ILMU DAN MORAL

BAB I
PENDAHULLUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Tidak bisa disangkal, berkat adanya perkembangan ilmu manusia memperoleh banyak kemudahan dan kemajuan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupannya. Kemajuan akan fasilitas transportasi dan telekomunikasi sangat memudahkan komunikasi bagi banyak sekali orang. Contoh yang tidak kalah penting adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang membuat hidup lebih berkualitas dan cukup drastis meningkatkan umur angka harapan hidup (life expectancy). Memang benar apa yanng dikatakan filsuf dan satrawan Inggris, Bertand Russel (1872-1970) yang mengatakan bahwa perbaikan dalam bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat zaman ini lebih disenangi dibandingkan dengan zaman sebelumnya yang kini kadangkala masih menjadi objek nostalgia sementara orang.
            Secara keseluruhan, zaman ini ditandai oleh perbaikan dan kemajuan dalam segala hal dibanding dengan sebelumnya. Yang terutama bertambah dengan kemungkinan-kemungkinan ilmiah dan teknologi ini adalah kemampuan manusia. Filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1623) sudah menyadari aspek ini dengan menekankan bahwa knowledge is power, “pengetahuan adalah kekuasaan”. Tidak lama kemudian filsuf Prancis, Rene Descartes (1596-1650), menulis buku kecil dimana ia menguraikan pandangannya tentang metode ilmu baru yang sedang berkembang dan pada akhir bukunya ia mengucapkan keyakinannya bahwa dengan demikian umat manusia bisa menjadi maitres et possesseurs de la nature,”penguasa dan pemilik alam”.
            Pertama-tama perlu disadari bahwa kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya disamping  banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Diantara masalah-masalah moral yang berat yang dihadapi sekarang ini tidak sedikit berasal dari hasil yang dicapai oleh perkembangan ilmu. Dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, perkembangan ilmiah dan teknologi mengubah banyak sekali dalam hidup manusia, antara lain juga menyajikan kehancuran tatanan kehidupan serta masalah-masalah moral yang tidak pernah terduga sebelumnya.
بعض اّلذي عملوا لعلّهم يرجعون.  ظهرالفسد فى البرّوالبحربما كسبت ايد النّا س ليذيقهم

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena disebabkan perbuatan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.” (Q.S Ar-Ruum:41)

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakikat Ilmu?
2.      Apa hakikat moral?
3.      Apa hubungan antara ilmu dan moral?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan tentang hakikat ilmu
2.      Menjelaskan tentang hakikat moral
3.      Menjelaskan tentang hubungan ilmu dan moral


















BAB II
PEMBAHASAN


A.    Hakikat Ilmu

Sepanjang hidup manusia dirangsang alam sekitarnya untuk mencari tahu segala sesuatu. Yang terutama terkena rangsangan adalah indranya; penglihatan, penciuman, perabaan,pendengaran serta pengecapan. Hasil persentuhan alam dengan pancra indra disebut pengalaman. Ketika tersentuh rangsang, manusia bereaksi mencari tahu. Untuk mencari tahu sesuatu maka manusia berpikir. Karena berpikir itulah manusia dapat dikatakan sebagai manusia. Menurut Jujun S.Suriasumantri (2003:42) berfikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan  dapat diartikan sebagai keadaan tahu atau secara filsafat pengetahuan adalah kontak antara dua  besaran; yakni subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Terdapat tiga jenis pengetahuan manusia, yaitu pengetahuan filsafat, ilmu dan agama. Ketiga pengetahuan ini memiliki batas-batas penjelajahannya masing-masing. Dalam makalah ini, penulis hanya fokus membahas mengenai ilmu.

1.      Pengertian Ilmu
Secara etimologis, pengertian Ilmu  dalam bahasa Indonesia sama dengan pengertian al-‘ilm dalam bahasa Arab. Kata al-‘Ilm itu lebih tepat diterjemahkan menjadi pengetahuan (knowledge) dalam bahasa Indonesia.Dalam bahasa Inggris, ilmu seringkali diterjemahkan dengan kata science (2008:99).
Secara erminologis, ilmu dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis. Atau singkatnya ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat logis, empiris, metodis dan sistematis.

2.      Syarat-syarat Ilmu
Dari pengertian terminologi ilmu diatas, suatu pengetahuan dapat dikatakan Ilmu jika memenuhi syarat-syarat keilmuwan. Persyaratan ini disebut sifat ilmiah, yaitu:
a.       Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengnkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif, bukan subjektif berdasarkan peneliti atau subjek penunjang penelitian.
b.      Metodis. Dalam upaya mencapai kebenaran selalu terdapat kemungkinan penyimpanan, karena itu harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Cara ini disebut metode. Dalam bahasa umum; metodis, yakni metode tertentu yang disebut metode ilmiah.
c.       Sistematis. Karene mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang logis dan teratur sehingga membentuk sistem (dari kata Yunani; sustema) yang berarti; utuh menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian kegiatan sebab akibat menyangkut objeknya.
d.      Universal. Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu, melainkan bersifat umum.

3.      Landasan Ilmu
Sebagai suatu kajian filsafat, ilmu meiliki tiga landasan yakni;
a.       Landasan ontologi. Landasan ini membahas mengenai objek apa yang dikaji ilmu. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas manusia (empiris). Objek kajian ilmu mutlak berangkat dari fakta yang empirik sensual tertangkap indra, dalam arti pancaindra mampu menangkap gejalanya. Kemudian dalam tataran berikutnya ia bersifat empirik logik, yakni bahwa logika mampu menalarnya. Karenanya, formula dasar ilmu adalah; tunjukkan bahwa fakta itu ada, tertangkap indra serta tunjukkan pula bahwa fakta itu logik dan rasional.
b.      Landasan epistemologi, yaitu landasan yang membahas bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu untuk menyusun kebenaran. Metode ilmiah terdiri dari langkah-langkah; perumusan masalah, penyusunan kerangka bepikir, perumusan hipotesis, pengujian hippotesis dan penarikan kesimpulan.
c.       Landasan aksiologi, adalah landasan yang membahas untuk apa penciptaan ilmu itu sendiri. Landasan aksiologi membahas tentang nilai yang berhubungan dengan moral. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran yag absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam menghadapi masalah kehidupan di dunia. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan ntuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan keilmuan memungkin manusia meramalkan kemungkinan yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut manusia bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi ilmu memiliki tiga fungsi, yaitu; menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Sebagaiman diutarakan Poejawijatna (1983) ilmu tidak terlalu menghiraukan kegunaan, hanya hendak tahu semata. Kalau pengetahuan yang disebut ilmu itu menghasilkan manfaat, syukurlah. Tapi tujuan pertamanya ialah tahu yang mendalam, sedapat mungkin benar-benar tahu apa sebabnya demikian dan mengapa demikian. Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh mansuia (das sollen). Ilmu juga memiliki sisi negatif. Untuk mencegah penggunaan negatif dari Ilmu, etika bagaimana ilmu itu digunakan menjadi penting.
     
B.     Hakikat moral
1.      Moral dan etika
Secara etimologis, kata moral sama dengan kata etika, keduanya berarti adat kebiasaan. Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos (jamak : mores), sedangkan kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ta etha, yakni bentuk jamak dari ethos. Dari kata ethos terbentuk istilah etika yang digunakan Aristoteles untuk menunjukan filsafat moral. Etika merupakan salah satu dari tiga cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai (axiologi), ukuran baik dan buruk perbuatan.
Pengertian moral secara terminologi dikemukakan sebagai berikut;
a.       Menurut W.J.S Poerwadarminta dalam  Kamus Umum Bahasa Indonesia (2000:654)  moral berarti ajaran tentang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan.
b.      Menurut Zakiah Daradjat (1983:63) moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran ( nilai-nilai ) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggug jawab atas tindakan tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
c.       Menurut K.Bertens (2004:11) moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Singkatnya, secara etimologis moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno sebagai mana yang dikutip oleh Surajiyo (2009:83) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khutbah peraturan lisan atau tulisan tentang bagai mana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para orang bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pendangan moral. Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi, etika  dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagai mana kita harus hidup, bukan etika melainkan moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.

2.      Moralitas : ciri khas manusia
Ukuran baik dan buruk perbuatan dalam arti etis memainkan peranan dalam hidup setiap manusia. Bukan saja sekarang ini tapi juga di masa lampau. Ilmu-ilmu seperti antropologi budaya dan sejarah memberitahukan bahwa pada semua bangsa dan dalam segala zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidaka boleh dilakukan. Akan tetapi segera perlu ditambah, bahwa tidak semua bangsa dan semua zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau kelompok sosial yang mengenal “tabu”, sesuatu yang dilarang keras (misalnya membunuh binatang tertentu), sedangkan pada bangsa atau kelompok sosial lainnnya perbuatan-perbuatan yang sama tidak terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman dulu sering dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai tidak etis oleh semua hampir bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat disebut; kolonialisme, perbudakan dan diskriminasi terhadap wanita. Jadi semua bangsa memiliki pengalaman tentang baik dan buruk, tetapi tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik dan buruk. Dengan kata lain, moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal.
Moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahap perorangan ataupun pada tahap sosial. Moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk lain. Makhluk yang paling dekat dengan manusia tentunya binatang. Karena itu dalam filsafat di masa lampau acapkali diusahakan untuk menentukan kekhususan manusia dengan jalan membandingkannya dengan binatang. Banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang plus, binatang dengan ditambah suatu perbedaan khas. Apakah perbedaan khas itu? Pertanyaan ini oleh berbagai filsuf dijawab dengan cara yang berbeda-beda. Diantara jawaban-jawaban yang pernah diberikan dapat didengar; perbedaan khas itu adalah rasio, bakat untuk menggunakan bahasa (simbol), kesanggupan untuk tertawa, membuat alat-alat dan sebagainya. Mungkin semua ciri ini dapat diterima sebagai sifat-sifat ciri khas manusiawi, tapi sekurang-kurangnya harus ditambah satu lagi; manusia adalah binatang plus karena memiliki kesadaran moral. Moralitas adalah suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk dibawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang, tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang, tenntang yang harus dilakukan dan yang pantas dilakukan.

C.    HUBUNGAN ILMU DAN MORAL
1.      Ambivalensi Kemajuan Ilmu
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang kesehatan, transpotasi, pendidikan, komunikasi, dan pemukiman. Seorang filsuf dan sastrawan Inggris, Bertand Russel, sebagaimana dikutip oleh K. Bertens (2004:284) mengatakan bahwa perbaikan dalam bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat zaman ini lebih disenangi dibanding waktu-waktu sebelumnya.
Mula-mula perkembangan ilmu dan teknologi itu dinilai sebajai kemajuan belaka. Manusia hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka luas bagi manusia. Pandangan optimistis itu berlangsung terus dan mencapai puncaknya dalam abad abad ke-19. Ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk memecahkan semua kesulitan yang mengganggu umat manusia. Kepercayaan akan kemajuan itu menjadi kentara sekali dalam pemikiran filsuf Prancis, Auguste Comte, yang memandang zaman Ilmiah-yang disebutnya zaman positif-sebagai puncak dan titik akhir seluruh sejarah. Pandangan yang begitu optimistis kini tampaknya agak naif. Kemajuan yang dicapai ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya disamping banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Disamping kemajuan yang luar biasa, ditimbulkan juga banyak masalah-masalah yang baru.
Science is power, Ilmu adalah kekuasaan. Kalimat yang keluar dari mulut filsuf Inggris, Francis Bacon ini benar adanya. Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Penciptaan ilmu yang pada hakikatnya digunakan untuk menguasai alam demi pemenuhan kebutuhan manusia, juga digunakan untuk menguasai dan memerangi sesama manusia. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan  namun juga berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, kemajuan ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya, manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberi kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Manusia sering berada dalam situasi yang tidak bersifat manusiawi , terpenjara dalam kisi-kisi teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Meghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya; untuk apa sebenarnya ilmu itu digunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuwan? Ke arah mana kemajuan ilmu harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan Ilmuwan seangkatannya. Namun bagi Ilmuwan yang  hidup dalam abad ke dua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat dielakkan. Dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.




2.      Masalah bebas nilai
Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi  yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi kedalam dua golongan pendapat.
Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
a.       ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan  adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan
b.      ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan.
c.       ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
3.      Peran Moral Terhadap Ilmu
a.        Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara optimal,    tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok. 
b.      Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni tanggungjawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
c.       Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah manusia lainnya.
d.      Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau mengawalnya. Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas martabat kemanusiaan.

4.      Ilmu, Moral dan Agama
Bila hubungan antara hati dan akal telah diputuskan maka manusia akan menghadapi kenyataan bahwa pertanyaan tentang hidup ideal tidak akan pernah akan terjawab. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali melakukan prostitusi intelektual. Mereka menilih ilmu dan teknologi sebagai gantungan hidup, padahal meletakkan ilmu dan teknologi sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan berarti ia telah menyerahkan kehidupan manusia kepada alat yang dibuatnya sendiri. Salah seorang tokoh pembuat kebudayaan Islam yang terkenal, Nurcholish Majid, menyimpulkan bahwa paham Humanisme yang dijadikan pegangan masyarakat Barat yang menyatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam akan meneruskan pengaruhnya melalui rasionalisme, selanjutnya rasionalisme akan berpengaruh melalui sekularisme. Paham sekularisme itulah yang pada akhirnya menyebabkan manusia menyerahkan nasibnya pada alat yang dibuatnya sendiri dan kondisi inilah yang meghasilkan keterasingan, ketidakbermaknaan, ketidakstabilan hidup dan bermacam-macam penderitaan (1990:91).
Soedjatmoko (1984:202) menyatakan bahwa Ilmu dan teknologi sekarang ini berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh selanjutnya; pertanyaan itu sebenarnya berkisar pada ketidakmampuan manusia dalam mengnendalikan ilmu dan teknologinya itu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya sendiri, mengenai tujuan dan mengenai cara-cara pengembangannya, tidak akan dapat dijawab oleh ilmu dan teknologi tanpa menoleh pada patokan-patokan mengenai moralitas, makna dan tujuan hidup manusia, termasuk apa baik apa buruk bagi manusia modern. patokan-patokan tentang moralitas, makna dan tujuan hidup ternyata berakar pada agama, demikian dikatakan Soedjatmoko.
Herman Suwardi, guru besar Filsafat Ilmu pada Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir (2006:63) dengan geram mengecam paradigma Ilmu yang digunakan di Barat. Filsafat ilmu di Barat hanya mengandalkan satu paradigma Ilmu yaitu paradigma Ilmu warisan Descartes dan Newton. Paradigma ini tidak mampu melihat alam secara keseluruhan.
Capra dalam buku Titik Balik Peradaban yang membahas mengenai kebudayaan barat, menyatakan bahwa pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh, dibalik kemudahan hidup yang ditawarkan oleh kemajuan Ilmu dan teknologi, manusia modern berada dalam suatu keadaan krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multi dimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup hubungan sosial ekonomi dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya manusia dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia di planet bumi ini. Bermacam-macam kehancuran dan kekacauan, kerusakan lingkungan, polusi, kejahatan kemanusiaan, kehabisan sumber energi, ancaman bahaya nuklir, kemiskinan, serta kehancuran-kehancuran sosial lainnya yang tentu tidak cukup untuk menuliskan semuanya di makalah ini. Dinamika yang mendasari masalah-masalah itu sebenarnya sama, demikian kata Capra (1998:3-10).
Selanjutnya Capra melakukan analisis sagat tajam untuk menemukan penyebab pertama kehancuran itu. Menurutnya, penyebab awal dari kehancuran itu adalah kekeliruan pemikiran, yaitu kekeliruan paradigma dalam membangun kebudayaan . kekeliruan dalam membangun kebudayaan barat ialah karena kebudayaan itu dibangun hanya dengan menggunakan satu paradigma, yaitu paradigma ilmu. Paradigma ini adalah paradigma warisan Descartes dan Newton. Paradigma ini, kata Capra, tidak mampu melihat alam semesta secara keseluruhan, paradigma ini hanya mampu melihat sebagian dari alam, yaitu bagian yang empiriknya saja.
Harus ada paradigma baru, kata Capra, yaitu mampu melihat alam semesta ini sebagai suatu sistem secara keseluruhan. Sementara itu Islam selain ia mengandung ajaran yang mampu melihat alam semesta secara meyeluruh  sebagai suatu sistem dan dalam kenyataannya Islam telah mampu menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi sebagaimana diperlihatkan pada negara Madinah pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Hemat penulis, paradigma baru yang mungkin dimaksud Capra itu adalah paradigma baru yang berdasarkan Islam. Mungkin Capra belum mengenal Islam.
Jika menilik sejarah gemilang keilmuwan mmuslim pendahulu yang merupakan pendorong masa keemasaan di barat, mereka menempatkan pengetahuan ilmu dan agama secara terintegrasi, tidak ada dikotomi terhadap pengetahuan yang mereka jelajahi.
Sains without religion is blind.
Religion without sains is blame.
(Albert Einstein)


يعملون ظاهرا من الحيوةالدّنيا وهم عن الخرةهم غفلون

“Mereka megetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan dari (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (Q.S ar-Ruum:7)






























BAB III
    PENUTUP


A.    Simpulan
1.      Secara etimologis, pengertian Ilmu  dalam bahasa Indonesia sama dengan pengertian al-‘ilm dalam bahasa Arab. Kata al-‘Ilm itu lebih tepat diterjemahkan menjadi pengetahuan (knowledge) dalam bahasa Indonesia. Secara terminologis, ilmu dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis.
2.      Syarat-syarat Ilmu; Objektif, Sistematis, Metodis dan Universal
3.      Landasan ilmu;  Landasan ontologis, Landasan epistemologis dan Landasan aksiologis
4.      Secara etimologis moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
5.      Kemajuan yang dicapai ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya disamping banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Disamping kemajuan yang luar biasa, ditimbulkan juga banyak masalah-masalah yang baru. Masalah-masalah baru yang ditimbbulkan ilmu mencakup masalah segi multidimensial. Hal ini terjadinya karena kekeliruan paradigma ilmu itu sendiri yang hanya melihat alam semesta ini tidak secara keseluruhan.
6.      Tanpa landasa moral, ilmuwan mudah tergelincir dengan sikap prostitusi intelektual.
7.      Agama merupakan sumber moral memainkan peran yang amat penting dalam mencegah kemungkinan-kemungkinan masalah etis keilmuwan.

B.     Saran
Diharapkan setelah mengkaji makalah ini mahasiswa mampu menempatkan ilmu dan landasan moral secara beriringan, tidak mengindahkan satu sama lain. Seperti paradigma ilmuwan muslim terdahulu yang menempatkan pengetahuan ilmu sejajar dengan pengetahuan filsafat dan agama. Tidak ada dikotomi dalam penjelajahan dan penerapan pengetahuan.




DAFTAR PUSTAKA

Bertens,K. 2007. Etika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Suriasumantri,Jujun. 2003. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT Indeks

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dasar Pertimbangan Pemilihan Media Pembelajaran

EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

ULUMUL HADITS : ILMU RIWAYAH DAN DIRAYAH