ILMU DAN MORAL
BAB I
PENDAHULLUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tidak bisa disangkal, berkat adanya
perkembangan ilmu manusia memperoleh banyak kemudahan dan kemajuan dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupannya. Kemajuan akan fasilitas transportasi
dan telekomunikasi sangat memudahkan komunikasi bagi banyak sekali orang.
Contoh yang tidak kalah penting adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
membuat hidup lebih berkualitas dan cukup drastis meningkatkan umur angka
harapan hidup (life expectancy). Memang benar apa yanng dikatakan filsuf dan
satrawan Inggris, Bertand Russel (1872-1970) yang mengatakan bahwa perbaikan
dalam bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat zaman ini lebih
disenangi dibandingkan dengan zaman sebelumnya yang kini kadangkala masih
menjadi objek nostalgia sementara orang.
Secara
keseluruhan, zaman ini ditandai oleh perbaikan dan kemajuan dalam segala hal
dibanding dengan sebelumnya. Yang terutama bertambah dengan
kemungkinan-kemungkinan ilmiah dan teknologi ini adalah kemampuan manusia.
Filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1623) sudah menyadari aspek ini dengan
menekankan bahwa knowledge is power, “pengetahuan adalah kekuasaan”.
Tidak lama kemudian filsuf Prancis, Rene Descartes (1596-1650), menulis buku
kecil dimana ia menguraikan pandangannya tentang metode ilmu baru yang sedang
berkembang dan pada akhir bukunya ia mengucapkan keyakinannya bahwa dengan
demikian umat manusia bisa menjadi maitres et possesseurs de la nature,”penguasa
dan pemilik alam”.
Pertama-tama perlu
disadari bahwa kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi bersifat
ambivalen, artinya disamping banyak
akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Diantara masalah-masalah
moral yang berat yang dihadapi sekarang ini tidak sedikit berasal dari hasil
yang dicapai oleh perkembangan ilmu. Dibandingkan dengan generasi-generasi
sebelumnya, perkembangan ilmiah dan teknologi mengubah banyak sekali dalam
hidup manusia, antara lain juga menyajikan kehancuran tatanan kehidupan serta masalah-masalah
moral yang tidak pernah terduga sebelumnya.
بعض
اّلذي عملوا لعلّهم يرجعون. ظهرالفسد فى البرّوالبحربما كسبت ايد النّا س ليذيقهم
“ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena disebabkan
perbuatan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat
perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.” (Q.S
Ar-Ruum:41)
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
hakikat Ilmu?
2.
Apa
hakikat moral?
3.
Apa
hubungan antara ilmu dan moral?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
tentang hakikat ilmu
2.
Menjelaskan
tentang hakikat moral
3.
Menjelaskan
tentang hubungan ilmu dan moral
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Ilmu
Sepanjang hidup manusia dirangsang alam sekitarnya untuk mencari
tahu segala sesuatu. Yang terutama terkena rangsangan adalah indranya;
penglihatan, penciuman, perabaan,pendengaran serta pengecapan. Hasil
persentuhan alam dengan pancra indra disebut pengalaman. Ketika tersentuh
rangsang, manusia bereaksi mencari tahu. Untuk mencari tahu sesuatu maka
manusia berpikir. Karena berpikir itulah manusia dapat dikatakan sebagai
manusia. Menurut Jujun S.Suriasumantri (2003:42) berfikir pada dasarnya
merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan
serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang
akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan dapat diartikan sebagai
keadaan tahu atau secara filsafat pengetahuan adalah kontak antara dua besaran; yakni subjek yang mengetahui dan
objek yang diketahui. Terdapat tiga jenis pengetahuan manusia, yaitu
pengetahuan filsafat, ilmu dan agama. Ketiga pengetahuan ini memiliki
batas-batas penjelajahannya masing-masing. Dalam makalah ini, penulis hanya
fokus membahas mengenai ilmu.
1.
Pengertian Ilmu
Secara etimologis, pengertian Ilmu
dalam bahasa Indonesia sama dengan pengertian al-‘ilm dalam
bahasa Arab. Kata al-‘Ilm itu lebih tepat diterjemahkan menjadi
pengetahuan (knowledge) dalam bahasa Indonesia.Dalam bahasa Inggris, ilmu
seringkali diterjemahkan dengan kata science (2008:99).
Secara erminologis, ilmu dapat diartikan sebagai rangkaian
aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa
prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang
sistematis. Atau singkatnya ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat
logis, empiris, metodis dan sistematis.
2. Syarat-syarat
Ilmu
Dari pengertian terminologi ilmu diatas, suatu pengetahuan dapat
dikatakan Ilmu jika memenuhi syarat-syarat keilmuwan. Persyaratan ini disebut
sifat ilmiah, yaitu:
a.
Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari
golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya
dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus
diuji keberadaannya. Dalam mengnkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni
persesuaian tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif, bukan
subjektif berdasarkan peneliti atau subjek penunjang penelitian.
b.
Metodis. Dalam upaya mencapai kebenaran selalu terdapat kemungkinan
penyimpanan, karena itu harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat
cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Cara ini disebut metode.
Dalam bahasa umum; metodis, yakni metode tertentu yang disebut metode ilmiah.
c.
Sistematis. Karene mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek,
ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang logis dan teratur
sehingga membentuk sistem (dari kata Yunani; sustema) yang berarti; utuh
menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaian kegiatan sebab akibat menyangkut
objeknya.
d.
Universal. Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu,
melainkan bersifat umum.
3. Landasan
Ilmu
Sebagai
suatu kajian filsafat, ilmu meiliki tiga landasan yakni;
a.
Landasan ontologi. Landasan ini membahas mengenai objek apa yang
dikaji ilmu. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti
di batas manusia (empiris). Objek kajian ilmu mutlak berangkat dari fakta yang
empirik sensual tertangkap indra, dalam arti pancaindra mampu menangkap
gejalanya. Kemudian dalam tataran berikutnya ia bersifat empirik logik, yakni
bahwa logika mampu menalarnya. Karenanya, formula dasar ilmu adalah; tunjukkan
bahwa fakta itu ada, tertangkap indra serta tunjukkan pula bahwa fakta itu
logik dan rasional.
b.
Landasan epistemologi, yaitu landasan yang membahas bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar?
Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya?
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu? Landasan
epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah adalah
cara yang dilakukan ilmu untuk menyusun kebenaran. Metode ilmiah terdiri dari
langkah-langkah; perumusan masalah, penyusunan kerangka bepikir, perumusan hipotesis,
pengujian hippotesis dan penarikan kesimpulan.
c.
Landasan aksiologi, adalah landasan yang membahas untuk apa penciptaan
ilmu itu sendiri. Landasan aksiologi membahas tentang nilai yang berhubungan
dengan moral. Ilmu tidak
bertujuan untuk mencari kebenaran yag absolut melainkan kebenaran yang
bermanfaat bagi manusia dalam menghadapi masalah kehidupan di dunia. Ilmu pada
dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang menjelaskan berbagai gejala alam
yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan ntuk menguasai gejala
tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan keilmuan memungkin manusia
meramalkan kemungkinan yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut
manusia bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan
atau tidak. Jadi ilmu memiliki tiga fungsi, yaitu; menjelaskan, meramalkan dan
mengontrol.
Sebagaiman
diutarakan Poejawijatna (1983) ilmu tidak terlalu menghiraukan kegunaan, hanya
hendak tahu semata. Kalau pengetahuan yang disebut ilmu itu menghasilkan
manfaat, syukurlah. Tapi tujuan pertamanya ialah tahu yang mendalam, sedapat
mungkin benar-benar tahu apa sebabnya demikian dan mengapa demikian. Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das
sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang
seharusnya dilakukan oleh mansuia (das sollen). Ilmu juga memiliki sisi
negatif. Untuk mencegah penggunaan negatif dari Ilmu, etika bagaimana ilmu itu
digunakan menjadi penting.
B.
Hakikat moral
1.
Moral dan etika
Secara
etimologis, kata moral sama dengan kata etika, keduanya berarti adat kebiasaan.
Kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos (jamak : mores), sedangkan kata
etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ta etha, yakni bentuk jamak dari ethos.
Dari kata ethos terbentuk istilah etika yang digunakan Aristoteles untuk
menunjukan filsafat moral. Etika merupakan salah satu dari tiga cabang filsafat
yang membicarakan tentang nilai (axiologi), ukuran baik dan buruk perbuatan.
Pengertian
moral secara terminologi dikemukakan sebagai berikut;
a.
Menurut
W.J.S Poerwadarminta dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia (2000:654) moral
berarti ajaran tentang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan.
b.
Menurut
Zakiah Daradjat (1983:63) moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran (
nilai-nilai ) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar,
yang disertai pula oleh rasa tanggug jawab atas tindakan tersebut. Tindakan itu
haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
c.
Menurut
K.Bertens (2004:11) moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Singkatnya, secara etimologis moral dan etika sama artinya, tetapi
dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas
dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk
pengkajian system nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno sebagai mana yang dikutip oleh Surajiyo
(2009:83) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran,
wejangan, khutbah peraturan lisan atau tulisan tentang
bagai mana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.
Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang
berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan
tulisan para orang bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi
filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pendangan moral.
Etika adalah sebuah ilmu bukan ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di
tingkat yang sama. Yang mengatakan bagai mana kita harus hidup, bukan etika
melainkan moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita
dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran
moral.
2.
Moralitas : ciri khas manusia
Ukuran baik dan
buruk perbuatan dalam arti etis memainkan peranan dalam hidup setiap manusia.
Bukan saja sekarang ini tapi juga di masa lampau. Ilmu-ilmu seperti antropologi
budaya dan sejarah memberitahukan bahwa pada semua bangsa dan dalam segala
zaman ditemukan keinsafan tentang baik dan buruk, tentang apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidaka boleh dilakukan. Akan tetapi segera perlu
ditambah, bahwa tidak semua bangsa dan semua zaman mempunyai pengertian yang
sama tentang baik dan buruk. Ada bangsa atau kelompok sosial yang mengenal
“tabu”, sesuatu yang dilarang keras (misalnya membunuh binatang tertentu),
sedangkan pada bangsa atau kelompok sosial lainnnya perbuatan-perbuatan yang
sama tidak terkena larangan apa pun. Dan sebaliknya, ada hal-hal yang di zaman
dulu sering dipraktekkan dan dianggap biasa saja, tapi akan ditolak sebagai
tidak etis oleh semua hampir bangsa beradab sekarang ini. Sebagai contoh dapat
disebut; kolonialisme, perbudakan dan diskriminasi terhadap wanita. Jadi semua
bangsa memiliki pengalaman tentang baik dan buruk, tetapi tidak selalu ada
pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik dan buruk. Dengan kata
lain, moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal.
Moralitas
merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahap
perorangan ataupun pada tahap sosial. Moralitas hanya terdapat pada manusia dan
tidak terdapat pada makhluk lain. Makhluk yang paling dekat dengan manusia
tentunya binatang. Karena itu dalam filsafat di masa lampau acapkali diusahakan
untuk menentukan kekhususan manusia dengan jalan membandingkannya dengan
binatang. Banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang plus,
binatang dengan ditambah suatu perbedaan khas. Apakah perbedaan khas itu?
Pertanyaan ini oleh berbagai filsuf dijawab dengan cara yang berbeda-beda.
Diantara jawaban-jawaban yang pernah diberikan dapat didengar; perbedaan khas
itu adalah rasio, bakat untuk menggunakan bahasa (simbol), kesanggupan untuk
tertawa, membuat alat-alat dan sebagainya. Mungkin semua ciri ini dapat
diterima sebagai sifat-sifat ciri khas manusiawi, tapi sekurang-kurangnya harus
ditambah satu lagi; manusia adalah binatang plus karena memiliki kesadaran
moral. Moralitas adalah suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada
makhluk dibawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang, tidak ada kesadaran
tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang, tenntang yang
harus dilakukan dan yang pantas dilakukan.
C.
HUBUNGAN ILMU DAN MORAL
1.
Ambivalensi Kemajuan Ilmu
Merupakan
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping
penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang kesehatan, transpotasi, pendidikan,
komunikasi, dan pemukiman. Seorang filsuf dan sastrawan Inggris, Bertand
Russel, sebagaimana dikutip oleh K. Bertens (2004:284) mengatakan bahwa perbaikan
dalam bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat zaman ini lebih
disenangi dibanding waktu-waktu sebelumnya.
Mula-mula
perkembangan ilmu dan teknologi itu dinilai sebajai kemajuan belaka. Manusia
hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka luas bagi manusia.
Pandangan optimistis itu berlangsung terus dan mencapai puncaknya dalam abad
abad ke-19. Ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk memecahkan semua
kesulitan yang mengganggu umat manusia. Kepercayaan akan kemajuan itu menjadi
kentara sekali dalam pemikiran filsuf Prancis, Auguste Comte, yang memandang
zaman Ilmiah-yang disebutnya zaman positif-sebagai puncak dan titik akhir
seluruh sejarah. Pandangan yang begitu optimistis kini tampaknya agak naif.
Kemajuan yang dicapai ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya disamping
banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Disamping kemajuan
yang luar biasa, ditimbulkan juga banyak masalah-masalah yang baru.
Science is
power, Ilmu adalah kekuasaan. Kalimat
yang keluar dari mulut filsuf Inggris, Francis Bacon ini benar adanya. Sejak
dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan
perang. Penciptaan ilmu yang pada hakikatnya digunakan untuk menguasai alam
demi pemenuhan kebutuhan manusia, juga digunakan untuk menguasai dan memerangi
sesama manusia. Bukan saja bermacam-macam senjata pembunuh berhasil
dikembangkan namun juga berbagai teknik
penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, kemajuan ilmu sering
melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring
dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya, manusialah
yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Teknologi tidak lagi
berfungsi sebagai sarana yang memberi kemudahan bagi kehidupan manusia
melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Manusia sering berada
dalam situasi yang tidak bersifat manusiawi , terpenjara dalam kisi-kisi teknologi,
yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya.
Dewasa ini ilmu
bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan
penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Meghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya; untuk
apa sebenarnya ilmu itu digunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuwan? Ke arah mana kemajuan ilmu harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini
jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan
Ilmuwan seangkatannya. Namun bagi Ilmuwan yang hidup dalam abad ke dua puluh yang telah mengalami
dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia
ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat dielakkan. Dan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.
2.
Masalah bebas nilai
Dihadapkan
dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan
terbagi kedalam dua golongan pendapat.
Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini tugas
ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan
baik ataukah untuk tujuan yang buruk.
Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya
kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral. Golongan kedua
mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
a.
ilmu
secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan adanya dua perang dunia yang
mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan
b.
ilmu
telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui
tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah penggunaan.
c.
ilmu
telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat
mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi
genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan ketiga hal itu maka golongan
kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik
berkembangnya ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika,
tetapi juga tidak bisa serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban
pengambilan keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis
bagi pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat
kemanusiaan.
3.
Peran Moral Terhadap Ilmu
a.
Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu
boleh berkembang secara optimal, tetapi
ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau penggunaannya harus memperhatikan
segi kemanusiaan baik pada tataran individu maupun kelompok.
b.
Peran
moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni tanggungjawab moral
dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral menyangkut pemikiran bahwa
ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab aplikasi ilmu yang dikembangkannya.
Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk
merusak manusia.
c.
Dari
sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara utuh tentang
kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau berada di tengah-tengah
manusia lainnya.
d.
Perlunya
ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan
manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia mengaplikasikan hasil
pengembangan ilmu dalam format penemuan (pengetahuan) atau teknologi baru,
moral akan mengikuti atau mengawalnya. Hal tersebut dimaksudkan bagi
kepentingan penghormatan atas martabat kemanusiaan.
4.
Ilmu, Moral dan Agama
Bila hubungan
antara hati dan akal telah diputuskan maka manusia akan menghadapi kenyataan
bahwa pertanyaan tentang hidup ideal tidak akan pernah akan terjawab. Tanpa
landasan moral maka ilmuwan mudah sekali melakukan prostitusi intelektual. Mereka
menilih ilmu dan teknologi sebagai gantungan hidup, padahal meletakkan ilmu dan
teknologi sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan berarti ia telah
menyerahkan kehidupan manusia kepada alat yang dibuatnya sendiri. Salah seorang
tokoh pembuat kebudayaan Islam yang terkenal, Nurcholish Majid, menyimpulkan
bahwa paham Humanisme yang dijadikan pegangan masyarakat Barat yang menyatakan
bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam akan meneruskan pengaruhnya
melalui rasionalisme, selanjutnya rasionalisme akan berpengaruh melalui
sekularisme. Paham sekularisme itulah yang pada akhirnya menyebabkan manusia
menyerahkan nasibnya pada alat yang dibuatnya sendiri dan kondisi inilah yang
meghasilkan keterasingan, ketidakbermaknaan, ketidakstabilan hidup dan
bermacam-macam penderitaan (1990:91).
Soedjatmoko
(1984:202) menyatakan bahwa Ilmu dan teknologi sekarang ini berhadapan dengan
pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh selanjutnya; pertanyaan itu
sebenarnya berkisar pada ketidakmampuan manusia dalam mengnendalikan ilmu dan
teknologinya itu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya sendiri, mengenai
tujuan dan mengenai cara-cara pengembangannya, tidak akan dapat dijawab oleh
ilmu dan teknologi tanpa menoleh pada patokan-patokan mengenai moralitas, makna
dan tujuan hidup manusia, termasuk apa baik apa buruk bagi manusia modern.
patokan-patokan tentang moralitas, makna dan tujuan hidup ternyata berakar pada
agama, demikian dikatakan Soedjatmoko.
Herman Suwardi,
guru besar Filsafat Ilmu pada Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung,
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir (2006:63) dengan geram mengecam paradigma
Ilmu yang digunakan di Barat. Filsafat ilmu di Barat hanya mengandalkan satu
paradigma Ilmu yaitu paradigma Ilmu warisan Descartes dan Newton. Paradigma ini
tidak mampu melihat alam secara keseluruhan.
Capra dalam
buku Titik Balik Peradaban yang membahas mengenai kebudayaan barat,
menyatakan bahwa pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua puluh, dibalik
kemudahan hidup yang ditawarkan oleh kemajuan Ilmu dan teknologi, manusia
modern berada dalam suatu keadaan krisis global yang serius, yaitu suatu krisis
kompleks dan multi dimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek
kehidupan kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup hubungan
sosial ekonomi dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi
intelektual, moral dan spiritual yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat
manusia. Untuk pertama kalinya manusia dihadapkan pada ancaman kepunahan ras
manusia di planet bumi ini. Bermacam-macam kehancuran dan kekacauan, kerusakan
lingkungan, polusi, kejahatan kemanusiaan, kehabisan sumber energi, ancaman
bahaya nuklir, kemiskinan, serta kehancuran-kehancuran sosial lainnya yang
tentu tidak cukup untuk menuliskan semuanya di makalah ini. Dinamika yang
mendasari masalah-masalah itu sebenarnya sama, demikian kata Capra (1998:3-10).
Selanjutnya
Capra melakukan analisis sagat tajam untuk menemukan penyebab pertama
kehancuran itu. Menurutnya, penyebab awal dari kehancuran itu adalah kekeliruan
pemikiran, yaitu kekeliruan paradigma dalam membangun kebudayaan . kekeliruan
dalam membangun kebudayaan barat ialah karena kebudayaan itu dibangun hanya
dengan menggunakan satu paradigma, yaitu paradigma ilmu. Paradigma ini adalah
paradigma warisan Descartes dan Newton. Paradigma ini, kata Capra, tidak mampu
melihat alam semesta secara keseluruhan, paradigma ini hanya mampu melihat
sebagian dari alam, yaitu bagian yang empiriknya saja.
Harus ada
paradigma baru, kata Capra, yaitu mampu melihat alam semesta ini sebagai suatu
sistem secara keseluruhan. Sementara itu Islam selain ia mengandung ajaran yang
mampu melihat alam semesta secara meyeluruh
sebagai suatu sistem dan dalam kenyataannya Islam telah mampu
menciptakan masyarakat yang berbudaya tinggi sebagaimana diperlihatkan pada
negara Madinah pada zaman Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Hemat penulis,
paradigma baru yang mungkin dimaksud Capra itu adalah paradigma baru yang
berdasarkan Islam. Mungkin Capra belum mengenal Islam.
Jika menilik
sejarah gemilang keilmuwan mmuslim pendahulu yang merupakan pendorong masa
keemasaan di barat, mereka menempatkan pengetahuan ilmu dan agama secara
terintegrasi, tidak ada dikotomi terhadap pengetahuan yang mereka jelajahi.
Sains without
religion is blind.
Religion
without sains is blame.
(Albert Einstein)
يعملون ظاهرا من الحيوةالدّنيا وهم عن الخرةهم غفلون
“Mereka
megetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan dari (kehidupan)
akhirat mereka lalai.” (Q.S
ar-Ruum:7)
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.
Secara
etimologis, pengertian Ilmu dalam bahasa
Indonesia sama dengan pengertian al-‘ilm dalam bahasa Arab. Kata
al-‘Ilm itu lebih tepat diterjemahkan menjadi pengetahuan (knowledge) dalam
bahasa Indonesia. Secara terminologis, ilmu dapat diartikan sebagai rangkaian
aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa
prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang
sistematis.
2.
Syarat-syarat
Ilmu; Objektif, Sistematis, Metodis dan Universal
3.
Landasan
ilmu; Landasan ontologis, Landasan
epistemologis dan Landasan aksiologis
4.
Secara
etimologis moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
5.
Kemajuan
yang dicapai ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya disamping banyak
akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Disamping kemajuan yang
luar biasa, ditimbulkan juga banyak masalah-masalah yang baru. Masalah-masalah
baru yang ditimbbulkan ilmu mencakup masalah segi multidimensial. Hal ini
terjadinya karena kekeliruan paradigma ilmu itu sendiri yang hanya melihat alam
semesta ini tidak secara keseluruhan.
6.
Tanpa
landasa moral, ilmuwan mudah tergelincir dengan sikap prostitusi intelektual.
7.
Agama
merupakan sumber moral memainkan peran yang amat penting dalam mencegah kemungkinan-kemungkinan
masalah etis keilmuwan.
B.
Saran
Diharapkan setelah mengkaji makalah
ini mahasiswa mampu menempatkan ilmu dan landasan moral secara beriringan,
tidak mengindahkan satu sama lain. Seperti paradigma ilmuwan muslim terdahulu yang
menempatkan pengetahuan ilmu sejajar dengan pengetahuan filsafat dan agama.
Tidak ada dikotomi dalam penjelajahan dan penerapan pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,K.
2007. Etika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Suriasumantri,Jujun.
2003. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Tafsir,
Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Vardiansyah,
Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT Indeks
Komentar
Posting Komentar