ASBAB AN-NUZUL DAN PEMAHAMAN AYAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Quran
bukanlah merupakan sebuah buku dalam pengertian umum, karena ia tidak pernah
diformulasikan, tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad
Saw sejauh situasi-situasi menurutya. Al-Quran pun sangat menyadari kenyataan
ini sebagai suatu yang akan menimbulkan keusilan di kalangan pembahtahnya,
seperti yang tertuang dalam Q.S Al-Furqan (25) : 32;
وَقَا لَ الَّذِ يْنَ كَفَرُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاَنُ
جُمْلَةً وَّاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَدَكَ وَرَتَّلْنَهُ تَرْتِلاً.
“Dan orang-orang kafir berkata, “ mengapa Al-Quran itu tidak
diturunkan kepadanya sekaligus?” demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu
(Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur,
perlahan, dan benar).”
Seperti ynag
diyakini sampai sekarang, pewahyuan Al-Quran secara total dalam sekali waktu
secara sekaligus adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena pada kemyataannya
Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin secara berangsur-angsur
sesuai dengan kebutuhan yang timbul.
Sebagian tugas
ntuk memahami pesan dari Al-Quran sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya
dalam konteks latar belakangnya. Latar belakang yang paling dekat adalah
kegiatan dan perjuangan Nabi yang berlangsung selama dua puluh tiga tahun
dibawah bimbingan Al-Quran. Terhadap Perjuangan Nabi yang secara keseluruhan
sudah terpapar dalam sunnahnya, kita perlu memahaminya dalam konteks perpekstif
melieu Arab pada masa awal penyebaran Islam, karena aktivitas Nabi berada
didalamnya.Oleh karena itu,
adat-istiadat, lembaga-lembaga, serta pandangan hidup bangsa Arab pada umumnya
menjadi esensial diketahui dalam rangka memahami konteks aktivita Nabi. Secara
khusus, situasi Mekkah pra Islam perlu dipahami terlebih dahulu secara
mendalam. Tanpa memahami masalah ini, pesan Al-Quran sebagai suatu kebutuhan
tidak akan dapat dipahami. Orang akan salah menangkap pesan-pesan Al-Quran
secara utuh, jika hanya memahami bahasanya saja, tanpa memahami konteks
historisnya. Agar dipahami secara utuh, Al-Quran hatus dicerna dalam konteks
perjuangan Nabi dan latar belakangnya. Oleh sebab itu, hampir semua literatur
yang berkenaan dengan Al-Quran menekankan pentingnya asbab an-nuzul
(alasan pewahyuan).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
urgensi Ilmu asbab an-Nuzul dalam memahami ayat ?
2.
Bagaimana
kaidah menetapkan hukum yang berkaitan dengan asbab an-Nuzul ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
tentang urgensi Ilmu asbab an-Nuzul dalam memahami ayat.
2.
Menjelaskan
tentang kaidah menetapkan kaidah hukum yang berkaitan dengan asbab an-Nuzul.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Urgensi Pengetahuan Asbab an-Nuzul Dalam Memahami Ayat Al-Quran
Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang
berpendapat bahwa mengetahui asbab an-Nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam
memahami Al-Quran. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Quran dengan
meletakkan ke dalam konteks historis adalah sama dengan membatasi
pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun keberatan seperti ini
tidaklah berdasar, karena tidak mungkin menguniversalkan pesan Al-Quran di luar
masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap
makna Al-Quran dalam konteks kesejarahannya.
Sementara itu, mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kessejarahan
yang terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbab an-Nuzul merupakan satu hal yang
signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Quran. Dalam satu pernyataannya, Ibn
Taimiyah mengatakan:
مَعْرِ فَةُ سَبَبِ النُّزُوْ لِ تُعِيْنُ عَلَى فَهْمِ الأَيَتِ فَأِ
نَّ الْعِلْمَ بِ السَّبَبِ يُوْرِ ثُ الْعِلْمَ بِ الْمُسَبَّبِ
Artinya:
“Asbab an-Nuzul sangat menolong dalam menginterpretasikan
Al-Quran.”[1]
Ungkapan senada dikemukakan oleh Ibn Daqiq Al-‘Ied dalam pernyataannya;
بَياَ نُ سَبَبِ النُّزُوْ لِ طَرِيْقٌ قَوِّ يٌّ فِى فَهْمِ مَعَا نِ
الْكِتَا بِ الْعَزِيْزِ
Artinya :
“ Penjelasan terhadap asbab An-Nuzul merupakan metode yang
kondusif untuk menginterpretasikan makna-makna Al-Quran.”[2]
Bahkan, Al-Wahidi
menyatakan ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-Quran tanpa mempertimbangkan
aspek kisah dan asbab an-Nuzul[3].
Urgensi pengetahuan akan asbab an-Nuzul dalam memahami Al-Quran yang
diperlihatkan oleh para ulama salaf ternyata mendapat dukungan dari para ulama
khalaf. Menarik untuk dikaji adalah pendapat Fazlur Rahman yang menggambarkan
Al-Quran sebagai puncak dari sebuah gunung es. Sembilan sepersepuluh dari
bagiannya terendam dibawah perairan sejarah , dan hanya sepersepuluhnya yang
hanya dapat dilihat. Rahman lebih lanjut menegaskan bahwa sebagian besar ayat
al-Quran yang sebenarnya mensyaratkan perlunya pemahaman terhadap
situasi-situasi historis yang khusus, yang memperoleh solusi, komentar dan
tanggapan dari Al-Quran.[4] Uraian Rahman tersebut secara eksplisit
mengisyaratkan asbab an-Nuzul dalam memahami Al-Quran.
Dalam uraian yang
lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi asbab an-Nuzul dalam memahami
Al-Quran, sebagai berikut:
1.
Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan
ayat-ayat Al-Quran. Diantaranya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat 115
dinyatakan bahwa Timur dan Barat
merupakan kepunyaan Allah. Dalam kasus shalat, dengan melihat ayat zhahir
diatas, seseorang boleh menghadap kemana saja sesuai dengan kehendaknya. Ia
seakan-akan tidak berkewajiban untuk menghadap kiblat ketika shalat. Akan
tetapi setelah melihat asbab an-Nuzulnya, tahapan bahwa interpretasi tersebut
keliru. Sebab ayat diatas berkaitan dengan seseorang yang sedang berada dalam
perjalanan dan melakukan shalat di atas kendaraan, atau berkaitan dengan orang
yang berjihad dalam menentukan arah kiblat.[5]
Contoh kedua, diriwayatkan dalam shahih al-Bukhari bahwa Marwan
menemui kesulitan ketika memahami ayat :
لاَتَحْسَبَنَّ
الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْ وَيُحِبُّوْ نَ اَنْ يُحْمَدُ وْا بِمَا
لَمْ يَفْعَلُوْا فَلاَ تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَا زَةٍ مِنَ الْعَذَا بِ وَلَهُمْ
عَّذَابٌ اَلِيْمٌ
Artinya :
“Janganlah kamu sekali-kali menyangka bahwa oranng-orang yang
bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka suka dipuji atas
perbuatan-perbuatan yang belum mereka kerjakan, akan terlepas dari siksa.
Mereka pun akan mendapat siksa yang pedih.”
(Q.S Ali Imran: 188).
Marwan memahami ayat diatas sebagai berikut : Jika setiap orang
bergembira dengan usaha yang telah diperbuatnya, dan suka dipuji atas usahanya
yang belum dikerjakan, akan disiksa, kita semua akan disiksa. Ayat tersebut
dipahaminya demikian sampai Ibn Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut
diturunkan berkenaan dengan Ahli Kitab. Ketika ditanya oleh Nabi tentang
sesuatu, mereka menyembunyikannya bahwa tindakannya diluar permintaan Nabi.
Mereka beranggapan bahwa tindakannya itu berhak mendapat pujian dari Nabi. Maka
turunlah ayat tersebut diatas.[6]
2.
Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Umpamanya dalam surat
al-‘Anam (6) ayat 145 dikatakan :
قُلْ لآاجِدُ
فِيْ مَا اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَا عِمٍ يَطْعَمُهُ اِلاَّ اَنْ
يَّكُوْنَ مَيْتَتً اَوْدَمًا مَسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَأِنَّهُ
رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلُّ لِغَيْرِاللَّهِ بِهِ ....
Artinya :
“katakanlah ‘Tidak kudapati didalam apa yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang ingin memakannya, kecuali kalau makanan
itu berupa bangkai, darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor,
atau binatang yang disembelih bukan atas nama Allah.” (Q.S Al-‘Anam:145)
Menurut as-Syafi’i, pesan ayat ini tidak bersifat umum (hasr).
Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat diatas
Asy-Syafi’i menggunakan ayat bantu asbab an-Nuzul. Menurutnya, ayat diatas
diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu,
kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Karena menghahramkan apa yang
telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah merupakan
kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang Yahudi, turunlah ayat di atas.
3.
Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran, bagi ulama yang berpendapat bahwa
yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus as-sabab)
dan bukan lafadz yang bersifat umum (umum al-lafazh). Dengan demikian,
ayat “zihar” dalam permulaan surat al-Mujadalah (58), yang turun berkenaan dengan Aus Ibn Samit yang menzihar istrinya
(Khaulah binti Hakim Ibn Tsa’labah), hanya berlaku bagi kedua orang tersebut.
Hukum zihar yang berlaku bagi selain kedua orang itu, ditentukan dengan jalan
analogi (qiyas).
4.
Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Quran turun. Umpamanya ‘Aisyah pernah
menjernihkan kekeliruan Marwan yang menunjuk Abdurrahman Ibn Abu Bakar sebagai
orang yang menyebabkan turunnya ayat: “Dan orang yang mengatakan kepada
kedua orangtuanya “cis kamu berdua...” (Q.S Al-Ahqaf:17). Untuk meluruskan
persoalan, ‘Aisyah berkata kepada Marwan; “Demi Allah bukan dia yang
menyebabkan ayat ini turun dan aku sanggup untuk menyebutkan siapa orang yang
sebenarnya.”
5.
Memudahkan
untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati
orang yang mendengarnya. Sebab hubungan sebab-akibat (musabbab), hukum,
peristiwa, dan pelaku, masa, dan tempat merupakan satu jalinan yang mengikat
hati.
Taufiq Adnan
Amal dan Syamsul Rizal Pangabean menyatakan bahwa pemahaman terhadap konteks
kesejarahan pra al-Quran dan pada masa Al-Quran menjanjikan beberapa manfaat
praktis. Pertama, pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi
gejala-gejala moral dan sosial Arab pada masa itu, sikap Al-Quran terhadapnya,
dan cara Al-Quran memodifikasi atau mentransformasi gejala itu hingga sejalan
dengan pandangan dunia Al-Quran; kedua, kesemuanya ini dapat dijadikan
pedoman bagi umat Islam dalam mengidentifikasi dan menangani problem-problem
yang mereka hadapi. Ketiga, pemahaman tentang konteks kesejarahan pra
Al-Quran dan pada masa Al-Quran dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik
pemaksaan prakonsep dalam penafsiran.[7]
B.
Kaidah Menetapkan Hukum Dikaitkan dengan Asbab An-Nuzul
1.
Berbilangnya Asbab an-Nuzul untuk satu Ayat
Pada
kenyataannya, tidak setiap ayat memiliki riwayat asbab an-Nuzul dalam satu
versi. Adakalanya satu ayat memiliki
beberapa versi riwayat asbab an-Nuzul. Tentu saja hal itu tidak akan menjadi
persoalan bila riwayat-riwayat itu tidak mengandung kontradiksi. Bentuk variasi
itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk
mengatasi variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi,
para ulama mengemukakan cara-cara berikut;[8]
1.
Tidak
mempermasalahkannya
Cara ini ditempuh apabila variasi riwayat-riwayat asbab an-Nuzul
ini menggunakan redaksi muhtamilah (tidak pasti). Misal satu versi
menggunakan versi redaksi; “ayat ini diturunkan berkenaan dengan ....”. dan
versi lain menggunakan redaksi : “Saya
kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan...”
Variasi
riwayat Asbab an-Nuzul diatas tidak perlu dipermasalahkan, karena yang dimaksud
oleh setiap variasi itu hanyalah sebagai tafsir belaka dan bukan sebagai asbab
an-Nuzul. Ini berbeda jika ada indikasi jelas yang menunjukan bahwa salah
satunya memaksudkan asbab an-Nuzul.
2.
Mengambil
versi riwayat Asbab an-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat asbab an-Nuzul itu
tidak menggunakan redaksi sharih (pasti). Misalnya riwayat asbab an-Nuzul yang
menceritakan kasus seorang lelaki yang menggauli istrinya dari bagian belakang.
Mengenai kasus itu Nafi berkata, satu hari aku membaca ayat “nisa’ukum
hartsun lakum”. Ibnu Umar kemudian berkata, “tahukah engkau mengenai apa
ayat ini diturunkan ?” Tidak “ Jawabku. Ia melanjutkan “ayat ini diturunkan
berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang”. Sementara Ibn Umar
menggunakan redaksi yang tidak sharih (pasti), dalam salah satu riwayat
Jabir, dikatakan, “Seorang Yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang
menyetubuhi istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling. Maka diturunkanlah
ayat; “nisa’ukum hartsun lakum”.
Dalam kasus semacam diatas, riwayat Jabir
lah yang harus dipakai karena ia menggunakan redaksi sharih.
3.
Mengambil
versi riwayat yang shahih (valid)
Cara ini
digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi sharih, tetapi
kualitas salah satunya tidak shahih. Misalnya dua riwayat asbab an-Nuzul
kontradiktif yang berkaitan dengan diturunkannya ayat :
وَالضُّحَى.
وَالَّيْلِ اِذَاسَجى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى
Artinya :
“Demi waktu matahari sepenggalah naik. Dan demi malam apabila telah
sunyi. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak (pula) benci kepadamu. (Q.S Adh-Dhuha : 1-3)
Versi pertama
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari-Muslim dari Jundab mengatakan;
إِشْتَكَى
رسُوْلُ اللَّهِ ص.م. فَلَمْ يَقُمْ لَيْلَتَيْنِ أَوْثَلاَثًا فَجَا ءَ تْ
اِمْرَأَةٌ . فَقَا لَتْ : يَا مُحَمَّدُ, إِنِّيْ لأَرْجُوْأَنْ يَكُوْنَ شَيْطَا
نُكَ قَدْ تَرَ كَكَ لَمْ أرَهُ قَرِبَكَ مُنْذُ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَ ثَةٍ.
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ: وَالضُّحَى. وَالَّيْلِ اِذَاسَجى. مَا
وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى .
Artinya :
“Rasulullah Saw menderita sakit sehingga tidak mendirikan shalat
malam selama dua atau tiga malam. Lalu, datanglah kepadanya seorang wanita lalu
berkata, ‘Ya Muhammad, sesungguhnya saya berharap setan telah meninggalkanmu
karena saya tidak melihat dekat denganmu
selama dua atau tiga malam.” Maka, turunlah ayat ini,.. (Adh-Dhuha (93) :1-3).”
Versi kedua
yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibn Syaiban dari Hafsah bin Maisarah,
dari ibunya, dari neneknya (khadam Rasulullah) mengatakan :
إِنَّ
جُرُوْدًا دَ خَلَ بَيْتَ النَّبِيِّ ص.م فَدَخَلَ تَحْتَ السَّرِيْرِ فَمَا تَ
فَمَكَثَ النَّبِيُّ ص.م. أَرْبَعَةَ أَيَّا مٍ لَمْ يَنْزِلْ عَلَيْهِ الوَحْيُ
فَقَا لَ : يَا خَوْلَةُ, مَا حَدَ ثَ فِيْ بَيْتِ رَسُوْ لِ اللَّهِ ص.م.؟
جِبْرِيْلُ مَا يَأْ تِيْ ! فَقُلْتُ فِيْ نَفْسِيْ : لَوْ هَيَّأْ تُ الْبَيْتَ
وَكَنَسْتُهُ , فَأَهْوَيْتُ بِالْمَكْنَسَةِ تَحْتَ الَّسَرِيْرِ.
فَأَخْرَجْتُ الجَرْوَ, فَجَاءَ
النَّبِيُّ ص. م. تَرْعَدُ مَحِيَتَهُ, وَ كَانَ اِذَاأَنْزَلَ عَلَيْهِ أَخَذَ
تْهُ الرَّ عْدَةُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ (وَالضُّحَى ) اِلى قَوْلِهِ (فَتَرْضَى)
Artinya :
“Seekor anak anjing masuk ke dalam rumah Rasulullah dan bersembunyi
dibawah tempat tidur sampai mati. Oleh karena itu, selama empat hari Rasulullah
tidak menerima wahyu. Nabi berkata,’Wahai Khaulah ! apakah yang telah terjadi
di rumah Rasulullah? Sehingga Jibril tidak datang kepadaku.’ Maka aku pun
(Khaulah) berkata,”Alangkah baiknya jika kuperiksa langsung keadaan rumahnya dan menyapu
lantainya. Aku masukkan sapu ke bawah tempat tidur dan mengeluarkan bangkai
anjing darinya. Nabi kemudian datang dalam keadaan dagu gemetar. Oleh karena
itu, ketika menerima wahyu, dagu Nabi selalu bergetar, Maka Allah menurunkan
surat Adh-Dhuha (93) : 1-3.”
Studi kritik
terhadap versi kedua menempatkan status riwayatnya pada kualitas tidak shahih.
Dalam hal ini, Ibn Hajar mengatakan bahwa kisah keterlambatan Jibril
menyampaikan wahyu kepada Nabi karena anak anjing memang masyhur, tetapi
keberadaanya sebagai asbab an-Nuzul adalah asing (gharib) dan sanadnya
ada yang tidak dikenal. Oleh karena itu, yang harus diambil adalah riwayat lain
yang shahih.[9]
Adapun terhadap
variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat, versi berkualitas, para ulama
mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut;
1.
Mengambil
versi riwayat yang shahih.
Cara ini mengambil bila terdapat dua versi riwayat tentang asbab
an-Nuzul satu ayat, satu versi berkualitas sahih, sedanglan yang lainnya tidak.
Misalnya dua versi riwayat asbab an-Nuzul kontradiktif untuk surat adh-Dhuha
(93) ayat 1-3.
2.
Melakukan
studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua versi
asbab an-Nuzul yang berbeda-beda ini kualitasnya sama-sama sahih. Seperti asbab
an-Nuzul yang berkaitan dengan turunnya ayat tentang roh. Variasi asbab an-Nuzul
yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Ibn Mas’ud mengatakan :
كُنْتُ أَمْشِيْ
مَعَ النَّبِيِّ ص.م بِالْمَدِيْنَةِ وَهُوَ يَتَوَكَّأُ عَلَى عَسِيْبٍ , فَمَرَّ
بِنَفَرٍ مِنَ الْيَهُوْدِ , فَقَا لَ بَعْضُهُمْ : لَوْ سَاَ لْتُمُوْ هُ و فَقَا
لُوْا : حَدِّ ثْنَا عَنِ الرُّوْحِ , فَقَا مَ سَا عَةً وَرَفَعَ رَاْ سَهُ فَعَرَفْتُ
أَنَّهُ يُوْحَى إِ لَيْهِ حَتَّى صَعِدَ الْوَحْيُ , ثُمَّ قَالَ : (قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِرَبِّيْ وَمَا
اُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلمِ اِلاَّ قَلِيْلاً ).
Artinya :
“Aku berjalan bersama Rasulullah di Madinah, dalam keadaan beliau
bertekan pada pelepah kurma. Beliau kemudian melewati sekelompok orang Yahudi.
Sebahagian dari mereka berkata kepada sebahagiaan yang lainnya. ‘Alangkah
baiknya bila kalian menanyakan sesuatu kepadanya (Muhammad)’. Karena itu,
mereka berkata, ‘Ya Muhammad terangkan kepada kami tentang roh”. Nabi berdiri
sejenak sambil mengangkat kepala. (Saat
itu pun) aku tahu beliau pun membacanya. ’Katakanlah,permasalahan roh adalah
sebahagian dari urusan Tuhan-ku,dan tidak diberikan kepada kamu ilmu,kecuali
sedikit saja.”[10]
Versi asbab an-Nuzul yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Tirmidzi
dari Ibnu Abbas mengatakan;
قَا لَتْ قُرَ
يْشٌ لِلْيَهُوْدِ : أُعْطُوْ نِيْ شَيْاً نَسْأَ لُ عَنْهُ هَذَا الرَّجُلَ,
فَقَالُوْا: إِ سْاَ لُوْهُ عَنِ الرُّوْحِ , فَسَأَ لُوْهُ فَأَ نْزَلَ اللَّهُ :
(وَ يَسْئَلُوْ نَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ ).
Artinya :
“Orang-orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi,’Berikan kepada
kami tentang sesuatu yang akan ditanyakan kepada lelaki ini (Nabi)’. Mereka
menjawab,’Bertanyalah kepadanya tentang roh’. Maka mereka pun bertanya
tentangnya kepada nabi. Maka Allah menurunkan : Wa yasalunaka’an Ar-ruh...”
Riwayat yang dikeluarkan oleh
Bukhori dan Tirmidzi keduanya berstatus sahih. Akan tetapi mayoritas para ulama
lebih mendahulukan hadis Bukhori daripada hadits Tirmidzi , karena hadis
Bukhori lebih unggul (rajih), sedangkan hadis Tirmidzi tidak unggul
(marjuh).Alasan yang di kemukakan mereka adalah Ibn Mas’ud menyaksikan kejadian
sendiri diatas sedangkan ibn Abbas hanya mendengarkan dari orang lain .[11] Dalam
kasus diatas,As-suyuti berkomentar sebagai berikut:
“Studi tarjih menyimpulkan bahwa riwayat Bukhori dipandang lebih
sahih daripada Tirmidzi, karena Ibn Mas’ud menyaksikan langsung kejadian di
atas.”[12]
3.
Melakukan
studi kompromi (jama)
Langkah ini
diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki status
kesahihan hadis yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih.Misalnya,dua
versi riwayat Asbab An-nuzul yang melatar belakangi turunya ayat mu’amalah
surat An-nur (24) ayat 6. Dalam versi riwayat Al-Bukhori dan Muslim melalui
jalur Shahal ibn Sa’ad dikatakan bahwa ayat turun berkenaan dengan salah
seorang sahabat yang bernama Uwaimir yang bertanya kepada Rasulullah tentang
apa yang harus dilakukan oleh seorang suami yang mendapatkan istrinya berzina
dengan orang lain .Akan tetapi, pada versi Al-Bukhori melalui jalur Ibn Abbas
dikatakan bahwa ayat turun dengan dilatar belakangi oleh kasus Hilal Ibn
Ummayah yang menuduh istrinya didepan Rasulullah berzina dengan Sarikh Ibn
Sahma’. Kedua riwayat itu benar-benar shahih dan tidak mungkin dilakukan studi
tarjih antara keduanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi kompromi (jama’).
Dua masa itu berdekatan masanya. Oleh karena itu, kita mudah mengompromikan
keduanya. Dalam jangka waktu yang tidak begitu berselang lama, kedua orang
sahabat itu bertanya kepada Rasulullah tentang masalah serupa, maka turunlah
ayat mu’amalah untuk menjawab kedua orang itu. Dalam kasus ini Al-Khatib
berkata; “kedua penanya itu kebetulan bertanya pada satu waktu.”[13]
Kalau kedua
versi riwayat asbab an-Nuzul itu sahih atau tidak sahih bisa dilakukan studi
tarjih dan jama’, maka hendaklah kita anggap ayat itu diturunkan berulang kali.
Dala istilah ilmu-ilmu Al-Quran hal itu bisa disebut ‘Berulangnya turun ayat’ (ta’addud
an-Nuzul). Sebagai contoh adalah dua versi asbab an-Nuzul yang
melatarbelakangi turunnya surat Al-Ikhlas (112). Satu riwayat mengatakan bahwa
surat itu turun untuk menjawab pertanyaan kelokpok musyrikin Mekkah. Riwayat
lain mengatakan bahwa surat turun untuk menjawab kelompok Ahli Kitab di
Madinah. Karena kedua riwayat sama-sama shahih dan tidak mungkin untuk
dilakukan studi tarjih dan jama’, maka kita anggap bahwa ayat tersebut turun
dua kali.[14]
2.
Kaidah Menetapkan Hukum Berkaitan dengan Asbab An-Nuzul
Adapun dalam menetapkan hukum yang terkandung dalam ayat-ayat dalam
bersifat umum, sama sekali tidak terikat oleh sebab-sebab yang melatarbelakangi
turunnnya, seperti peristiwa qadzaf yang dituduhkan Hilal Ibn Umayyah kepada
istrinya dengan Suraik Ibn Sahma, Nabi berkata “Datangkan empat orang saksi
atau hadd (pukulan) atas pundakmu dst.” Dengan adanya peristiwa
tersebut, turunlah ayat-ayat Li’an pada surat An-Nur (24) ayat 4-9,[15]
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْ تُوْا بِأَرْ بَعَةِ شُهَدَاءَ فَا
جْلِدُوْ هُمْ ثَمَا نِيْنَ جَلْدَ ةً اِلَى قَوْلِهِ ..... إِنْ كَانَ مِنَ
الصَّا دِقِيْنَ .
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat Zina) dan mereka
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka itu dengan delapan puluh
kali deraan sampai ..... jika tuduhan dia benar.”
Lafal “Alladzina” merupakan isim mausul berbentuk jama’,
yang menunjukan bahwa ayat tersebut bersifat umum, sedangkan yang menjadi sebab
turunnya ayat ini adalah bersifat khusus, yakni Hilal Ibn Umayyah yang menuduh
istrinya berbuat zina dengan Suraik Ibn Sahma. Bentuk ayat yang bersifat umum
ini tentunya tidak hanya berlaku bagi Hilal Ibn Umayyah dengan istrinya atau
kepada Umaiwir dengan istrinya saja, akan tetapi berlaku pula bagi setiap orang
berikutnya yang berbuat seperti itu, sesuai dengan keumuman ayat tersebut.
Sehubungan dengan ayat tersebut, lahirlah
kaidah ushul fiqih di kalangan jumhur ulama yang berbunyi,
الْعِبْرَةُ
بِعُمُوْمِ الَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ .
“Yang dijadikan ibrah (pegangan) itu adalah keumuman lafalnya
bukan kekhususan sebabnya.”[16]
Dan ayat-ayat
yang diberlakukan keumumannya itu, bukan hanya ayat-ayat hukum, termasuk pula
ayat-ayat ancaman, sindiran, teguran, dan lain-lain yang tercakup dalam kalimat
ibrah.
Disamping
pendapat tersebut, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa ayat tersebut
tetap harus berlaku khusus sesuai dengan kekhususan sebabnya. Oleh karenanya
mereka berpegang pada kaidah yang berbunyi sebaliknya,
الْعِبْرَةُ
بِخُصُوْ صِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ الَّفْظِ .
“yang
dijadikan pegangan itu adalah kekhususan sebabnya, bukan keumuman lafalnya.”[17]
Dengan lahirnya kaidah ini, lafal ayat sangat terbatas hanya
diberlakukan khusus pada suatu peristiwa yang menyebabkan turunnya lafal tersebut.
Sedangkan untuk menerapkan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut, bagi
orang yang datang kemudian, yang mengalami peristiwa yang sama, dilakukan
dengan jalan analogi (qiyas). Atau berpegang pada hadits Nabi yang berbunyi,
حُكْمِى عَلَى الْوَاحِدِ حُكْمِى عَلَى الْجَمَا عَةِ .
“Hukumku atas seseorang adalah hukumku atas orang banyak.”[18]
Dilihat dari
segi penerapan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut, kedua pendapat itu
sama sekali tidak ada bedanya, karena keduanya sama-sama melakukan hukum qadzaf.
Akan tetapi, apabila dilihat dari segi argumnetasi jelas akan berbeda jauh;
mayoritas ulama berpegang pada kaidah pertama, hukum qadzaf atas
orang-orang yang datang kenudian di luar orang yang menjadi sebab turunnya ayat
adalah sama, yaitu berdasarkan nash Al-Quran yang bersifat qath’i
wurudnya. Sedangkan penerapan hukum atas dasar analogi sebagai hasil
iijtihad atau dasar bunyi hadits diatas, penentuan hukum tersebut hanyalah
bersifat dzanny.
Apabila ayat
yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai dengan secara
khusus, maka yang umum (‘amm) diterapkan pada keumumannya dan yang khusus
(khass) pada kekhususannya.[19]
Contoh yang pertama ialah firman Allah:
وَيَسْئَلُوْ نَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوْاالنِّسَآءَ فِى الْمَحِيْضِ وَلاَ تَقْرَبُوْ هُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ فَإِذَاتَطْهُرْنَ فَاْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ
,إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.
“ Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : ‘Haid adalah suatu
kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah
(2) : 222).
Anas berkata:
“Bila istri-istri orang Yahudi haid, mereka keluar dari rumah, tidak diberi
makan dan minum, dan didalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah
ditanya tentang itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang
haid... Kemudian Rasulullah bersabda;
جَا مِعُوْهُنَّ فِالْبُيُوْتِ, وَاصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ
النِّكَاحِ.
“Bersama-samalah
dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya.” [20]
Adapun bagi ayat-ayat yang menggunakan lafal khusus penerapan
hukumnya pun terbatas pada orang yang menjadi sebab turunnya. Menurut
al-Zarqani hal ini telah menjadi kesepakatan di kalangan para ulama. Contohnya
seperti ayat yang terdapat dalam surat Al-Lail (92) ayat 17-21.
وَسَيُجَنَّبُهَا اْلاَتْقَى الَّذِى يُؤْتِى مَا لَهُ يَتَزَكَّى
وَمَا لِاَ حَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى اِلاَّ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ
الْاَ عْلَى وَلسَوْفَ يَرْضَى .
“
Dan kelak akan dijauhkan orang
paling takwa dari api neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah)
untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat
padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena
mencari keridhaan TuhanNya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat
kepuasan.”
Ayat-ayat tersebut turun pada Abu Bakar. Kata al-atqa (orang
yang paling taqwa) menurut tasrif berbentuk af’al untuk menunjukan arti
superlatif, tafdil yang disertai al ‘Ahdiyah (kata sandang yang
menunjukan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya), sehingga
ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Kata sandang al
menunjukan arti umum bila ia berfungsi sebagai kata ganti penghubung (isim
mausul) atau mu’arrifah (berfungsi memakrifatkan) bagi kata jamak,
menurut pendapat yang kuat. Sedang al dalam kata al-atqa bukan kata
ganti penghubung, sebab kata ganti penghubung tidak dirangkaikan dengan bentuk
superlatif; lagi pula al-atqa bukan kata jamak, melainkan kata tunggal. Al-ahdu
atau apa yang telah diketahui itu sendiri sudah ada, di samping bentuk
superlatif af’al itu khusus menunjukan yang membedakan. Dengan demikian,
hal ini telah cukup untuk membatasi makna ayat pada orang yang karenanya ayat
itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-Wahidi berkata: “Al-atqa adalah Abu
Bakar as-Siddiq menurut pendapat para ahli tafsir.”[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Urgensi
pengetahuan asbab an-Nuzul adalah sebagai berkut;
a.
Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan-pesan
Al-Quran
b.
Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
c.
Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam ayat Al-Quran.
d.
Mengidentifikasi
pelaku yang menyebabkan ayat al-Quran turun.
e.
Memudahkan
untuk menghafal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati
orang yang mendengarnya.
2.
Untuk
mengatasi variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi,
para ulama mengemukakan cara-cara sebagai berikut;
a.
Tidak
mempermasalahkannya, apabila variasi riwayat-riwayat asbab an-Nuzul menggunakan
redaksi muhthamilah (tidak pasti)
b.
Mengambil
versi riwayat asbab an-Nuzul yang menggunakan redaksi sharih
c.
Mengambil
versi riwayat yang shahih
3.
Adapun
terhadap variasi riwayat asbab an-Nuzul dalam satu ayat,versi berkualitas, para
ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut;
a.
Mengambil
versi riwayat yang shahih
b.
Melakukan
studi selektif (tarjih)
c.
Melakukan
studi kompromi (jama’)
4.
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa pertimbangan untuk satu lafazh Al-Quran adalah keumuman
lafadz dan bukannya kekhususan sebab. Disisi lain, ada juga ulama yang
berpendapat bahwa ungkapan satu lafadz al-Quran harus dipandang dari segi
kekhususan sebab bukan dari segi keumuman lafadz.
B.
Saran
Diharapkan
setelah mengkaji makalah Asbab An-Nuzul ini mahasiswa mampu memahami pentingnya
mengetahui Ilmu asbab an-Nuzul.
Daftar Pustaka
Anwar,Rosihon. 2003. Ulum Al-Quran. Bandung : Pustaka Setia
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1988. Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta :
Bulan Bintang
Amal, Taufiq Adnan. 1989. Tafsir Konstekstual Al-Quran.
Bandung : Mizan
Qathan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. 1992. Bogor :
Litera AntarNusa
Zainuddin, H Mohammad. 2005. Metode Memahami Al-Quran.
Bandung : Media Percikan Iman
[2]
Rosihon Anwar, op. Cit., hlm. 63
[3]
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, Litera AntarNusa,Bogor,1992,
hlm. 114
[4]
Jurnal “Kiblat”, 1987: hlm. 46
[5] Rosihon
Anwar, op.cit., hlm. 64
[7] Taufiq
Adnan Amal dan Syamsul Rizal Pangabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran,
Mizan, Bandung, 1989, hlm.51
[8] Rosihon
Anwar, op.cit., hlm.70
[9] Rosihon
Anwar,. Op.cit, hlm.72
[10] Rosihin
Anwar, op.cit., hlm. 73
[11] TM
Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran, Bulan-Bintang, Jakarta, 1983,
hlm.30
[12]
Rosihon Anwar, op.cit., hlm.73
[14] Ibid.
[15] H.
Mohammad Zainuddinn, Metode Memahami Al-Quran, Media Percikan Iman,
Bandung, 2005, hlm. 78
[16] H. Mohammad
Zainuddin, op.cit., hlm. 79
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19]
Manna Qathan, op.cit., hlm. 117
[20] Manna
Qathan, op.cit., hlm.118
[21]
Manna Qathan, op.cit., hlm. 119
Komentar
Posting Komentar