْ وَ اَفْعَا لِهِ وَ رِواَيَتِهَا وَ تَهْرِ يْرٍ اَلْفَا ضِهَا
[2]
“ Ilmu
yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi Saw. Periwayatannya,
pencatatannya, dan penelitian lafal-lafalnya.”
Namun, definisi
menurut Al-Akhfani ini mendapat sanggahan karena tidak kompherensif, mengingat
ia tidak menyebut ketetapan dan sifat-sifat Nabi Saw, sebagaimana definisi ini
juga tidak mengindahkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits itu mencakup
segala yang dinisbahkan kepada sahabat atau
tabi’in. Dengan demikian, definisi ilmu hadits riwayah yang terpilih
adalah sebagai berikut;
عِلْمُ يَشْتَمِلُ عَلَى اَقْوَا لِ النَّبِيِّ صَلَّى عَلَيْهِ
وَسَلَّمْ وَ اَفْعَا لِهِ وَ تَقْرِيْرَاتِهِ وَ صِفَا تِهِ وَرِيَتِهَا
وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرٍ اَلْفَا ضِهَا [3]
“Ilmu
yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi Saw, periwatannya,
pencatatannya dan penelitian terhadap lafal-lafalnya.”
2.
Objek Kajian
Objek kajian
suatu ilmu pengetahuan berkisar diantara hal-hal yang berkaitan dengan ilmu
tersebut. Adapun objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Nabi Saw, sahabat atau tabi’in. Itulah sebabnya pembahasan
ilmu ini berkisar tentang periwayatan, pencatatan, dan pengkajian
sanad-sanadnya serta menguji status setiap hadits apakah shahih, hasan, atau
dha’if, disamping membahas pula pengertian hadits dan faedah-faedah yang dapat
dipetik darinya. Dengan cara itu ilmu hadits akan dapat merealisasikan tujuan
yang sangat mulia, yaitu selamatnya periwayatan hadits dari segala hal yang
tercela.[4]
Menurut
al-Suyuthi, objek kajian ilmu hadits riwayah adalah bagaimana cara menerima,
menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan atau mendewankan. Dalam
menyampaikan dan membukukan hadits hanya disebutkan apa adanya, baik yang
berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu tidak membicarakan tentang
syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan hadits. Demikian
pula ilmu ini tidak membahas tentang kualitas para perawi, baik keadilan,
kedabithan atau kefasikannya.[5]
3.
Periwayatan Tekstual
Hadits riwayah
bil-lafdzi
atau meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai
dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz
dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih
asli dari Nabi saw. Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada
persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan
maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai
berikut:
-
(Saya
mendengar Rasulullah saw)
Artinya: Dari
Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain,
dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati
tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
-
(Menceritakan
kepadaku Rasulullah saw)
Artinya: Telah
bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur Rahman dari
Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang beramadhan dengan iman
dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang telah lalu.”
-
(Mengkhabarkan
kepadaku Rasulullah saw)(Saya melihat Rasulullah saw berbuat)
Artinya: Dari
Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium
Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu
sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat.
Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan
menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
4.
Periwayatan Konstekstual
Hadits riwayah
bil-ma’na
atau meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan
maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan.
Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami
maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan
redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya
ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan
masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa
yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.[6]
Masalah
periwayatan dengan makna ini termasuk maslah ilmu riwayat hadits yang paling
penting karena padanya terjadi perbedaan pendapat dan ketidakjelasan serta banyak problemnya, diantaranya adalah sebagai
berikut.
Tidak ada
perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa orang bodoh, rawi pemula, orang
yang belum mahir dalam ilmu hadits, tidak menonjol pengetahuannya tentang
struktur lafal dan kalimat bahasa Arab, dan tidak paham terhadap makna hadits
tidak boleh meriwatkan dan menceritakan hadits kecuali dengan lafal yang
didengarnya. Karena apabila ia meriwayatkan hadits tidak dengan lafalnya, maka
ia akan memutuskan suatu hukum dengan kebodohannya, berkiprah dalam pangkal
syariat yang bukan wewenangnya.
Ulama salaf,
ulama hadits, fiqih dan ushul berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya
meriwayatkan hadits dengan makna bagi orang yang mengetahui makna-makna lafal
dan sasaran khithab.[7]
Banyak ulama
salaf dan ahli penelitian dari kalangan muhadditsin dan fuqaha bersikap sangat
tegas sehingga mereka melarang periwayatan dengan makna, dan tidak
memperbolehkan seorang pun menyampaikan hadits kecuali dengan lafalnya.
5.
Syarat-syarat Bagi Perawi Kontekstual
Jumhur ulama,
termasuk imam yang empat, berpendapat bolehnya meriwayatkan hadits dengan makna
bagi orang berkecimpung dalam ilmu hadits dan selektif dalam mengidentifikasi
karakter lafal-lafal hadits manakala bercampur aduk, sebab hadits yang dapat
diriwayatkan dengan maknanya saja harus memenuhi dua kriteria, yaitu lafal
hadits bukan bacaan ibadah dan hadits tersebut tidak termasuk jamawi al-Kalim ( kata-kata yang sarat
makna yang diucapkan oleh Nabi Saw). [8]
Pendapat inilah
yang shahih, karena hadits yang memenuhi kedua kriteria diatas pokoknya
permasalahnnya terletak adalah pada maknanyaa dan bukan pada lafalnya. Oleh
karena itu, apabila seorang alim meriwayatkan suatu hadits dengan maknanya
saja, maka ia telah memenuhi tuntutan dan maksud hadits tersebut.
Bukti empiris
yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadits
menyampaikan hadits dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa Arab. [9]
Bukti lain
adalah bahwa periwayatan hadits dengan maknanya telah dilakukan oleh para
sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu
makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda. Hal ini terjadi
karena mereka berpegang teguh kepada makna hadits, bukan kepada lafalnya.
Ada satu hal
yang perlu diperhatikan dan diingat, yaitu bahwa perbedaan pendapat sehubungan
dengan periwayatan hadits dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan
sebelum masa pembukuan hadirs. Setelah hadits dibukukan dalam berbagai kitab,
maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadits harus mengikuti
lafal yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima
periwayatan hadits dengan makna.
Bahkan
akhir-akhir ini telah ditetapkan dilarangnya periwayatan hadits dengan maknanya
saja dalam praktik, meskipun secara teori sebagian ulama masih membolehkannnya.
[10]
B.
Ilmu Hadits Dirayah
1.
Pengertian
Ilmu hadits
dirayah biasa juga disebut sebagai Musthalah al-Hadits, Ushul al-Hadits,
Ulum’ al-Hadits, dan Qawaid al-Tahdis. Al-tirmisi medefinisikan ilmu ini
dengan;
قَوَانِيْنُ تُحَدُّ يَدْ رِيْ بِهَا أَحْواَلُ مَتْنٍ وَ سَنَدٍ وَ
كَيْفِيَّةٍ التَحَمُّلِ وَالاَدَاءِ وَ صِفَاتِ الرِّجَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ [11]
“Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk
mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat
perawi, dan lain-lain.
Ibnu
al-Akhfani mendefinisikan ilmu dirayah sebagai berikut;
عِلْمُ يُعْرَفُ مِنْهُ حَقِقَهُّ الرِّوَايَةِ وَشُرُطُهَا
وَاَنْوَاعُهَا وَاَحْكَامُهَا وَحَالُ الرُّوَاةِ وَشُرُوْطُهُمْ وَاصْنَا فُ
المَرْوِيَّاتِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا [12]
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat
periwayatan , syarat-syarat, macam-macam, dan hukumnya serta untuk mengetahui
keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadits yang
diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya”.
Adapula ulama yang menjelaskan, bahwa Ilmu
hadits Dirayah adalah;
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى قَوَا عِدِ وَالأَسَسِ وَالْقَوَ
نِيْنَ والأُصُوْلِ الَّتَى نَسْتَطِيْعُ أَنْ نُمَيِّزَ بِهَا بَيْنَ مَاهُوَ
صَحِيْحُ النَّسْبّةِ لِلْرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا هُوَ
مَشْكُوْكٌ فِى نِسْبَتِهِ اِلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [13]
“ilmu pengetahuan yang membahas tentang
kaidah-kaidah,dasar-dasar, peraturan-peraturan, yang dengannya kami dapat
membedakan antara hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan
hadits yang diragukan penyandarannya kepadanya.”
Definisi yang
paling baik untuk ilmu ini adalah definisi menurut Imam ‘Izzudin bin Jama’ah
berikut;
عِلْمُ
بِقَوَنِيْنِ يُعْرَفُ بِهَا اَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ [14]
“ Ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang
dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan”.
Sanad menurut
muhadditsin adalah sebutan bagi rijal al-Hadits yaitu rangkaian orang
yang meriwayatkan hadits hingga kepada Rasulullah, sementara isnad adalah
penisbahan hadis kepada orang yang mengatakannya. Kedua istilah ini dapat
bertukar makna, sebagaimana ia juga kadang-kadang dipakai dengan maksud rijal
sanad hadits. Hal ini dapat dengan hadirnya sejumlah indikator.
Ahwal al-Sanad, keadaan sanad adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sanad
hadits, seperti, ittishal (bersambung), inqitha’ (terputus), tadlis
(penyembunyian kecacatan), sikap sebagian rawi yang tidak sungguh-sungguh
dalam menerima hadits, lemah hafalannya, dusta, tertuduh fasik, dan sebagainya.
Adapun matan
adalah pernyataan yang padanya sanad berakhir, sedangkan keadaan matan adalah
sesuatu yang berkaitan dengannya, seperti raf’(marfuk, yang dinisbahkan
kepada Nabi), waqf (mauquf, yang dinisbahkan kepada Sahabat), syudzuz,
sahih dan sebagainya.
2.
Cabang ilmu yang berkaitan dengan sanad dan Matan Hadits
Dari ilmu
hadits riwayah dan dirayah, pada perkembangan berikutnya, muncullah
cabang-cabang ilmu hadits lainnya, diantaranya;
a.
Ilmu
Rijal al-Hadits, yaitu ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam
kapasitasnya sebagai perawi hadits.
b.
Ilmu
al-Jarh wa at-Ta’dil, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan
para perawi, seperti pada keadilan dan kecacatannya.
c.
Ilmu
Tarikh al-Ruwah, ilmu untuk mengetahui para perawi hadits yang berkaitan
dengan usaha periwayatan mereka terhadap Hadits.
d.
Ilmu
‘Illal al-Hadits, ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang
dapat mencacatkan keshahihan hadits.
e.
Ilmu
an-Nasikh wa al-Mansukh, ilmu yang membahas hadits-hadits yang
berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan.
f.
Ilmu
Asbab Wurud al-Hadits, ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi
menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkannya.
g.
Ilmu
Gharib al-Hadits, ilmu tentang ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit
dimengerti.
h.
Ilmu
at-Tashif wa at-Tahrif, ilmu yang berusaha menerangkan tentang
hadits-hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya
(muharraf)
i.
Ilmu
Mukhtalif al-Hadits, ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut
lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut
dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya.[15]
3.
Ilmu Jarh dan Ta’dil
Ilmu al-Jarh,
yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kdhabitannya. Para
ahli hadits mendefinisikan al-Jarh sebagai berikut;
الطَّعْنُ فِى رَاوِى الحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يَخُلُّ بِعَدَا
لَتِهِ أَوْ ضَبْطِهِ [16]
“ Kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh
sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi”.
Sedang at-Ta’dil,
yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan), menurut istilah
berarti ;
عَكْسُهُ هُوَتَزْكِيَةُ الرَّوِ يْ وَالْحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَ نَّهُ
عَدْ لٌ اَوْ ضَا بِطٌ [17]
“
Lawan dari al-Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa
ia adil atau dabit”.
Ulama
lain mendefinisikan al-Jarh dan at-Ta’dil dalam satu definisi, yaitu;
عِلْمُ يَبْحَثُ عَنِ الرُّ وَا ةِ مِنْ حَيْثُ مَا وَرَدَ فِى شَأْ
نِهِمْ مِمَّا يُشْنِهِمْ أِوْ يُزَكِّهِمْ بِأَ لْفَا ظٍ مُخْصُوْ صَةٌ[18]
“ Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadits dari segi yang
dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan
mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu”.
Contoh ungkapan
tertentu untuk mengetahui para rawi, antara lain;
-
“ فُلاَ نٌ اَوْ ثَقٌ النَّا سِ “ (fulan orang yang
paling dipercaya)
-
” فُلاَ نٌ ضَا بِطٌ ” (fulan orang yang kuat hafalannya)
-
" " فُلاَ نٌ حُجَّةٌ(fulan Hujjah)
Sedang
contoh untuk mengetahui kecacatan para perawi, antara lain;
-
“نٌ اَكْذَ بُ النّاسِ فُلاَ (fulan orang yang paling berdusta)
-
فُلاَ نٌ مُتَّهُمْ بِ الْكَذْ بِ (
fulan tertuduh berdusta )
-
فُلاَ نٌ لاَ حُجَّةٌ (fulan
bukan hujjah)
Ilmu jarh wa
at-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh”
oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwatannya harus ditolak.
Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang
lain terpenuhi.
Kecacatan rawi
itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya
dikategorikan ke dalam lingkup perbuatan; bid’ah, yakni melakukan
perbuatan tercela, di luar syari’ah, mukhalafah, yakni berbeda dengan
periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah, ghalath, yakni banyak
melakukan banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadits, jahalat al-hal,
yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap, dan da’wat
al-inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad) nya tidak bersambung.[19]
Adapun
informasi jarh dan ta’dil seorang rawi biasa diketahui melalui dua
jalan, yaitu;
a.
Popularitas
para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang
adil, atau orang yang mempunyai aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli
ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan
keadilannya.
b.
Berdasarkan
pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi
yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal
keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa maka
periwayatannya menjadi bisa tidak diterima.[20]
Sementara orang
yang melakukan ta’dil dan tarjih harus memenuhi syarat, sebagai
berikut;[21]
1)
Berilmu
pengetahuan
2)
Taqwa
3)
Wara’
4)
Jujur
5)
Mengetahui
ruang lingkup al-jarh wa ta’dil
6)
Mengetahi
penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab
4.
Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu
Rijal al-Hadits adalah;
عِلْمُ يُعْرَ فُ بِهِ رُوَاةُ الحَدِيْ ثِ مِنْ حَيْثُ أَ نَّهُمْ رُ
وَا ةٌ لِلْحَدِيْثِ [22]
“
Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya sebagai perawi
hadits”.
Ilmu ini sangat
penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadits. Hal ini karena, sebagaimana
diletahui, bahwa objek kajian hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan
sanad. Ilmu rujal al-Hadits ini lahir bersama-sama dengan periwayatan
dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di
sekitar sanad. Diantara kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah
para rawi thabaqat demi thabaqat adalah karya Muhammad Ibn Sa’ad
(w. 230 H) yaitu Thabaqat al-Kubra dan karya Khalifah ibn Ashfari
(w. 240 H) yaitu Thabaqat al- Ruwwah dan lain-lain.
5.
Thaqabat Al-Ruwat
Thabaqah menurut bahasa adalah suatu kaum yang memiliki kesamaan dalam
sifat. Sedang menurut istilah muhadditsin, thabaqah adalah;
الطَّبَقَةُ هِيَ القَوْ مُ الْمُتَعَا صِرُوْ نَ اِذَا تَشَا بَهُوْا
فِى السِّنِّ وَ فِ الاِ سْنَا دِ ( اَي الاَ خْذُ عَنِ المَشَا يِخِ )[23]
“Thabaqah adalah suatu kaum yang hidup dalam
satu masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan sanad, yakni pengambilan
hadits dari para guru”.
Dengan
pengertian ini, thabaqah identik dengan kata jilun (generasi dari sisi
kebersamaan dalam berguru).
Kadangkala para
muhadditsin, menganggap bahwa kebersamaan dalam menimba ilmu hadis cukup bisa
dikatakan satu thabaqah. Sebab pada umumnya mereka memiliki kesamaan
dalam umur.[24]
Peneliti dan
pengamat ilmu hadis sangat dituntut untuk mengetahui tahun kelahiran dan
kematian setiap rawi, murid-muridnya, dan guru-gurunya.[25]
Kategorisasi
bagi seorang rawi dalam suatu thabaqah bisa bebeda-beda, bergantung pada
segi penilaian dan hal-hal yang mendasari kategorisasinya. Oleh karena itu,
sering kali ada 2 orang rawi dianggap berada dalam satu thabaqah karena
memiliki kesamaan dalam satu segi dan dianggap berada dalam thabaqah
yang berlainan karena tidak memiliki kesamaan dalam segi lainnya.
Anas bin Malik
al-Anshari beserta sahabat junior lain akan berada dibawah sekian Abu Bakar dan
sejumlah sahabat senior apabila dilihat dari segi waktu mereka masuk Islam.
Namun mereka dapat dianggap mereka berada dalam satu thabaqah apabila
dilihat dari kesamaan mereka sebagai sahabat Nabi Saw. Dengan demikian, seluruh
sahabat adalah thabaqah rawi yang pertama, tabi’in menempati thabaqah
kedua, atba’ al-tabi’in thabaqah ketiga, atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah
keempat, dan atba’ atba’ atba’ al-tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah
ini adalah thabaqah para rawi sampai kurun ketiga, yakni akhir masa
periwayatan.
Ibnu Hajar
membagi thabaqah berdasarkan kedekatan mereka dalam sanad atau kesamaan
guru-guru dan masa hidup mereka. Menurut beliau, para rawi itu terdiri atas 12
thabaqah. Masing-masing thabaqah ia jelaskan kesamaan zamannya secara sepintas,
yang dapat dijumpai dalam kitab Taqrib al-Tahdzib. [26]
Mengetahui thabaqah
sangat besar manfaatnya, karena dengannya dapat diketahui sejumlah rawi yang
memiliki keserupaan dan sulit dibedakan, bisa terhindar dari kekeliruan
lantaran kesamaan antar rawi dalam nama dan kunyahnya, dapat mengetahui
hakikat dibalik tadlis, atau meneliti makdus ‘an’anah (pernyataan
seorang rawi; ‘an Fulan), apakah ia dalam bentuk sanad yang muttashil
atau munqathi.
Mengingat
besrnya faedah kajian mempelajari ini, banyak muhadditsin menyusun kitab
tentang thabaqat. Dan dua kitab diantaranya telah dicetak.
a.
Al-Thabaqat
al-Kubra karya Imam al-Hafizh Muhammad bin
Sa’ad. Kitab ini sangat komplet dan faedah besar. Popularitasnya melebihi
kitab-kitab lain yang sejenis. Penyusunnya adalah seorang yang hafizh
dan tsiqat. Akan tetapi, banyak isi kitab ini bersumber dari rawi yang dha’if.
b.
Al-Thabaqah karya Imam Khalifah bin Khayyath. Kitab ini sangat berfaedah dalam
bentuk yang sangat ringkas, dan telah dicetak dalam dua jilid di Damaskus.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian
ilmu riwayah adalah Ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan
sifat-sifat Nabi Saw, periwatannya, pencatatannya dan penelitian terhadap
lafal-lafalnya.
2.
Objek
Kajian ilmu riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang
lain, dan memindahkan atau mendewankan hadits.
3.
Hadits
riwayah bil-lafdzi atau meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah
meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan
mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut
4.
Hadits
riwayah bil-ma’na atau meriwayatkan hadits dengan makna adalah
meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri
oleh orang yang meriwayatkan
5.
Ilmu
hadits dirayah adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
kaidah-kaidah,dasar-dasar, peraturan-peraturan, yang dengannya kami dapat
membedakan antara hadits yang shahih yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan
hadits yang diragukan penyandarannya kepadanya
6.
Ilmu
Jarh wa at-Ta’dil adalah Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadits
dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan
atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu
7.
Ilmu
Rijal al-Hadits adalah Ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitasnya
sebagai perawi hadits
B.
Saran
Diharapkan
setelah mengkaji ilmu riwayah dan dirayah ini, pembaca khususnya mahasiswa
dapat mengamalkan ilmu-ilmu hasil kaijannya.
DAFTAR PUSTAKA
Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadis.
Jakarta : Penerbit Erlangga
Hakim, Abdul. 2006. Pengantar
Ilmu Musthalahul Hadits. Jakarta : Darul Qalam
Nuruddin ‘Itr. 2014. ‘Ulumul
Hadis. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Suparta, Munzir. 2011. Ilmu Hadis.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
[1] Dr.
H. Munzir Suparta, M.A, Ilmu Hadis, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2011),
hlm. 24
[2]
Ibid, hlm 25
[3] Drs.
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,2014),
hlm. 19
[5] Dr.
H. Munzir Suparta, M.A., ilmu Hadis, op. Cit, hal. 25
[6] Abdul
Hakim, Pengantar Ilmu Musthalahul Hadits, ( Jakarta : Darul Qalam,
2006), hlm. 34
[8]
Drs. Nuruddin ‘Itr, op.cit, hlm. 139
[9] Dr.
Nuruddin ‘Itr, op.cit Hal. 224
[10]
‘Ulum al-Hadits, hlm. 191
[11]
Dr.H. Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis.
. ., hal 25
[12]
Ibid, hlm. 26
[13]
Ibid, hlm. 27
[14] Dr.
Nuruddin ‘Itr, op.cit Hal. 21
[15] Dr.H.
Munzier Suparta, M.A, Ilmu Hadis. . .,
hal 28
[16] Dr.
H. Munzier Suparta, M.A, op.cit. hlm.84
[17] Ibid,hlm.85
[18] Ibid,
hlm.86
[20] Dr.H.
Munzier Suparta, M.A,op.cit, hal 86
[21] Dr.
Nuruddin ‘Itr, op.cit, hlm.85
[22] Ibid,
hlm 86
[23] Dr.
Nuruddin ‘Itr, op.cit, hlm.138
[26]
Drs. Nuruddin ‘Itr, op.cit, hlm. 139
Komentar
Posting Komentar